Rabu, 01 September 2010

Perlindungan Hukum Bidan dalam Pelayanan Kesehatan

Pendahuluan
Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dan komunikasi yang amat cepat memicu perkembangan masyarakat, termasuk di dalamnya kesadaran hokum masyarakat di bidang pelayanan kesehatan. Semakin banyak kasus pelayanan kesahatan yang terekspos di media massa baik yang terjadi di sarana pelayanan kesehatan maupun di praktek pribadi, baik yang dilakukan oleh dokter, bidan maupun perawat, baik mengenai upaya pelayanan kesehatannya atau pelayanan ‘profesionalnya’ maupun tindakan lain yang berkait dengan upaya pelayanan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Seorang bidan, seorang perawat dan seorang tenaga administrasi di RSUD diajukan ke meja hijau dengan tuduhan melakukan penjualan bayi atau melakukan adopsi secara tidak sah. Sebagai pegawai rumah sakit dan tenaga kesehatan yang bertugas memberikan upaya pelayanan kesehatan kepada pasien tugas utamanya melakukan upaya pelayanan kesehatan menolong persalinan dan merawat ibu dan bayi pasca persalinan sudah dilaksanakan dengan baik terbukti dengan tidak adanya keluhan atau komplain dari pasien atau keluarganya. Ketika pasien menghadapi masalah administrasi, dan kemudian perawat dan bidan dihadapkan pada tugas diluar upaya pelayanan kesehatan, dan kemudian bermasalah, ternyata perawat dan bidan harus menanggung resiko untuk mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut di muka pengadilan.
Pada akhirnya putusan hakim menentukan bidan dan perawat tidak terbukti melakukan adopsi secara tidak sah atau bahkan melakukan penjualan bayi, namun demikian peristiwa tersebut memberikan gambaran pada kita, bahwa belum atau tidak adanya pengetahuan hokum yang memadai bagi institusi atau tenaga kesehatan dalam memberikan upaya pelayanan kesehatan. Para pemberi layanan kesehatan seharusnya mengetahui tugas, kewenangan, hak dan kewajiban baik secara institusional maupun profesi tiap lembaga atau tenaga kesehatan.
Persitiwa lain, seorang bidan menerima pasien ibu hamil dan kemudian bersalin. Setelah persalinan, tanpa pesan apapun, ibu bersalin meninggalkan bayinya pada tempat praktek bidan. Setelah selang waktu tertentu, bayi dirawat, si ibu dating lagi bermaksud mengambil bayi, ketika diberi tahu biaya perasalinan dan perawatan bayi selama ditinggalkan yang tentu saja bertambah setiap hari, kaget dan semakin tidak mampu membayar. Apabila ibu bersalin akan mengambil bayinya begitu saja, tentu saja bidan akan menolak, akan tetapi yang terjadi bidan dilaporkan polisi karena dianggap telah menyandera bayi. Atau dalam hal ibu bersalin tidak kembali, apa yang harus dilakukan bidan, kemana harus menyerahkan bayi? Dapatkah bayi diadopsi? Siapa yang boleh mengadopsi? Bagaimana caranya?
Rumah bersalin, baik praktek pribadi maupun sarana pelayanan kesehatan, tidak mungkin menampung setiap bayi yang ditinggalkan oleh ibunya, dengan berbagai pertimbangan, baik karena kepentingan bayi maupun kemampuan dan kompetensi tempat bersalin dalam perawatan bayi untuk jangka panjang. Untuk itu, perlu diketahui langkah-langkah yuridis apa yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan agar upaya pelayanan kesehatan yang dilakukannya aman dari tanggung gugat dan tanggung jawab dari pasien, keluarga pasien maupun masyarakat.
Permasalahan
Secara normative terdapat instrument yuridis yang memberikan perlindungan hokum kepada tenaga kesehatan dalam melakukan upaya pelayanan kesehatan, namun sosialisasi mengenai hal tersebut pada para penyelenggara upaya pelayanan kesahatan nampaknya masih perl ditingkatkan, mengingat banyaknya aturan yang berubah atau bertambah seiring dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat di bidang pelayanan kesehatan. Di samping itu, meningkat pula tuntutan perlindungan hokum dari para penyelenggara kesehatan. UU 36./2009 menentukan bahwa menelantarkan pasien gawat darurat, tenaga kesehatan atau pimpinan sarana pelayanan kesehatan diancam denda Rp. 200.000.000,00, sementara berdasar UU 29/2004 menggunakan alat, metode dan teknik medik oleh orang yang tidak berwenang diancam dengan pidana denda Rp.150.000.000,00. Ketentuan-ketentuan yang nampak saling berkonflik tersebut perlu dijelaskan kepada para penyelenggara pelayanan kesehatan, sehingga upaya pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan optimal karena adanya keyakinan akan jaminan perlindungan hukum secara normative.

