Senin, 23 Oktober 2017

BAB III : Teori Kekuasaan dan Ajaran Kedaulatan


Mengkaji tentang negara berarti mengkaji tentang kekuasaan. Negara tidak akan dapat ada tanpa kekuasaan. Kekuasaan dalam negara dipegang oleh sebagian kecil rakyatnya dengan berpuncak pada kepala negaranya sebagai symbol dan pemegang kedaulatan pemerintahan dan negara, meskipun secara intern Kepala Negara juga harus tunduk pada norma-norma ketatanegaraan yang ada.
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam negara. Sifat kedaulatan adalah: tunggal, asli, abadi dan tidak terbagi. Para pemegang kedaulatan, umumnya adalah penguasa yang sah. Kekuasaan adalah kemampuan seeorang maupun golongan untuk dapat merubah sikap dan kebiasaan pihak lain.
Terhadap kekuasaan dan kedaulatan negara banyak terdapat teori yang berusaha untuk menjelaskannya yaitu teori-teori yang memberi dasar hukum bagi kekuasaan negara dan teori-teori kedaulatan.
3.1 Konsep dan Teori Kekuasaan
Teori teori yang memberi dasar hukum bagi kekuasaan negara hendak membenarkan adanya kekuasaan negara. Untuk itu dicari ajaran mengenai arti negara, kemudian dikaitkan dengan tujuannya. Teori demikian dibagi atas tiga golongan besar[54], yaitu:
a.       Teori teokrasi, langsung dan tidak langsung,
b.      Teori kekuasaan (machtstheorie), fisik dan ekonomis,
c.       Teori Yuridis (Yuridische theorie), patriarchal, patrimonial dan perjanjian.
a.      Teori Teokrasi Langsung
Menurut ajaran teokrasi langsung, negara di dunia ada karena kehendak Tuhan  dan diperintah oleh Tuhan. Langsung artinya yang berkuasa di dalam negara adalah langsung Tuhan. Contoh: Jepang mengakui rajanya sebagai anak Tuhan, Penguasa di Tibet, Pance Lama dan Dalai Lama, menamakan dirinya sebagai Tuhan yang memperebutkan mahkota kerajaan Tibet.
b.      Teori Teokrasi Tidak Langsung
Menurut Teori ini Raja memerintah negara atas kehendak/atas nama Tuhan. Teori ini membenarkan negara dan kekuasaannya atas dasar pemberian Tuhan.
Sejarah Belanda dapat dijadikan sebagai contoh. Partai konvensional (agama) di Negeri Belanda berpendapat bahwa raja Belanda dan rakyatnya diletakkan dalam suatu tugas suci (mission sacre) sebagai perintah dari Tuhan untuk memakmurkan daerah Hindia Belanda (jajahannya). Untuk ini diterapkan Ethisce Politic yang menimbulkan teori perwalian yang menganggap bahwa pemerintah Belanda merupakan wali dari Indonesia. Berdasarkan ajaran ini Belanda dapat menjajah Indonesia.
c. Teori Kekuasaan Jasmaniah (Fisik)
Teori ini diambil dari ajaran Hobbes dan Machiavelli..
Hobbes dalam bukunya Leviathan (Singa, binatang terkuat di hutan) mengemukakan pepatah Homo homini lupus (Manusia sebagai serigala terhadap manusia yang lain) dan Bellum Omnium Contra Omnes (perang semua melawan semua).
Ajaran Hobbes membedakan dua macam status manusia, yaitu status naturalis dan status civilis. Status Naturalis adalah kedudukan manusia ketika belum ada negara, sedangkan status civilis adalah kedudukan manusia setelah ada negara sebagai warga negara.
Dalam status naturalis masyarakat kacau karena tidak ada badan atau organisasi yang menjaga/menjamin tata tertib. Perselisihan mudah timbul karena sifat manusia dalam keadaan tidak tertib, merupakan serigala bagi yang lain (homo homini lupus), kalau keadaan tersebut dibiarkan terus-menerus akan timbul perang semesta (bellum omnium contra omnes). Dalam keadaan semacam ini yang berlaku adalah hukum rimba (vuistrecht : hukum kepalan), dalam arti siapa yang kuat dia yang menang dan berkuasa, karena setiap orang hidup menurut hukumnya sendiri-sendiri. Syarat penting menjadi raja adalah kuat secara fisik melebihi orang lain agar dapat mengatasi kekacauan yang timbul dalam masyarakat.
Machiavelli dalam Il Principle mengajarkan kepada Raja bagaimana untuk memerintah sebaik-baiknya. Menurut Machiavelli, Raja harus kuat dan tahu cara mengatasi segala kekacauan yang dihadapi negara, ia dapat menggunakan segala alat yang menguntungkan baginya. Untuk mencapai tujuan raja harus menyelenggarakan pemerintahan. Jika perlu alat yang diperlukan boleh melanggar perikemanusiaan.
d.          Teori Kekuasaan Ekonomi
Menurut Karl Marx, negara merupakan alat kekuasaan bagi segolongan manusia di dalam masyarakat untuk menindas golongan lainnya guna mencapai tujuannya. Ajarannya berlaku di negara kapitalis maupun proletariat yang pemerintahannya lazim disebut dictator proletariat. Dasar ajaran Marx adalah pertentangan antara dua kelas, yaitu kaum yang ekonominya kuat dan kaum ekonomi lemah. Pertentangan tersebut ditujukan untuk merebut kekuasaan negara, sebab negara adalah alat kekuasaan.
Marx bersandar pada historische materialisme, yaitu bahwa sejarah kehi-dupan manusia ditentukan oleh kebendaan. Terdapat dua bangunan masyarakat, yaitu:
1.      bangunan bawah yang didasarkan atas kebendaan,
2.      bangunan atas yang didasarkan atas kemanusiaan.
Bangunan bawah merupakan bagian penting karena berhubungan dengan alat produksi. Bangunan ini akan mempengaruhi bangunan atas seperti agama, susila, kebudayaan, hukum,dll. Hukum merupakan alat dari golongan ekonomi yang kuat untuk mempertahankan dan menjamin hak milik perseorangan. Jika kekuasaan ekonomi di dalam masyarakat dihubungkan dengan rationalization dan debunking (istilah dalam teori politik modern) hukum sesungguhnya hanya sebagai alat untuk menjamin hak milik perseorangan.
e.       Teori Patriarchaal
Teori ini berdasarkan hukum keluarga zaman lampau, ketika masyarakat masih sangat sederhana, negara belum terbentuk, masyarakat masih hidup dalam kesatuan keluarga besar yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga. Kepala keluarga yang diangkat adalah seorang yang kuat, berjasa, dan bijaksana dalam sikap bagi keluarganya (primus interparis yaitu seorang yang pertama di antara yang sama karena sifat-sifatnya yang lebih, maka ia menjadi orang yang dipuja-puja).
Peristiwa di dalam masyarakat membuat suatu kelompok menjadi semakin besar, mengakibatkan kepala kedudukan keluarga semakin kuat dan kemudian disebut sebagai raja yang berkuasa. Jika ia meninggal kekuasaannya akan diwariskan kepada raja berikutnya. Tetapi teori ini tidak menjelaskan apakah penggantinya selalu keturunan raja ataukah dapat diwariskan kepada kepala keluarga yang lain.
f.   Teori Patrimonial
Patrimonium berarti hak milik. Raja mempunyai hak milik atas daerahnya sehingga semua penduduk di daerahnya harus tunduk kepadanya. Apabila Raja memberikan sebidang tanah kepada orang/bangsawan tertentu, hak atas tanah tersebut berpindah kepada orang/bangsawan yang diberi, sehingga orang/bangsa-wan tersebut berhak memerintah terhadap semua orang yang berada di atas tanah itu.
g.  Teori Perjanjian
Teori ini dikemukakanoleh tokoh terkemuka : Thomas Hobbes, John Locke dan Jean Jacques Rousseau. Ketiganya hendak mengembalikan kekuasaan raja pada waktu manusia hidup dalam status naturalis kepada status civilis melalui perjanjian masyarakat. Di antara ketiga paham, Persamaannya : bahwa perjanjian masyarakat yang memindahkan manusia dari status naturalis ke status civilis. Perbedaannya terletak pada isi dan akibatnya.
Thomas Hobbes
Menurutnya manusia selalu hidup dalam ketakutan, yaitu takut diserang oleh manusia yang keadaan jasmaninya lebih kuat. Karena itu diadakan perjanjian masyarakat (antara rakyat dengan rakyat) dan dalam perjanjian tersebut raja tidak diikut sertakan. Ajaran Hobbes hanya merupakan konstruksi alam pikiran saja untuk menghalalkan kekuasaan raja.
Dalam perjanjian masyarakat tersebut, individu-indivdu menyerahkan haknya kepada suatu kolektivitas yaitu kesatuan individu yang diperoleh melalui pactum unions, maka kolektivitas menyerahkan hak-haknya atau kekuasaannya kepada Raja dalam pactum subjectionis.
Raja sama sekali di luar perjanjian karenanya raja mempunyai kekuasaan yang mutlak setelah hak-hak rakyat diserahkan kepadanya (Monarchie Absolut).

