Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam rilis yang
diterima Health Liputan6.com, Rabu (2/5/2018).menjelaskan
bahwa Sekolah Ramah Anak adalah sekolah yang aman dan nyaman untuk mengantarkan
anak-anak Indonesia menjadi generasi penerus bangsa yang handal, bukan sebatas
sekolah yang aman dari kekerasan. Termasuk dalam prinsip Sekolah Ramah Anak
adalah adanya kantin yang menyediakan makanan dan minuman sehat, termasuk buah
dan sayur, serta jajanan yang tidak mengandung pemanis, penyedap, dan pengawet.
Termasuk dalam sekolah ramah anak adalah lingkungan yang bersih dan sehat,
termasuk keberadaan taman-taman yang menyejukkan lingkungan sekolah. Pendek
kata setiap unsur/komponen di sekolah yang mendukung terwujudnya keamanan dan
kenyamanan bagi anak termasuk dalam ranah perhatian dalam mewujudkan sekolah
ramah anak.
Dari seluruh komponen, harus diakui, bahwa kekerasan merupakan satu
konsep dominan dalam pengembangan gagasan sekolah ramah anak. Untuk itu harus
terdapat kesepahaman diantara stakeholder sekolah tentang makna kekerasan, dan
sanksi bagi pelanggarnya yang seharusnya ditempatkan sebagai tindakan disiplin.
Hal ini semata agar sekolah tidak ragu dalam menegakkan disiplin terhadap anak
yang terindikasi melakukan pelanggaran-pelanggaran disiplin sekolah, termasuk
di dalamnya melakukan perbuatan yang termasuk dalam kategori kekerasan di
lingkungan sekolah. Dalam kegiatan sosialisasi tentang tindak kekerasan pada
anak, yang dilakukan oleh Relawan dalam Komunitas Peduli Anak di Jember,
bersama dengan Pusat Sudi Informasi dan Hak-hak Anak, terdeteksi bahwa banyak
terjadi tindak perundungan di antara siswa yang terjadi di lingkungan sekolah.
Perundungan baik yang bersifat ringan seperti saling olok, ejek, bahkan dengan
sekedar mengolok nama orang tua, disiram air oleh kakak kelasnya di muka
teman-temannya tanpa ada yang berani menolongnya, sampai perundungan yang
bersifat “mengancam” sehingga “korban” sampai tidak berani keluar kelas ketika
jam istirahat.
Mengapa pemahaman makna kekerasan bagi stakeholder sekolah dan penegakan disiplin terhadap pelanggaran penting?
Pengertian kekerasan yang harus dijadikan pemahaman bersama baik pihak sekolah, guru, orang tua/wali murid dan penegak hukum adalah setiap perbuatan dengan maksud menyakiti, menghina, merendahkan, termasuk mengancam untuk melakukan perbuatan dan pemaksaan, yang mengakibatkan penderitaan secara fisik, psikis, sosial. Dengan perkataan lain, harus ada niat jahat yang terkandung dalam perbuatan tersebut dari pelaku kepada korban. Oleh karena itu maka tindakan yang secara fisik menimbulkan rasa sakit kepada anak, apabila dilakukan secara terukur, pada bagian tubuh yang tidak membahayakan, dilakukan karena sebab tertentu yang bersifat prinsip, dengan tujuan untuk membuat anak jera, menjadi lebih baik, maka tindakan menimbulkan sakit yang demikian tidak dapat serta merta dikategorikan kekerasan pada anak. Apabila pemahaman yang sama berhasil dibangun antara sekolah, guru, siswa, orang tua/wali murid maka tidak ada keraguan bagi guru untuk mendisiplinkan siswa yang melanggarkan peraturan disiplin di sekolah. Karena, dalam hukum (pidana) sanksi merupakan keniscayaan dalam menjamin agar tercipta keadilan dan kedamaian bagi setiap orang dalam masyarakat. Hukum (pidana) melindungi segala hak dan kepentingan anggota masyarakat dan Negara, juga dikenal sebagai hukum sanksi, karena sifat hukumnya yang memaksa. Sanksi (hukuman) yang dijatuhkan terhadap pelanggar hukum mengandung tiga alasan, yaitu, untuk mengajukan serta mendukung tindakan mempertahankan tata tertib; untuk mencegah terjadinya perbuatan yang bisa menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakadilan; dan untuk mengembalikan serta mempertahankan keamanan, ketertiban dan keadilan yang telah diganggu.
Pemberian sanksi tidak semata sebagai pembalasan
atas pelanggaran yang dilakukan, tetapi juga untuk memperbaiki ahlak dan
perilaku si pelanggar menjadi manusia yang baik. Sanksi pada hakekatnya
bermaksud untuk pertama, menakut-nakuti, sehingga pelaku jera untuk melakukan
pelanggaran; kedua memperbaiki, sehingga pelaku tidak mengulangi perbuatannya
yang merugikan orang lain; dan ketiga, melindungi, sehingga masyarakat merasa
aman dari perbuatan pelanggaran oleh pelaku.