Pelaksanaan
Kegiatan ini akan dilaksanakan pada pertemuan yang diselenggarakan oleh Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Cabang Cabang Jember.
Tempat : Akademi Kebidanan Dr. Subandi Jalan Cendarawasih Jember
Waktu : I . Hari Tanggal : Minggu, tgl. 19 April 2010
II. Hari Tanggal : Minggu, tgl. 26 April 2010
III. Hari Tanggal : MInggu, tgl 2 Mei 2010
IV. Hari Tanggal : Minggu, 9 Mei 2010 dan
V. Hari Tanggal : Minggu, 23 Mei 2010

Sosialisasi berhasil dilaksanakan dengan baik. Setelah sesi presentasi, peserta amat antusias mengajukan pertanyaan, mengemukakan persoalan yang dihadapi dalam melakukan upaya pelayanan kesehatan khususnya kebidanan. Di antara pertanyaan tersebut adalah :
a. Ibu Swiss, dengan pertanyaan engenai rahasia pasien, bagaimana dengan pasien hamil di luar nikah. Apakah bidan tetap harus merahasiakan dari keluarganya
b. Ibu Kasiyatun, menanyakan alamat BKKBN serta hal-hal apa yang harus dilakukan dalam mediasi.
c. Ibu Rusmiati (Kalisat), menanyakan dilingkungan bidan sudah disosialisasikan bahwa informed consent harus ditulis oleh pasien. Siapakah yang sebenarnya harus menulis informed consent?
d. Ibu Deni (PKM Gumuk Mas), menanyakan berkait dengan hak masyarakat untuk secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri upaya pelayanan kesehatan bagi dirinya, bagaimana dengan ibu hamil yang pergi ke dukun bersalin, sementara pemerintah menghendaki jangan lagi ada persalinan di dukun bayi. Bagaimana apabila bumil memilih perawat sebagai tempat bersalin. Bagaimana status keprofesian bidan yang lulusan SPK?
e. Ibu Suryandari, berterima kasih atas materi presentasi, dan menyampaikan bahwa bidan di desa melakukan semua jenis upaya pelayanan kesehatan, baik medis, kebidanan, perawatan, apoteker, peracik obat, bahkan cleaning service. Pasien dating ke bidan baik di dalam maupun di luar jam kerja, dan meminta bidan untuk memberikan upaya pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan pasien bukan sesuai kewenangan bidan. Tetapi untuk kegiatan di luar jam dinas tanpa perlindungan hokum.
f. Ibu Ida, dosen akbid, apakah kompetensi perawat cukup untuk memberikan pertolongan persalinan, secara normative mereka tidak berwenang.
g. Ibu Ria, menanyakan pengurusan keterangan lahir, apabila ternyata anak yang lahir di bidan oleh orang tuanya akan diserahkan orang lain untuk dijadikan anak angkat
h. Ibu Ayu Kurniawati, PKM Karangduren, bahwa bidan melakukan semua profesi bidang kesehatan, tetapi Dinas hanya memberikan perlindungan apabila pelayanan terjadi pada jam kerja. Apakah tidak mungkin ada delegasi wewenang untuk para tenaga kesehatan yang memberikan upaya pelayanan kesehatan?
i. Siti Romlah (PKM Gumukmas), bagaimanakah kodeetik bidan terhadap dirinya? Apabila ada pasien, bidan tidak ada pasien ternyata meninggal, apakah bidan salah, karena jam praktek bidan adalah 24 jam? Bagaimana menghadapi LSM apabila bidan gagal melakukan upaya pelayanan kesehatan?
j. Sutinah (PKM Arjasa), menanyakan, bagaimana hukumnya apabila ternyata orang tua bayi memalsukan identitasnya dengan identitas calon orangtua angkat bayi, tanpa sepengetahuan bidan yang membuat keterangan lahir? Bagaimanakah hokum bagi dukun bayi apabila pasiennya meninggal?
k. Titi (PKM Semboro), menanyakan, bagaimana hokum bagi bidan apabila menolong persalinan dari keluarga tidak mampu, kondisi bayinya tidak baik. Oleh orang tua bayi, bayi diserahkan ke bidan untuk diserahkan ke orang lain. Kemudian ada orang yang mengambil bayi, ternyata bayi itu diserahkan ke orang lain.
l. Bidan dari PKM Gladakpakem, Beri (PKM Sukowono), Eniwati, Bidan dari PKM Kalisat, menanyakan hal yang sama yaitu mengenai surat keterangan lahir yang harus dikeluarkan oleh Bidan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar