2.1
Pengertian
Pengertian tentang negara mengalami perkembangan dari zaman ke
zaman. Para ahli mengemukakan pengertian yang berbeda berdasarkan alam pikiran
dan kenyataan yang hidup dan berkembang di sekitarnya.
Aristoteles, filosof yang hidup pada 384-322 sebelum masehi pada
zaman Yunani Kuno mengemukakan pandangannya tentang negara dalam lingkup
wilayah yang kecil untuk ukuran pada masa sekarang. Negara yang merupakan
negara kota oleh Aristoteles disebut polis[6],
yaitu persekutuan dari keluarga dan desa untuk mencapai kehidupan yang
sebaik-baiknya. Negara kota (polis) mempunyai jumlah penduduk relatif
sedikit, dirumuskan oleh Aristoteles sebagai negara hukum yang di dalamnya
terdapat sejumlah warga negara yang ikut serta dalam permusyawaratan negara (ecclesia).
Negara hukum menurut (masa) Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas
hukum, yang menjamin keadilan warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagiaan hidup warga negara yang baik. Hukum merupa-kan
peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warganya. Dalam
negara, pemegang pemerintahan adalah pikiran yang adil, bukan manusia, sedang
penguasa sebenarnya hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja.
Agustinus, sarjana yang menjadi tokoh agama Katolik,
hidup pada abad pertengahan, 350–430 sebelum masehi, zaman kejayaan agama
Katolik. Pada masa itu pandangan hidup manusia didasarkan atas ketuhanan
menurut Agama Katolik[7].
Agustinus membagi negara atas Civitas Dei (negara Tuhan) dan Civitas
Terrena/Civi-tas Diaboli (negara duniawi/negara iblis). Negara Tuhan
diwakili Gereja. Negara Tuhan bukanlah negara dari dunia, tetapi jiwa negara
tuhan sebagian dimiliki oleh beberapa orang di dunia untuk mencapainya.
Adakalanya negara duniawi memiliki jiwa civitas dei. Negara duniawi
merupakan civitas diaboli adalah apabila diperintah dengan
sewenang-wenang oleh orang-orang yang bergelimang dosa karena nafsu kemegahan
dan duniawi. Keadilan dapat tercapai apabila negara diperintah oleh seorang
Kristen dalam civitas dei. Orang dapat mencapai hidup bahagia untuk
selamanya hanya dengan cara mengejar ke arah civitas dei. Contoh ini
adalah Constantin dan Theodosius, karena memimpin civitas terrena dengan
jiwa civitas dei[8]
Machiavelli (1469-1527)
hidup pada abad Rennaissance, menyangkal konsep dari Agustinus[9].
Machiavelli menulis Il Principle yang merupakan buku pelajaran bagi raja
tentang bagaimana raja harus memerintah sebaik-baiknya. Dalam upayanya memahami
apa itu negara, Machiavelli menggunakan pendekatan fakta, bukan ide. Ketika di
Italia timbul perpecahan akibat dari kekacauan yang menimbulkan ancaman bahaya
bagi persatuan bangsa Italia, maka menurutnya sebab utamanya adalah pada raja
yang memerintah. Raja yang dalam memerintah dipengaruhi dan mempergunakan
pertimbangan agama yang menanamkan rasa susila dan keadilan dipandangnya
sebagai kelemahan apabila negara dalam keadaan kacau. Untuk mengatasi
kekacauan, apabila perlu raja harus bertindak kejam untuk menindas kekacauan
yang ada. Kekuatan yang superior dan kekejaman harus juga dimiliki oleh seorang
raja, sehingga raja dapat menjadi penguasa tunggal dalam negara. Akibatnya,
raja dapat mempertahankan persatuan dan kesatuan negaranya. Untuk dapat
mencapai tujuan, negara harus mempunyai alat-alat kekuasaan fisik, yaitu kekuasaan
yang memusatkan segala sesuatunya pada raja bagaimana raja memerintah.
Menurutnya tujuan dapat menghalalkan segala macam alat yang dipakainya, dalam
arti segenap alat dan cara (meski bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan)
dapat digunakan asal tujuan dapat tercapai.
Thomas Hobbes (1588-1679) [10], John Locke
(1632-1704)[11]
dan Rousseau (1712-1778)[12]
mengartikan negara sebagai badan atau organisasi hasil perjanjian masyarakat.
Ajaran ketiga sarjana tersebut berbeda dalam hal memandang tujuan dan akibat
dari perjanjian masyarakat.
Pengertian negara dirumuskan
dalam bermacam definisi oleh para ahli[13],
antara lain :
a.
Aristoteles : negara (polis) ialah persekutuan dari keluarga dan desa
untuk mencapai kehidupan yang sebaik-baiknya
b.
