Kamis, 25 Oktober 2018

Sanksi Bagi Siswa Pelanggar dan Pelaku Kekerasan di Sekolah


Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam rilis yang diterima Health Liputan6.com, Rabu (2/5/2018).menjelaskan bahwa Sekolah Ramah Anak adalah sekolah yang aman dan nyaman untuk mengantarkan anak-anak Indonesia menjadi generasi penerus bangsa yang handal, bukan sebatas sekolah yang aman dari kekerasan. Termasuk dalam prinsip Sekolah Ramah Anak adalah adanya kantin yang menyediakan makanan dan minuman sehat, termasuk buah dan sayur, serta jajanan yang tidak mengandung pemanis, penyedap, dan pengawet. Termasuk dalam sekolah ramah anak adalah lingkungan yang bersih dan sehat, termasuk keberadaan taman-taman yang menyejukkan lingkungan sekolah. Pendek kata setiap unsur/komponen di sekolah yang mendukung terwujudnya keamanan dan kenyamanan bagi anak termasuk dalam ranah perhatian dalam mewujudkan sekolah ramah anak.

Dari seluruh komponen, harus diakui, bahwa kekerasan merupakan satu konsep dominan dalam pengembangan gagasan sekolah ramah anak. Untuk itu harus terdapat kesepahaman diantara stakeholder sekolah tentang makna kekerasan, dan sanksi bagi pelanggarnya yang seharusnya ditempatkan sebagai tindakan disiplin. Hal ini semata agar sekolah tidak ragu dalam menegakkan disiplin terhadap anak yang terindikasi melakukan pelanggaran-pelanggaran disiplin sekolah, termasuk di dalamnya melakukan perbuatan yang termasuk dalam kategori kekerasan di lingkungan sekolah. Dalam kegiatan sosialisasi tentang tindak kekerasan pada anak, yang dilakukan oleh Relawan dalam Komunitas Peduli Anak di Jember, bersama dengan Pusat Sudi Informasi dan Hak-hak Anak, terdeteksi bahwa banyak terjadi tindak perundungan di antara siswa yang terjadi di lingkungan sekolah. Perundungan baik yang bersifat ringan seperti saling olok, ejek, bahkan dengan sekedar mengolok nama orang tua, disiram air oleh kakak kelasnya di muka teman-temannya tanpa ada yang berani menolongnya, sampai perundungan yang bersifat “mengancam” sehingga “korban” sampai tidak berani keluar kelas ketika jam istirahat.

Mengapa pemahaman makna kekerasan bagi stakeholder sekolah dan penegakan disiplin terhadap pelanggaran penting?