Berdasarkan ajaran sanksi pada teori hukum pidana,
maka bagi anak pelaku “perundungan” dan bentuk kekerasan lain yang terjadi di sekolah, guru dan sekolah,
demi menjaga ketertiban dalam lingkungan sekolah dan menjamin rasa tentram
seluruh pemangku kepentingan sekolah, khususnya siswa, berwenang untuk
menjatuhkan “sanksi”. Yang harus dicatat adalah bahwa sanksi yang dijatuhkan
terhadap siswa pelaku pelanggaran adalah dalam rangka mendidik, mendukung
proses pembentukan karakter siswa dan kegiatan belajar yang dilakukannya. Sehingga
tidak ada lagi alasan “khawatir” terhadap ancaman masuk dalam kategori tindak
pidana kekerasan pada anak, maka demi keamanan dan ketenangan bekerja, para
guru memilih untuk sekedar memberikan teguran saja, jika pada akhirnya anak
tidak mengalami perbaikan perilaku pun mereka sampai pada sikap ‘ya.. gimana
lagi’. Padahal, dalam tingkatan tertentu, penegakan disiplin secara fisik bisa
saja dilakukan, sepanjang tidak membahayakan anak, oleh karenanya harus sangat
terukur. Bentuk tindakan disiplin, jika pilihannya secara fisik juga tidak
selalu identik dengan menyakiti tubuh. Sanksi duduk diam selama 10 menit (seperti
dalam acara Nany 911), atau tindakan fisik seperti skot jump, atau push up,
bisa menjadi pilihan. Yang harus digaris bawahi, adalah terukur. Cukup untuk
membuat anak jera.
Pilihan lain, apabila sekolah memang benar-benar
menghindari tindakan disiplin fisik adalah menjatuhkan sanksi membaca buku dan
menceritakan kembali, baik secara tertulis maupun lisan. “Hukuman” ini berupa
mewajibkan siswa pelanggar disiplin untuk membaca sebuah buku cerita, semakin
berat pelanggarannya semakin tebal yang harus dibaca, dan menceritakan kembali
di depan kelas, semakin berat pelanggarannya semakin besar pula forum yang
harus dihadapi. Misalnya demikian. Siswa A melakukan perundungan terhadap B,
dengan berupa ejekan. Jika ejekan menimbulkan rasa tidak nyaman korban maka hukuman
membaca tiga cerita dan besoknya harus menceritakan kembali di kelasnya dapat
diterapkan. Jika perundungan yang dilakukan tingkatannya lebih berat, maka
semakin banyak cerita yang harus dibaca, dan semakin banyak dia harus tampil
menceritakan kembali. “Hukuman” bercerita bisa dilakukan di depan kelasnya
sendiri, di depan kelas lain, di muka guru atau bahkan di tempat umum. Mengapa
membaca cerita dan bercerita menjadi pilihan? Karena dalam setiap cerita, pasti
ada nilai moral yang ingin disampaikan penulisnya. Cerita/kisah-kisah pendek
yang sangat sarat dengan pesan moral ada dalam buku-buku Chicken Soup.
|
Buku semacam ini berisi
kumpulan cerita menarik, kata-kata bijak yang dapat menginspirasi pembacanya
yang dalam kesusahan maupun kondisi kritis atau tidak nyaman lainnya
|
Dengan
dipaksa membaca kisah-kisah yang dapat menyentuh hati dan menceritakan kembali,
maka anak akan belajar bukan dari nasihat, akan tetapi dari pengalaman orang
lain yang dituangkan dalam kisah tersebut. Dengan menceritakan kembali, anak
dipaksa untuk memahami, minimal menghafal, kisah yang dibacanya. Bercerita di
depan orang banyak juga merupakan salah satu cara seseorang membangun
kepercayaan dirinya.
Dengan demikian, tidak ada lagi ‘perasaan lemah’
dari para guru karena perasaan tidak berdaya menegakkan disiplin terhadap siswa
siswinya yang melakukan pelanggaran. “Sanksi/Hukuman” membaca cerita dan menceritakan
kembali tentulah akan diterima dengan baik oleh orang tua siswa. Sedangkan bagi
siswa, membaca dan bercerita secara fisik, sungguh sangat ringan, tetapi secara
mental, butuh keberanian/nyali yang kuat agar dapat bercerita di hadapan orang
lain dengan benar dan baik. Alih-alih dirasakan sebagai sanksi, tugas membaca
dan menceritakan kembali dapat membangun kebiasaan membaca pada anak dan
mengembangkan kemampuan anak mengkomunikasikan pengetahuan yang dimilikinya,
sekaligus memupuk rasa percaya diri untuk menampilkan kompetensinya dihadapan
publik. Anak-anak dengan kemampuan lebih dan kepercayaan diri yang baik,
diharapkan dapat menyalurkan energi positifnya dengan cara yang benar.
Semoga tidak ada lagi keraguan pada guru dan sekolah
untuk menegakkan disiplin bagi siswa yang melanggar ketertiban dan aturan
sekolah.