Jean Bodin : negara adalah suatu
persekutuan dari keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin
oleh dan dari suatu kekuasaan yang berdaulat;
c.
Hans Kelsen: negara ialah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata
paksa;
d.
Harold Laski: negara adalah suatu organisasi paksaan (coercive instrument);
e.
Hugo Grotius: negara merupakan suatu persekutuan yang sempurna dari masyarakat
uang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum;
f.
Woodrow Wilson : negara adalah rakyat yang terorganisasi untuk hukum dalam wilayah
tertentu (a people organized for law within a definite territory);
g.
Blunschli : negara adalah diri
rakyat yang disusun dalam suatu orga-nisasi politik di suatu daerah tertentu (politisch
organisierte Volksperson eines bestimten landes);
h.
Logemann : negara adalah suatu
organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta
menyelenggarakan sesuatu masyarakat;
i.
Kranenburg, manusia adalah mahluk sosial pada dasarnya juga mahluk golongan,
dan ilmu negara memandanganya sebagai mahluk golongan tersebut.
2.2
Hakekat dan Sifat Negara
Pembahasan mengenai hakekat dan sifat negara oleh para
ahli dikemukakan dalam berbagai cara. Menurut Soehino, hakekat negara
menggambarkan sifat dari negara[14].
Soehino tidak memberikan gambaran yang jelas tentang sifat negara. Sifat dan
hakekat negara dalam bukunya dapat dipahami dalam uraian ajaran para sarjana
yang dipaparkannya. Miriam Budiardjo secara eksplisit menguraikan tentang sifat
negara[15],
akan tetapi tidak dengan tegas menyebutkan hakekat negara. Miriam memberikan uraian
tentang negara yang dapat dipahami sebagai hakekat negara[16].
Sedangkan Abu Daud Busroh menyatukan penjelasan tentang hakekat dan sifat
negara dalam titel sifat hakekat negara[17].
Mengacu kepada pendapat Soehino sebagaimana diuraikan sebelumnya,
bahwa hakekat negara, dalam arti hakekat dari apa yang dinamakan negara, apakah
merupakan keluarga besar, alat, wadah, atau organisasi atau perkumpulan,
berikut akan diuraikan beberapa pendapat para ahli berkait dengan hal tersebut.
Menurut Plato (429-347 SM) negara pada hakekatnya “merupakan suatu
keluarga yang besar”. Luas negara diukur atau disesuaikan dengan dapat
tidaknya, mampu tidaknya negara memelihara kesatuan di dalamnya. Oleh karenanya
luas wilayah negara harus tertentu[18]
Menurut Aristoteles (384-322 SM) negara ada karena
kodrat, yang terjadi karena bergabungnya orang-orang dalam keluarga, kemudian
keluarga-keluarga bergabung menjadi desa dan akhirnya desa desa bergabung
menjadi satu membentuk polis. Negara merupakan kesatuan yang mempunyai
tujuan tertentu, yang berupa kebaikan tertinggi yaitu kesempurnaan diri manusia
sebagai anggota negara. Negara merupakan organisme yang mempunyai dasar hidaup
sendiri. Negara mengalami lahir, berkembang, surut bahkan mati sebagaimana
keadaan mahluk hidup[19].
Manusia, sebagai mahluk sosial merupakan bagian dari negara, tidak mempunyai
dasar hidup sendiri tidak dapat terlepas dari kesatuannya, negara. Negara
mempunyai kedudukan utama, menguasai dan mengatur seluruh kehidupan,
kekuasaannya bersifat abslut, dan amat menentukan nasib warganegaranya.
Menurut Epicurus (342–271 s.M.), negara merupakan hasil
perbuatan manusia. Negara diciptakan manusia. Manusia sebagai individu .
sebagai anggota masyarakat mempunyai dasar kehidupan mandiri dan merupakan
realita. Negara diciptakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan manusia berupa
kelangsungan hidup[20].
Zeno, mempunyai pendapat yang sangat berbeda dari ajaran
Epicurus. Jika Epicurus memandang manusia sebagai `atoom` dan sifat
individualistis manusia berkait dengan keberadaan negara, maka ajaran Zeno
bersikap universal yang meliputi seluruh umat manusia, memandang setiap manusia
di seluruh dunia mempunyai kedudukan yang sama sebagai warga dunia. Hukum yang
berlaku adalah hukum alam yang bersifat abadi dan universal. Hukum ini memungkinkan
manusia membentuk negara dunia[21].
Pengikut Zeno disebut kaum Stoa atau stoicin. Disebut demikian karena Zeno
selalu memberikan pelajaran di lorong yang banyak tonggak temboknya yang
disebut juga stoa. Ajaran kaum stoa bersifat dua hal, yaitu :
-
menggambarkan manusia yang
merasa kosong di dalam masyarakat yang mengalami kebobrokan sosial etis, dan
-
menunjukkan jalan keluar dari
kebobrokan etis dan keruntuhan negara dengan syarat etis-minimum[22].