John Locke
Menurutnya antara Raja dan rakyat diadakan perjanjian. Raja menjadi berkuasa untuk melindungi hak-hak rakyat berdasarkan perjanjian tersebut. Apabila raja bertindak sewenang-wenang, rakyat dapat meminta pertanggungja-waban, karena yang primer adalah hak-hak asasi yang dilindungi warga. Perjanjian  ini memunculkan monarchi constitusional (monarchi terbatas), sebab kekuasaan raja dibatasi konstitusi.
Terdapat dua macam pactum perjanjian masyarakat:
1.  Pactum unions, perjanjian untuk membentuk suatu kesatuan antar individu,
2.  Pactum subjections, perjanjian penyerahan kekuasaan antara rakyat dengan raja.
Menurut Hobbes, dalam perjanjian masyarakat, pactum unions sama sekali termasuk dalam pactum subjections sehingga akibatnya raja berkuasa mutlak. Menurut Locke Pactum unions dan Pactum subyektiones sama kuat pengaruhnya, oleh karena dalam penyerahan kekuasaan raja harus berjanji akan melindungi hak-hak asasi rakyat. Aliran ini mengadakan perjanjian yang hasilnya akan diletakkan dalam Leges Fundamentalis yang menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak. John Locke sering disebut Monarchomachen yang memberi jaminan kepada hak asasi rakyat.

 

Jacques Rousseau

Menurut Rousseau pactum subyektiones ditelaah pactum uniones. Perjanjian antar rakyat dengan raja, rakyat tidak pernah menyerahkan kedaulatan kepada Raja. Akibat ajaran Rousseau kedaulatan dan rakyat tidak pernah menyerahkan kepada raja, bahkan jika ada raja yang memerintah, Raja tersebut hanya sebagai mandataris rakyat.

3.2 Ajaran Kedaulatan
Dalam hal kedaulatan, beberapa teori membahas tentang kekuasaan tertinggi dalam negara, yaitu:
a.   Teori Kedaulatan Tuhan,
b. Teori Kedaulatan Raja,
c. Teori Kedaulatan Negara,
d. Teori Kedaulatan Hukum,
e.   Teori Kedaulatan Rakyat[55].

a.  Teori Kedaulatan Tuhan
Tokohnya : Augustinus, Thomas Aquinas dan Marsilius.
Ajarannya : kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah dimiliki Tuhan. Teori ini berkembang zaman pertengahan (abad V-XV). Perkembangannya erat dengan munculnya agama Kristen yang saat itu baru timbul, kemudian diorganisir dalam organisasi keagamaan, gereja, dikepalai oleh seorang Paus. Di lain pihak terdapat organisasi kekuasaan yang lain, yaitu negara sebagai organisasi kekuasaan negara yang diperintah oleh Raja. Raja dalam memimpin negara amat sewenang-wenang terhadap tokoh agama. Organisasi gereja tetap dapat hidup meski di bawah tekanan, hingga kemudian diakui sebagai satu-satunya agama resmi, agama negara. Sejak itu gereja mempunyai kekuasaan yang nyata baik untuk mengatur kehidupan keagamaan maupun yang bersifat kenegaraan.