Pengertian kekerasan yang harus dijadikan pemahaman bersama baik pihak sekolah, guru, orang tua/wali murid dan penegak hukum adalah setiap perbuatan dengan maksud menyakiti, menghina, merendahkan, termasuk mengancam untuk melakukan perbuatan dan pemaksaan, yang mengakibatkan penderitaan secara fisik, psikis, sosial.  Dengan perkataan lain, harus ada niat jahat yang terkandung dalam perbuatan tersebut dari pelaku kepada korban. Oleh karena itu maka tindakan yang secara fisik menimbulkan rasa sakit kepada anak, apabila dilakukan secara terukur, pada bagian tubuh yang tidak membahayakan, dilakukan karena sebab tertentu yang bersifat prinsip, dengan tujuan untuk membuat anak jera, menjadi lebih baik, maka tindakan menimbulkan sakit yang demikian tidak dapat serta merta dikategorikan kekerasan pada anak. Apabila pemahaman yang sama berhasil dibangun antara sekolah, guru, siswa, orang tua/wali murid maka tidak ada keraguan bagi guru untuk mendisiplinkan siswa yang melanggarkan peraturan disiplin di sekolah. Karena, dalam hukum (pidana) sanksi merupakan keniscayaan dalam menjamin agar tercipta keadilan dan kedamaian bagi setiap orang dalam masyarakat. Hukum (pidana) melindungi segala hak dan kepentingan anggota masyarakat dan Negara, juga dikenal sebagai hukum sanksi, karena sifat hukumnya yang memaksa. Sanksi (hukuman) yang dijatuhkan terhadap pelanggar hukum mengandung tiga alasan, yaitu, untuk mengajukan serta mendukung tindakan mempertahankan tata tertib; untuk mencegah terjadinya perbuatan yang bisa menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakadilan; dan untuk mengembalikan serta mempertahankan keamanan, ketertiban dan keadilan yang telah diganggu.
Pemberian sanksi tidak semata sebagai pembalasan atas pelanggaran yang dilakukan, tetapi juga untuk memperbaiki ahlak dan perilaku si pelanggar menjadi manusia yang baik. Sanksi pada hakekatnya bermaksud untuk pertama, menakut-nakuti, sehingga pelaku jera untuk melakukan pelanggaran; kedua memperbaiki, sehingga pelaku tidak mengulangi perbuatannya yang merugikan orang lain; dan ketiga, melindungi, sehingga masyarakat merasa aman dari perbuatan pelanggaran oleh pelaku.
Berdasarkan ajaran sanksi pada teori hukum pidana, maka bagi anak pelaku “perundungan” dan bentuk kekerasan lain  yang terjadi di sekolah, guru dan sekolah, demi menjaga ketertiban dalam lingkungan sekolah dan menjamin rasa tentram seluruh pemangku kepentingan sekolah, khususnya siswa, berwenang untuk menjatuhkan “sanksi”. Yang harus dicatat adalah bahwa sanksi yang dijatuhkan terhadap siswa pelaku pelanggaran adalah dalam rangka mendidik, mendukung proses pembentukan karakter siswa dan kegiatan belajar yang dilakukannya. Sehingga tidak ada lagi alasan “khawatir” terhadap ancaman masuk dalam kategori tindak pidana kekerasan pada anak, maka demi keamanan dan ketenangan bekerja, para guru memilih untuk sekedar memberikan teguran saja, jika pada akhirnya anak tidak mengalami perbaikan perilaku pun mereka sampai pada sikap ‘ya.. gimana lagi’. Padahal, dalam tingkatan tertentu, penegakan disiplin secara fisik bisa saja dilakukan, sepanjang tidak membahayakan anak, oleh karenanya harus sangat terukur. Bentuk tindakan disiplin, jika pilihannya secara fisik juga tidak selalu identik dengan menyakiti tubuh. Sanksi duduk diam selama 10 menit (seperti dalam acara Nany 911), atau tindakan fisik seperti skot jump, atau push up, bisa menjadi pilihan. Yang harus digaris bawahi, adalah terukur. Cukup untuk membuat anak jera.
Pilihan lain, apabila sekolah memang benar-benar menghindari tindakan disiplin fisik adalah menjatuhkan sanksi membaca buku dan menceritakan kembali, baik secara tertulis maupun lisan. “Hukuman” ini berupa mewajibkan siswa pelanggar disiplin untuk membaca sebuah buku cerita, semakin berat pelanggarannya semakin tebal yang harus dibaca, dan menceritakan kembali di depan kelas, semakin berat pelanggarannya semakin besar pula forum yang harus dihadapi. Misalnya demikian. Siswa A melakukan perundungan terhadap B, dengan berupa ejekan. Jika ejekan menimbulkan rasa tidak nyaman korban maka hukuman membaca tiga cerita dan besoknya harus menceritakan kembali di kelasnya dapat diterapkan. Jika perundungan yang dilakukan tingkatannya lebih berat, maka semakin banyak cerita yang harus dibaca, dan semakin banyak dia harus tampil menceritakan kembali. “Hukuman” bercerita bisa dilakukan di depan kelasnya sendiri, di depan kelas lain, di muka guru atau bahkan di tempat umum. Mengapa membaca cerita dan bercerita menjadi pilihan? Karena dalam setiap cerita, pasti ada nilai moral yang ingin disampaikan penulisnya. Cerita/kisah-kisah pendek yang sangat sarat dengan pesan moral ada dalam buku-buku Chicken Soup.
Buku semacam ini berisi kumpulan cerita menarik, kata-kata bijak yang dapat menginspirasi pembacanya yang dalam kesusahan maupun kondisi kritis atau tidak nyaman lainnya



Dengan dipaksa membaca kisah-kisah yang dapat menyentuh hati dan menceritakan kembali, maka anak akan belajar bukan dari nasihat, akan tetapi dari pengalaman orang lain yang dituangkan dalam kisah tersebut. Dengan menceritakan kembali, anak dipaksa untuk memahami, minimal menghafal, kisah yang dibacanya. Bercerita di depan orang banyak juga merupakan salah satu cara seseorang membangun kepercayaan dirinya.
Dengan demikian, tidak ada lagi ‘perasaan lemah’ dari para guru karena perasaan tidak berdaya menegakkan disiplin terhadap siswa siswinya yang melakukan pelanggaran. “Sanksi/Hukuman” membaca cerita dan menceritakan kembali tentulah akan diterima dengan baik oleh orang tua siswa. Sedangkan bagi siswa, membaca dan bercerita secara fisik, sungguh sangat ringan, tetapi secara mental, butuh keberanian/nyali yang kuat agar dapat bercerita di hadapan orang lain dengan benar dan baik. Alih-alih dirasakan sebagai sanksi, tugas membaca dan menceritakan kembali dapat membangun kebiasaan membaca pada anak dan mengembangkan kemampuan anak mengkomunikasikan pengetahuan yang dimilikinya, sekaligus memupuk rasa percaya diri untuk menampilkan kompetensinya dihadapan publik. Anak-anak dengan kemampuan lebih dan kepercayaan diri yang baik, diharapkan dapat menyalurkan energi positifnya dengan cara yang benar.
Semoga tidak ada lagi keraguan pada guru dan sekolah untuk menegakkan disiplin bagi siswa yang melanggar ketertiban dan aturan sekolah.