Pada masa Romawi konsep kenegaraan tidak terlalu
berkembang. Yang berkembang justru praktek ketatanegaraan. Bangsa Romawi lebih
menitikberatkan soal-soal praktis.
Kerajaan Romawi di awali dari kondisi terpecah belah.
Setelah melalui serangkaian peperangan yang diikuti dengan penaklukan
negara-negara (polis) yang kalah perang, terjadilah perubahan dari negara kota,
romawi menjadi Imperium (kerajaan dunia), yang mempersatukan peradaban dari
negara-negara yang ditaklukan. Pada masa Romawi, negara dipisahkan dari warga
negara, negara merupakan badan hukum di samping masyarakat, masing-masing
diatur oleh hukum yang berbeda. Hubungan antar warganegara diatur oleh hukum
privat, sedangkan hubungan yang menyangkut negara diatur oleh hukum publik.
Kekuasaan negara tidak mutlak, kekuasaan negara berasal dari rakyat. Negara dan
rakyat masing-masing dapat mempunyai tujuan yang berbeda. Apabila negara
ternyata merugikan warganya, warga negara berhak untuk meminta ganti kerugian
terhadap negara[23].
Tokoh yang terkenal pada masa ini antara lain Polybius,
Cicero dan Seneca. Ajaran Polybius yang terkenal adalah teori tentang perubahan
bentuk negara yang disebut cyclus theori. Polybius banyak memanfaatkan
ajaran kaum Stoa dalam ajarannya[24].
Cicero juga menganut ajaran Kaum Stoa, berpendapat bahwa negara merupakan
keharusan dan berdasarkan pada ratio manusia, berdasarkan hukum alam kodrat.
Sedangkan Seneca berpendapat bahwa sosial etis menentukan kejayaan suatu negara[25].
Pendapat Seneca mengacu pada kejayaan dan kemudian
kejatuhan Imperium Romawi. Setelah Imperium Romawi jatuh, tahun 476, sejarah memasuki
jaman Abad Pertengahan.
Jaman Abad Pertengahan, berkembang selama kurang lebih
sepuluh abad (abad V sampai abad XV), dapat dibagi dalam dua masa, yang
diantaranya ditandai dengan terjadinya perinstiwa penting yaitu perang salib[26],
yaitu :
a.
Jaman Abad pertengahan sebelum
perang Salib, abad V sampai abad XII
Pada jaman ini ajaran tentang negara sangat teokratis.
Segala sesuatunya dianggap semata-mata kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak
berkembang pandangan yang bersifat kritis terhadap peristiwa yang terjadi di
dunia, semuanya ditujukan untuk membela kepentingan agama dan gereja.
b.
Jaman Abad pertengan sesudah
perang Salib, abad XII sampai abad XV.
Pada masa sesudah perang salib ajaran tentang negara dan
hukum dipengaruhi oleh ajaran sarjana Yunani Kuno, karena ketika terjadi perang penganut agama
kristen banyak yang lari ke Timur
Tengah, setelah perang salib usai mereka kembali ke negaranya dengan membawa
pengaruh Yunani kuno[27].
Tokoh yang terkenal pada masa abad Pertengahan antara
lain Augustinus, Thomas Aquinas dan
Marsilius.
Augustinus (354-430) berpendapat, negara sifatnya
hanyalah sebagai alat gereja untuk membasmi musuh gereja. Negara mempunyai
kedudukan/kekuasaan lebih rendah dan di bawah gereja. Dalam bukunya De
Civitate Dei, Augustinus mengurai-kan adanya dua macam negara, yaitu :
- Civitas Dei (negara Tuhan), merupakan negara yang dicita-citakan Agama,
- Civitas Terrena (diaboli/negara iblis/negara duniawi).
Civitas dei merupakan negara terbaik,
akan tetapi tak pernah terwujud. Semangat civitas dei dimiliki oleh
sebagian orang dan mereka selalu berusaha untuk mencapainya. Civitas dei
hanya dapat dicapai dengan perantaraan gereja sebagai wakil negara tuhan di
dunia. Orang di luar gereja dapat mengupayakannya dengan cara menaati perintah
tuhan[28].
Soehino memandang bahwa Augustinus menyamakan pengertian negara dengan
pengertian masyarakat, gereja dianggap
bayangan civitas dei di dunia, dan kekuasaan raja diperoleh dari pemberian
gereja[29].