b.  Teori Kedaulatan Raja
Teori ini mengajarkan bahwa kekuasaan raja dalam lapangan duniawi. Marsilius menyatakan, kekuasaan tertinggi dalam negara ada pada Raja, karena Raja wakil Tuhan untuk melaksanakan kedaulatan dunia. Oleh sebab itu Raja berkuasa mutlak karena Raja merasa dalam tindak-tanduknya menurut kehendak Tuhan. Perkembangan ajaran ini berpuncak pada masa Renaissance.

c.   Teori kedaulatan negara
Tokoh : George Jellinek. Pendapatnya bahwa yang menciptakan hukum bukan Tuhan, bukan pula raja, tetapi negara. Ada hukum karena ada negara. Hukum belum merupakan penjelmaan kemauan negara. Satu-satunya sumber hukum adalah negara, oleh karenanya kekuasaan tertinggi harus dimiliki oleh negara.

d.  Teori Kedaulatan Hukum
Leon Duguit berpendapat bahwa hukum merupakan penjelmaan kemauan negara. Akan tetapi dalam kenyataannya negara tunduk kepada hukum yang dibuatnya.
Menurut Krabbe, kekuasaan tertinggi dalam negara adalah hukum. Atas pendapat ini Jellinek menanggapi bahwa negara tunduk kepada hukum secara sukarela (ajaran selbstbindung). Menurut Krabbe terdapat faktor di atas negara, yaitu kesadaran hukum dan rasa keadilan, oleh karenanya hukum yang berdaulat bukan negara. Pendapat Krabbe banyak dipengaruhi oleh aliran historis yang dipelopori Friedrich Karl von Savigny.
Menurut Friedrich Karl von Savigny, hukum merupakan ketentuan yang sudah lama terdapat dalam hati sanubari masyarakat dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan masyarakat. Hukum tumbuh bersama-sama dengan perkembangan kesadaran masyarakat. Pembuat undang-undang bukanlah pencipta undang-undang. Mereka sekedar perumus kesadaran hukum yang tumbuh dalam kalangan masyarakat.
Menurut teori kedaulatan hukum, pemerintah memperoleh kekuasaannya dari hukum dan berdasarkan atas hukum, sehingga kedaulatan itu berada pada hukum. Pemerintah dan rakyat mendapat kekuasaannya dari hukum, karenanya wajib tunduk pada ketentuan hukum.
e.   Teori Kedaulatan Rakyat
Ajaran kaum monarchomachen yang berkembang dalam abad pertengahan (Abad XV) memberikan reaksi atas kekuasaan raja yang mutlak. Aliran ini bermaksud mengadakan pembatasan kepada kekuasaan raja dengan mengadakan perjanjian. Hasil perjanjian dituangkan dalam Leges Fundamentalis yang menetapkan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Ajaran kaum monarchomachen diteruskan pengikut hukum alam. Menurut ajaran hukum alam abad XVII dan XVIII, individu mempunyai kekuasaan pada dirinya yang diperolehnya dari hukum alam. Berdasarkan perjanjian masyarakat, individu-individu tersebut membentuk masyarakat dan selanjutnya masyarakat ini menyerahkan kekuasaannya kepada raja. Raja mendapatkan kekuasaan dari para individu melalui masyarakat. Oleh karena hukum alam merupakan dasar kekuasaan raja, sehingga kekuasaan raja dibatasi oleh hukum alam. Raja mendapatkan kekuasaan dari rakyat, sehingga rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Rakyat yang berdaulat, sedangkan Raja hanya pelaksana dari kehendak atau keputusan rakyat. Tokoh ajaran kedaulatan rakyat antara lain J.J. Rousseau.
Menurut Rousseau, rakyat adalah kesatuan yang dibentuk oleh individu dan mempunyai kehendak. Kehendak tersebut diperoleh dari individu melalui perjanjian masyarakat, yang disebut kehendak umum (volonte generale) yang mencerminkan kemauan/kehendak umum. Di samping kehendak umum (volonte generale) terdapat volonte de tous, volonte de corp dan volonte particuliere. Volonte de tous, apabila kehendak itu berasal dari kumpulan individu dalam negara bukan dalam bentuk kesatuan yang dibentuk individu. Apabila dalam negara, pemerintahan dipegang oleh beberapa atau sekelompok yang sesungguhnya merupakan kesatuan tersendiri dalam negara tersebut dan mempunyai kehendak tersendiri, maka kehendak tersebut disebut volonte de corp, akibatnya volonte generale akan jatuh bersamaan dengan volonte de corp. sedangkan apabila pemerintahan dipegang oleh satu orang yang mempunyai kehendak tersendiri yang disebut volonte particuliere, akibatnya volonte generale akan jatuh bersamaan dengan volonte particuliere. Oleh karena itu maka pemerintahan harus dipegang rakyat, atau setidaknya rakyat terwakili dalam pemerintahan agar volonte generale dapat diwujudkan.
Menurut Rousseau kedaulatan rakyat pada prinsipnya merupakan cara/sistem pemecahan masalah dengan sistem tertentu yang memenuhi kehendak umum. Kehendak umum merupakan khayalan, bersifat abstrak. Kedaulatan adalah kehendak umum.
Menurut Immanuel Kant, tujuan negara adalah menegakkan hukum dan menjamin kebebasan warga negaranya. Kebebasan dalam batas perundang-undangan. Undang-undang dibuat oleh rakyat, meskipun melalui wakil-wakilnya. Undang-undang merupakan penjelmaan kemauan/kehendak rakyat. Rakyat yang mewakili kekuasaan tertinggi/berdaulat dalam negara.



[54] Periksa Moh. Kusnardi dan Bintan R.Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1994, h. 62-71
[55] Periksa, Soehino, op.cit. h.150-160, Abu Daud Busroh, op.cit., h.69-74 dan Moh Kusnardi dan Bintan R Saragih, op. cit., h.122-130.

Bab II : NEGARA

2.1        Pengertian
Pengertian tentang negara mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Para ahli mengemukakan pengertian yang berbeda berdasarkan alam pikiran dan kenyataan yang hidup dan berkembang di sekitarnya.
Aristoteles, filosof yang hidup pada 384-322 sebelum masehi pada zaman Yunani Kuno mengemukakan pandangannya tentang negara dalam lingkup wilayah yang kecil untuk ukuran pada masa sekarang. Negara yang merupakan negara kota oleh Aristoteles disebut polis[6], yaitu persekutuan dari keluarga dan desa untuk mencapai kehidupan yang sebaik-baiknya. Negara kota (polis) mempunyai jumlah penduduk relatif sedikit, dirumuskan oleh Aristoteles sebagai negara hukum yang di dalamnya terdapat sejumlah warga negara yang ikut serta dalam permusyawaratan negara (ecclesia). Negara hukum menurut (masa) Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas hukum, yang menjamin keadilan warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup warga negara yang baik. Hukum merupa-kan peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warganya. Dalam negara, pemegang pemerintahan adalah pikiran yang adil, bukan manusia, sedang penguasa sebenarnya hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja.
Agustinus, sarjana yang menjadi tokoh agama Katolik, hidup pada abad pertengahan, 350–430 sebelum masehi, zaman kejayaan agama Katolik. Pada masa itu pandangan hidup manusia didasarkan atas ketuhanan menurut Agama Katolik[7]. Agustinus membagi negara atas Civitas Dei (negara Tuhan) dan Civitas Terrena/Civi-tas Diaboli (negara duniawi/negara iblis). Negara Tuhan diwakili Gereja. Negara Tuhan bukanlah negara dari dunia, tetapi jiwa negara tuhan sebagian dimiliki oleh beberapa orang di dunia untuk mencapainya. Adakalanya negara duniawi memiliki jiwa civitas dei. Negara duniawi merupakan civitas diaboli adalah apabila diperintah dengan sewenang-wenang oleh orang-orang yang bergelimang dosa karena nafsu kemegahan dan duniawi. Keadilan dapat tercapai apabila negara diperintah oleh seorang Kristen dalam civitas dei. Orang dapat mencapai hidup bahagia untuk selamanya hanya dengan cara mengejar ke arah civitas dei. Contoh ini adalah Constantin dan Theodosius, karena memimpin civitas terrena dengan jiwa civitas dei[8]
Machiavelli (1469-1527)  hidup pada abad Rennaissance, menyangkal konsep dari Agustinus[9]. Machiavelli menulis Il Principle yang merupakan buku pelajaran bagi raja tentang bagaimana raja harus memerintah sebaik-baiknya. Dalam upayanya memahami apa itu negara, Machiavelli menggunakan pendekatan fakta, bukan ide. Ketika di Italia timbul perpecahan akibat dari kekacauan yang menimbulkan ancaman bahaya bagi persatuan bangsa Italia, maka menurutnya sebab utamanya adalah pada raja yang memerintah. Raja yang dalam memerintah dipengaruhi dan mempergunakan pertimbangan agama yang menanamkan rasa susila dan keadilan dipandangnya sebagai kelemahan apabila negara dalam keadaan kacau. Untuk mengatasi kekacauan, apabila perlu raja harus bertindak kejam untuk menindas kekacauan yang ada. Kekuatan yang superior dan kekejaman harus juga dimiliki oleh seorang raja, sehingga raja dapat menjadi penguasa tunggal dalam negara. Akibatnya, raja dapat mempertahankan persatuan dan kesatuan negaranya. Untuk dapat mencapai tujuan, negara harus mempunyai alat-alat kekuasaan fisik, yaitu kekuasaan yang memusatkan segala sesuatunya pada raja bagaimana raja memerintah. Menurutnya tujuan dapat menghalalkan segala macam alat yang dipakainya, dalam arti segenap alat dan cara (meski bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan) dapat digunakan asal tujuan dapat tercapai.
Thomas Hobbes (1588-1679) [10],  John Locke  (1632-1704)[11] dan Rousseau (1712-1778)[12] mengartikan negara sebagai badan atau organisasi hasil perjanjian masyarakat. Ajaran ketiga sarjana tersebut berbeda dalam hal memandang tujuan dan akibat dari perjanjian masyarakat.
Pengertian  negara dirumuskan dalam bermacam definisi oleh para ahli[13], antara lain :
a.       Aristoteles      : negara (polis)  ialah persekutuan dari keluarga dan desa untuk mencapai kehidupan yang sebaik-baiknya
b.      Jean Bodin     : negara adalah suatu persekutuan dari keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh dan dari suatu kekuasaan yang berdaulat;
c.       Hans Kelsen: negara ialah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa;
d.      Harold Laski: negara adalah suatu organisasi paksaan (coercive instrument);
e.       Hugo Grotius: negara merupakan suatu persekutuan yang sempurna dari masyarakat uang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum;
f.       Woodrow Wilson : negara adalah rakyat yang terorganisasi untuk hukum dalam wilayah tertentu (a people organized for law within a definite territory);
g.      Blunschli        : negara adalah diri rakyat yang disusun dalam suatu orga-nisasi politik di suatu daerah tertentu (politisch organisierte Volksperson eines bestimten landes);
h.      Logemann      : negara adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta menyelenggarakan sesuatu masyarakat;
i.        Kranenburg, manusia adalah mahluk sosial pada dasarnya juga mahluk golongan, dan ilmu negara memandanganya sebagai mahluk golongan tersebut.

2.2   Hakekat dan Sifat Negara
Pembahasan mengenai hakekat dan sifat negara oleh para ahli dikemukakan dalam berbagai cara. Menurut Soehino, hakekat negara menggambarkan sifat dari negara[14]. Soehino tidak memberikan gambaran yang jelas tentang sifat negara. Sifat dan hakekat negara dalam bukunya dapat dipahami dalam uraian ajaran para sarjana yang dipaparkannya. Miriam Budiardjo secara eksplisit menguraikan tentang sifat negara[15], akan tetapi tidak dengan tegas menyebutkan hakekat negara. Miriam memberikan uraian tentang negara yang dapat dipahami sebagai hakekat negara[16]. Sedangkan Abu Daud Busroh menyatukan penjelasan tentang hakekat dan sifat negara dalam titel sifat hakekat negara[17].
Mengacu kepada pendapat Soehino sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa hakekat negara, dalam arti hakekat dari apa yang dinamakan negara, apakah merupakan keluarga besar, alat, wadah, atau organisasi atau perkumpulan, berikut akan diuraikan beberapa pendapat para ahli berkait dengan hal tersebut.
Menurut Plato (429-347 SM) negara pada hakekatnya “merupakan suatu keluarga yang besar”. Luas negara diukur atau disesuaikan dengan dapat tidaknya, mampu tidaknya negara memelihara kesatuan di dalamnya. Oleh karenanya luas wilayah negara harus tertentu[18]
Menurut Aristoteles (384-322 SM) negara ada karena kodrat, yang terjadi karena bergabungnya orang-orang dalam keluarga, kemudian keluarga-keluarga bergabung menjadi desa dan akhirnya desa desa bergabung menjadi satu membentuk polis. Negara merupakan kesatuan yang mempunyai tujuan tertentu, yang berupa kebaikan tertinggi yaitu kesempurnaan diri manusia sebagai anggota negara. Negara merupakan organisme yang mempunyai dasar hidaup sendiri. Negara mengalami lahir, berkembang, surut bahkan mati sebagaimana keadaan mahluk hidup[19]. Manusia, sebagai mahluk sosial merupakan bagian dari negara, tidak mempunyai dasar hidup sendiri tidak dapat terlepas dari kesatuannya, negara. Negara mempunyai kedudukan utama, menguasai dan mengatur seluruh kehidupan, kekuasaannya bersifat abslut, dan amat menentukan nasib warganegaranya.
Menurut Epicurus (342–271 s.M.), negara merupakan hasil perbuatan manusia. Negara diciptakan manusia. Manusia sebagai individu . sebagai anggota masyarakat mempunyai dasar kehidupan mandiri dan merupakan realita. Negara diciptakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan manusia berupa kelangsungan hidup[20].
Zeno, mempunyai pendapat yang sangat berbeda dari ajaran Epicurus. Jika Epicurus memandang manusia sebagai `atoom` dan sifat individualistis manusia berkait dengan keberadaan negara, maka ajaran Zeno bersikap universal yang meliputi seluruh umat manusia, memandang setiap manusia di seluruh dunia mempunyai kedudukan yang sama sebagai warga dunia. Hukum yang berlaku adalah hukum alam yang bersifat abadi dan universal. Hukum ini memungkinkan manusia membentuk negara dunia[21]. Pengikut Zeno disebut kaum Stoa atau stoicin. Disebut demikian karena Zeno selalu memberikan pelajaran di lorong yang banyak tonggak temboknya yang disebut juga stoa. Ajaran kaum stoa bersifat dua hal, yaitu :
-          menggambarkan manusia yang merasa kosong di dalam masyarakat yang mengalami kebobrokan sosial etis, dan
-          menunjukkan jalan keluar dari kebobrokan etis dan keruntuhan negara dengan syarat etis-minimum[22].
Pada masa Romawi konsep kenegaraan tidak terlalu berkembang. Yang berkembang justru praktek ketatanegaraan. Bangsa Romawi lebih menitikberatkan soal-soal praktis.
Kerajaan Romawi di awali dari kondisi terpecah belah. Setelah melalui serangkaian peperangan yang diikuti dengan penaklukan negara-negara (polis) yang kalah perang, terjadilah perubahan dari negara kota, romawi menjadi Imperium (kerajaan dunia), yang mempersatukan peradaban dari negara-negara yang ditaklukan. Pada masa Romawi, negara dipisahkan dari warga negara, negara merupakan badan hukum di samping masyarakat, masing-masing diatur oleh hukum yang berbeda. Hubungan antar warganegara diatur oleh hukum privat, sedangkan hubungan yang menyangkut negara diatur oleh hukum publik. Kekuasaan negara tidak mutlak, kekuasaan negara berasal dari rakyat. Negara dan rakyat masing-masing dapat mempunyai tujuan yang berbeda. Apabila negara ternyata merugikan warganya, warga negara berhak untuk meminta ganti kerugian terhadap negara[23].
Tokoh yang terkenal pada masa ini antara lain Polybius, Cicero dan Seneca. Ajaran Polybius yang terkenal adalah teori tentang perubahan bentuk negara yang disebut cyclus theori. Polybius banyak memanfaatkan ajaran kaum Stoa dalam ajarannya[24]. Cicero juga menganut ajaran Kaum Stoa, berpendapat bahwa negara merupakan keharusan dan berdasarkan pada ratio manusia, berdasarkan hukum alam kodrat. Sedangkan Seneca berpendapat bahwa sosial etis menentukan kejayaan suatu negara[25].
Pendapat Seneca mengacu pada kejayaan dan kemudian kejatuhan Imperium Romawi. Setelah Imperium Romawi jatuh, tahun 476, sejarah memasuki jaman Abad Pertengahan.
Jaman Abad Pertengahan, berkembang selama kurang lebih sepuluh abad (abad V sampai abad XV), dapat dibagi dalam dua masa, yang diantaranya ditandai dengan terjadinya perinstiwa penting yaitu perang salib[26], yaitu :
a.       Jaman Abad pertengahan sebelum perang Salib, abad V sampai abad XII
Pada jaman ini ajaran tentang negara sangat teokratis. Segala sesuatunya dianggap semata-mata kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak berkembang pandangan yang bersifat kritis terhadap peristiwa yang terjadi di dunia, semuanya ditujukan untuk membela kepentingan agama dan gereja.
b.      Jaman Abad pertengan sesudah perang Salib, abad XII sampai abad XV.
Pada masa sesudah perang salib ajaran tentang negara dan hukum dipengaruhi oleh ajaran sarjana Yunani Kuno, karena ketika terjadi perang penganut agama kristen banyak yang  lari ke Timur Tengah, setelah perang salib usai mereka kembali ke negaranya dengan membawa pengaruh Yunani kuno[27].
Tokoh yang terkenal pada masa abad Pertengahan antara lain  Augustinus, Thomas Aquinas dan Marsilius.
Augustinus (354-430) berpendapat, negara sifatnya hanyalah sebagai alat gereja untuk membasmi musuh gereja. Negara mempunyai kedudukan/kekuasaan lebih rendah dan di bawah gereja. Dalam bukunya De Civitate Dei, Augustinus mengurai-kan adanya dua macam negara, yaitu :
  1. Civitas Dei (negara Tuhan), merupakan negara yang dicita-citakan Agama,
  2. Civitas Terrena (diaboli/negara iblis/negara duniawi).
Civitas dei merupakan negara terbaik, akan tetapi tak pernah terwujud. Semangat civitas dei dimiliki oleh sebagian orang dan mereka selalu berusaha untuk mencapainya. Civitas dei hanya dapat dicapai dengan perantaraan gereja sebagai wakil negara tuhan di dunia. Orang di luar gereja dapat mengupayakannya dengan cara menaati perintah tuhan[28]. Soehino memandang bahwa Augustinus menyamakan pengertian negara dengan pengertian masyarakat,  gereja dianggap bayangan civitas dei di dunia, dan kekuasaan raja diperoleh dari pemberian gereja[29].
John Salisbury (pertengahan abad XII/ +1150) mengemukakan pendapat yang bertentangan dari ajaran Augustinus, bahwa negara semestinya menciptakan perdamaian untuk kepentingan gereja, sekaligus menjamin keselamatan dan ketentraman kehidupan masyarakat. Menurutnya jika tiap orang bekerja untuk kepentingannya, maka kepentingan masyarakat akan terpelihara dengan baik[30], dalam pengertian dengan tetap menjaga masing-masing tidak mencampuri urusan orang lain. Negara dan gereja tidak saling berebut kekuasaan.
Thomas Aquinas, (1225-1274) berpendapat bahwa organisasi negara dan organisasi gereja mempunyai kedudukan yang sama, tetapi tugasnya berbeda. Negara dipimpin raja bertugas dalam lapangan duniawi sedangkan tugas gereja yang dipimpin paus dalam lapangan kerokhanian, keagamaan. Gereja merupakan wakil kerajaan Tuhan di dunia, oleh karena itu maka hukum duniawi didukung dan dilindungi gereja. Sesuai kodratnya, kekuasaan duniawi/raja seharusnya tunduk kepada kekuasaan gereja demi tujuan manusia mencapai kemuliaan abadi[31]. Pendapat ini berbeda dari Augustinus yang memisahkan sama sekali negara dengan gereja. Menurut Aquinas negara dan gereja mempunyai kerjasama yang erat. Negara didukung dan dilindungi oleh gereja untuk mencapai tujuannya.
Marsilius dari Padua (1270-1340) penganut aliran filsafat nominalist, pendapatnya sangat dipengaruhi ajaran Aristoteles. Menurutnya negara adalah suatu badan atau organisme yang mempunyai dasar-dasar hidup dan tujuan tertinggi yaitu menyelenggarakan dan mempertahankan perdamaian[32]. Menurut Soehino dalam ajaran Marsilius nampak peranan orang atau individu dalam pembentukan negara atau masyarakat. Terbentuknya negara bukan semata kehendak Tuhan, tetapi terjadi karena perjanjian orang-orang yang hidup bersama untuk menyelenggarakan perdamaian[33]. Dalam perjanjian tersebut ditunjuk seseorang untuk bertugas memelihara perdamaian. Perjanjian tersebut untuk membentuk negara sekaligus untuk menundukkan diri (factum subjectiones). Terdapat dua macam penundukan diri (factum subjectiones), yaitu :
  1. bersifat terbatas pada apa yang dikehendaki oleh rakyat. Kekuasaan raja hanya menyelenggarakan kekuasaan rakyat,  eksekutif saja. Peraturan ditentukan oleh rakyat. Penyerahan kekuasaan demikian disebut concessio[34]
  2. bersifat mutlak, dalam arti rakyat tunduk kepada raja yang mereka pilih,  penguasa juga berwenang menjalankan kekuasaan eksekutif sekaligus membuat peraturan (legislatif). Penyerahan kekuasaan demikian disebut translatio[35].
Jaman Renaissance menandai berakhirnya abad pertengahan, dimulai sekitar pertengahan abad pertengahan bagian kedua sampai akhir abad XVI. Menurut Soehino, ajaran tentang negara dan hukum masa ini dipengaruhi oleh:
  1. berkembangnya kembali kebudayaan Yunani kuno yang disebabkan oleh pengaruh terjadinya perang salib. Sesudah perang salib, ajaran Aristoteles, khususnya tentang ratio manusia, mengubah pandangan bahwa yang menentukan segalanya adalah pemimpin negara atau gereja, karena mereka adalah wakil Tuhan sehingga manusia tidak boleh berpikir sendiri untuk menentukan hidupnya. Karena terlalu `mengidolakan` budaya Yunani, dalam hal ini pengakuan terhadap rationalitas manusia, masyarakat menjadi mengesampingkan nilai agama, terjadi demoralisasi dan berkembang individualisme[36].

  1. sistem feodalisme yang berakar pada kebudayaan Jerman menimbulkan kekacauan dan perpecahan daerah.
Tokoh-tokoh yang terkenal pada Jaman ini antara lain :Niccolo Machiavelli, Thomas Morus, kaum monarkomaken.
Menurut Machiavelli negara ada untuk kepentingan negara itu sendiri, yang mengejar tujuan dan kepentingannya dengan cara yang dianggapnya paling tepat, meski dengan cara yang sangat licik. Kepentingan negara menjadi ukuran tertinggi bagi pelaksanaan pemerintahan dan segala perbuatan manusia[37].
Thomas Morus (1478 –1535), sastrawan, penulis Utopia. Bukunya terdiri dari dua bagian. Bagian pertama memberikan gambaran tentang keadaan yang menjadi acuan baginya menyusun bagian kedua, yang di dalamnya digambarkan negara model yang dimimpikan oleh Thomas Morus. Bukunya merupakan kritik terhadap keadaan pemerintahan dan kenegaraan Inggris pada waktu itu
Kaum monarkomaken  terdiri dari beberapa ahli yang anti atau menentang raja, dalam arti anti terhadap akibat kekuasaan raja yang bersifat absolut. Mereka antara lain Luther, Melanchthon, Zwingli dan Chalvin, yang pada prinsipnya tidak setuju pada susunan organisasi gereja yang ada pada saat itu[38]

2.3 Unsur Negara
Konvensi Montevideo, tahun 1933, menentukan komponen yang harus ada agar kelompok masyarakat dapat disebut sebagai negara, yaitu :
a.       penduduk tetap,
b.      wilayah tertentu,
c.       pemerintah (yang sudah biasa diakui oleh penduduk), dan
d.     kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara-negara lain. Berkait dengan pengakuan dari masyarakat internasional, syarat keempat merupakan syarat yang amat penting.[39]

2.4    Bentuk Negara dan Teori tentang Bentuk Negara
Bentuk-bentuk negara yang dikenal dalam ketatanegaraan adalah[40] :
a.       negara kesatuan/unitaris
Negara unitaris/kesatuan adalah negara yang bersusunan tunggal, negara yang hanya terdiri satu negara saja. Tidak ada negara dalam negara. Negara kesatuan adalah bentuk negara yang tunggal dan mandiri, terdiri dari satu negara, satu pemerintahan, satu kepala negara, dlembaga legislative untuk seluruh kawasan negara.
Terdapat dua model negara kesatuan, yaitu:
-    negara kesatuan dengan system sentralisasi
negara tidak mengadakan pembagian daerah; disebut juga negara kesatuan yang terdekonsentrasi. Segala sesuatu dalam negara langsung diurus dan diatur oleh pemerintah pusat, termasuk yang berkait dengan pemerintahan dan kekuasaan di daerah.
-    negara kesatuan dengan system desentralisasi
negara mengadakan pembagian daerah pada setiap organisasi kenegaraan yang berdiri sendiri dan memiliki pemerintahan sendiri, namun wewenang tertinggi tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Pemerintahan di daerah diberi wewenang untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonom).


b.      negara serikat/federasi
negara federasi/serikat merupakan gabungan dari beberapa negara, yang tiap negara merupakan bagian dari negara serikat tersebut. Negara-negara bagian berdiri sendiri, dengan alat perlengkapan, kepala negara dan pemerintahan sendiri, lembaga legislative dan yudisiil sendiri. Negara bagian, semula merupakan negara yang merdeka dan berdaulat, kemudian bergabung, dengan melepaskan sebagian kekuasaan dan kewenangannya secara berangsur dan limitative kepada negara serikat (delegated powers). Kekuasaan yang diserahkan kepada negara serikat lazimnya adalah kekuasaan yang berkait dengan hubungan luar negeri, keuangan, dan pertahanan keamanan. Tetapi apabila secara spesifik dapat ditentukan oleh negara serikat, sepanjang negara berdaulat bersedia dan negara serikat menerima, kekuasaan yang diserahkan atau tidak dapat disepakati antara negara bagian dan negara serikatnya. Kekuasaan yang dilimpahkan kepada pemerintah federal, umumnya mencakup lima hal[41], yaitu:
-          hal yang menyangkut kedudukan Negara sebagai subyek hukum internasional; misal mengenai masalah kewilayahan, kewarganegaraan, migrasi, hubungan dan pertukaran perwakilan dengan Negara lain,
-          hal yang berkait dengan keselamatan Negara, seperti pertahanan keamanan, masalah perang dan damai;
-          masalah konstitusi dan organisasi pemerintahan federasi, asas-asas pokok hukum, serta organisasi peradilan, apabila dipandang perlu oleh pemerintah pusat;
-          masalah mata uang dan keuangan untuk pembiayaan pemerintahan federasi, termasuk pajak, bea cukai, monopoli Negara, dsb;
-          hal yang berkait dengan kepentingan bersama antar Negara bagian, seperti pos dan telekomunikasi, statistic, industri, perdagangan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, dsb.
c.       negara dominion
adalah Negara yang sebelumnya merupakan jajahan inggris yang kemudian merdeka dan berdaulat, tetapi tetap mengakui Raja Inggris sebagai rajanya, sekaligus sebagai lambang dari persatuan dan kesatuannya. Negara dominion tergabung dalam ikatan The British Commonwealth of  Nation atau Negara-negara Persemakmuran.
d.      negara protektorat
adalah Negara yang berada di bawah perlindungan Negara lain. Lazimnya, persoalan luar negeri dan pertahanan keamanan Negara protektorat dilaksanakan dengan persetujuan bersama diserahkan kepada Negara yang memberikan perlindungan (suzeren). Negara protektorat bukan merupakan subyek hukum internasional.
Terdapat dua macam Negara protektorat, yaitu protektorat colonial dan protektorat internasional. Protektorat colonial, apabila terhadap urusan pertahanan keamanan, hubungan luar negeri serta sebagian besar urusan dalam negeri yang penting berada pada Negara pelindungnya, sedangkan protektorat internasional apabila Negara protektorat dapat bertindak dan menjadi subyek hukum internasional, seperti Negara Timor Leste.
e.       negara uni
apabila ada dua Negara atau lebih yang masing-masing merdeka mempunyai satu kepala Negara yang sama. Negara uni bukan merupakan bentuk suatu Negara, tetapi gabungan Negara-negara atau badan kerja sama antar Negara, yang dibentuk untuk menciptakan persatuan di antara dea Negara atau lebih, missal Uni Eropa. Negara Uni dibedakan dalam dua jenis, yaitu Uni Riil/Nyata dan Uni Personal/Pribadi.

2.5    Tujuan dan Fungsi Negara
Tujuan yang akan dicapai oleh negara dideskripsikan secara berbeda oleh para ahli sejak masa Yunani. Socrates (meninggal 399 SM) tidak dengan eksplisit menyebut tujuan negara tetapi mendeskripsikan tugas negara yaitu menciptakan hukum yang dilakukan oleh para pemimpin/penguasa yang dipilih oleh rakyat[42].
Plato (429-347 SM)[43], murid Socrates, melahirkan ajaran alam cita (ideeenleer)[44], berpendapat tujuan negara adalah untuk mengetahui/mencapai/ mengenal idea yang sesungguhnya. Idea yang sesungguhnya hanya dapat dicapai dan diketahui oleh para ahli filsafat saja. Oleh karena itu pemimpin negara atau pemerintahan sebaiknya dipegang oleh ahli filsafat saja[45]
Menurut Aristoteles (384-322 SM), penggagas collectivisme, universalisme, negara sebagai persekutuan mempunyai tujuan tertentu berupa mencapai kebaikan tertinggi, berupa kehidupan warga negara yang baik dan bahagia[46]. Manusia sebagai individu yang tidak mempunyai dasar hidup sendiri dan tidak dapat terlepas dari kesatuannya (negara) merupakan dasar hidup organisme (negara). Negara mempunyai kedudukan yang utama menguasai seluruh aspek kehidupan dengan kekuasaan yang absolut. Nasib warganegara tergantung nasib negaranya[47].
Epicurus (342-271), menyaksikan kejayaan Imperium Roma dan meninggal-nya Alexander yang Agung yang kemudian diikuti perpecahan negara Yunani[48]. Epicurus penggagas individualisme, berpendapat bahwa individu sebagai anggota masyarakat merupakan elemen terpenting negara. Negara ada untuk memenuhi kepentingan individu[49]. Tujuan negara adalah menyelenggarakan ketertiban dan keamanan, menyelenggarakan kepentingan perseorangan yang merupakan kekenakan pribadi yang tidak berisifat materialistis tetapi bersifat kejiwaan atau kerokhanian[50] Untuk itu orang harus menundukkan diri kepada pemerintah yang bagaimanapun bentuk dan sifatnya[51].
Pada masa abad pertengahan, berrkembang faham teokrasi. Menurut Johan Salisbury, negara seharusnya menciptakan perdamaian untuk kepentingan gereja (sebagaimana ajaran Augustinus) sekaligus menjamin keselamatan dan ketentraman kehidupan masyarakat. Ajaran ini menghapuskan teori dua pedang dan ajaran matahari-bulan yang membedakan secara tajam kekuasaan gereja dengan kekuasaan negara[52].
Menurut Thomas Aquinas tujuan negara identik dengan tujuan manusia. Tujuan manusia adalah kemuliaan abadi, kemuliaan sesudah mati yang dapat dicapai dengan tuntunan gereja. Negara bertugas memberi kesempatan untuk terlaksananya tuntutan gereja dengan cara menjamin keamanan dan perdamaian agar tiap orang dapat menjalankan tugasnya. Gereja merupakan persekutuan hidup yang meliputi segalanya, wakil kerajaan Tuhan di dunia. Hukum keduniawian didukung dan dilindungi gereja, secara kodrati kekuasaan duniawi seharusnya tunduk pada kekuasaan rohani demi tujuan manusia[53].
Abad Pertengahan berlalu, memasuki jaman Renaissance (Abad XV) pandangan tentang negara dan hukum dipengaruhi oleh banyak paham.
Menurut Machiavelli mengalami masa  dan Perancis tujuan negara adalah mengusahakan terselenggaranya ketertiban, keamanan dan ketentraman. Hal ini hanya dapat dicapai oleh pemerintah seorang raja yang mempunyai kekuasaan absolut. Untuk itu ia harus berusaha menghimpun kekuasaan pada tangan raja. Tujuan negara merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kemakmuran bersama (rakyat Itali). Tujuan negara semata-mata kekuasaan[54].
Jean Bodin sependapat dengan Machiavelli bahwa tujuan negara adalah kekua-saan. Raja mempunyai kekuasaan absolut. Bodin tidak berani menyingkirkan pengaruh hukum Tuhan dan Hukum Alam seluruhnya dari sistemnya yang sangat positif.



[6] Periksa, Soehino, loc.cit., h.23
[7] Periksa Moh. Kusnardi dan Bintaan R.Saragih, ibid. hal. 48.
[8] Ibid, hal 49.
[9] Periksa Soehino, loc.cit., 70-73
[10] 0p. cit., 98
[11] Ibid., 106
[12] Ibid., 118
[13] Periksa Ramdlon Naning, Gatra Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1983, h. 1-2.
[14] Soehino, op. cit., h. 146
[15] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982, h. 40-41
[16] Ibid., h. 38
[17] Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, 2001, h. 20-24
[18]Periksa Plato dalam Soehino, op. Cit., h. 17
[19] Periksa Aristoteles dalam Ibid., h.25.
[20] Periksa Epicurus dalam Ibid., h.31
[21] Periksa Zeno dalam Ibid, h.32
[22] Ibid., h.33
[23] Ibid., h.33-37.
[24] Ibid., 38-41
[25]Periksa Seneca dalam Ibid., h. 42-43.
[26] Periksa, Ibid., h.49.
[27] Ibid., h.50.
[28] Ibid., h 52
[29] Ibid. h. 53
[30] Ibid., h. 55
[31] Ibid., h.59
[32] Ibid., h. 64.
[33] Bandingkan : Menurut Agustinus Tuhan merupakan pokok pangkal segala sesuatu, termasuk negara; Thomas Aquinas, masih mengacu kapa kehendak Tuhan, tetapi terdapat juga faktor manusia; menurut Epicurus negara merupakan hasil perbuatan manusia, diciptakan untuk menyelenggarakan kepentingannya.
[34] Ibid., h. 65.
[35] Ibid.
[36] Ibid., 69
[37] Ibid., h.72
[38] Ibid., h. 81.
[39] Periksa, Starke, terj. oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Jilid 1, Edisi ke 10, Sinar Grafika, Jakarta, cet. I, 1992, h.
[40] Periksa, Ramdlon Naning, op.cit. h..38-45


[41] Periksa, Ramdlon Naning, op.cit. h. 40.
[42] Soehino, op.cit., h
[43] Ibid., h.15
[44] Ibid., h.16
[45] Ibid., h.17
[46] Ibid., h.24-25
[47] Ibid., h.27
[48] Ibid., h.29
[49] Ibid., h.30
[50] Ibid., h.31
[51] Ibid.
[52] Ibid.,h. 55.
[53] Ibid., h.58-59
[54] Ibid., h.71-72