John Salisbury (pertengahan abad XII/ +1150)
mengemukakan pendapat yang bertentangan dari ajaran Augustinus, bahwa negara
semestinya menciptakan perdamaian untuk kepentingan gereja, sekaligus menjamin
keselamatan dan ketentraman kehidupan masyarakat. Menurutnya jika tiap orang
bekerja untuk kepentingannya, maka kepentingan masyarakat akan terpelihara
dengan baik[30],
dalam pengertian dengan tetap menjaga masing-masing tidak mencampuri urusan
orang lain. Negara dan gereja tidak saling berebut kekuasaan.
Thomas Aquinas, (1225-1274) berpendapat bahwa organisasi
negara dan organisasi gereja mempunyai kedudukan yang sama, tetapi tugasnya
berbeda. Negara dipimpin raja bertugas dalam lapangan duniawi sedangkan tugas
gereja yang dipimpin paus dalam lapangan kerokhanian, keagamaan. Gereja
merupakan wakil kerajaan Tuhan di dunia, oleh karena itu maka hukum duniawi
didukung dan dilindungi gereja. Sesuai kodratnya, kekuasaan duniawi/raja
seharusnya tunduk kepada kekuasaan gereja demi tujuan manusia mencapai
kemuliaan abadi[31].
Pendapat ini berbeda dari Augustinus yang memisahkan sama sekali negara dengan
gereja. Menurut Aquinas negara dan gereja mempunyai kerjasama yang erat. Negara
didukung dan dilindungi oleh gereja untuk mencapai tujuannya.
Marsilius dari Padua (1270-1340) penganut aliran
filsafat nominalist, pendapatnya sangat dipengaruhi ajaran Aristoteles.
Menurutnya negara adalah suatu badan atau organisme yang mempunyai dasar-dasar
hidup dan tujuan tertinggi yaitu menyelenggarakan dan mempertahankan perdamaian[32].
Menurut Soehino dalam ajaran Marsilius nampak peranan orang atau individu dalam
pembentukan negara atau masyarakat. Terbentuknya negara bukan semata kehendak
Tuhan, tetapi terjadi karena perjanjian orang-orang yang hidup bersama untuk
menyelenggarakan perdamaian[33].
Dalam perjanjian tersebut ditunjuk seseorang untuk bertugas memelihara
perdamaian. Perjanjian tersebut untuk membentuk negara sekaligus untuk menundukkan
diri (factum subjectiones). Terdapat dua macam penundukan diri (factum
subjectiones), yaitu :
- bersifat terbatas pada apa yang
dikehendaki oleh rakyat. Kekuasaan raja hanya menyelenggarakan kekuasaan
rakyat, eksekutif saja. Peraturan
ditentukan oleh rakyat. Penyerahan kekuasaan demikian disebut concessio[34]
- bersifat mutlak, dalam arti rakyat
tunduk kepada raja yang mereka pilih,
penguasa juga berwenang menjalankan kekuasaan eksekutif sekaligus
membuat peraturan (legislatif). Penyerahan kekuasaan demikian disebut
translatio[35].
Jaman Renaissance menandai berakhirnya abad pertengahan,
dimulai sekitar pertengahan abad pertengahan bagian kedua sampai akhir
abad XVI. Menurut Soehino, ajaran tentang negara dan hukum masa ini dipengaruhi
oleh:
- berkembangnya kembali kebudayaan
Yunani kuno yang disebabkan oleh pengaruh terjadinya perang salib. Sesudah
perang salib, ajaran Aristoteles, khususnya tentang ratio manusia,
mengubah pandangan bahwa yang menentukan segalanya adalah pemimpin negara
atau gereja, karena mereka adalah wakil Tuhan sehingga manusia tidak boleh
berpikir sendiri untuk menentukan hidupnya. Karena terlalu `mengidolakan`
budaya Yunani, dalam hal ini pengakuan terhadap rationalitas manusia,
masyarakat menjadi mengesampingkan nilai agama, terjadi demoralisasi dan
berkembang individualisme[36].
- sistem feodalisme yang berakar
pada kebudayaan Jerman menimbulkan kekacauan dan perpecahan daerah.
Tokoh-tokoh yang terkenal pada Jaman ini antara lain :Niccolo
Machiavelli, Thomas Morus, kaum monarkomaken.
Menurut Machiavelli negara ada untuk kepentingan negara
itu sendiri, yang mengejar tujuan dan kepentingannya dengan cara yang
dianggapnya paling tepat, meski dengan cara yang sangat licik. Kepentingan
negara menjadi ukuran tertinggi bagi pelaksanaan pemerintahan dan segala
perbuatan manusia[37].
Thomas Morus (1478 –1535), sastrawan, penulis Utopia.
Bukunya terdiri dari dua bagian. Bagian pertama memberikan gambaran tentang
keadaan yang menjadi acuan baginya menyusun bagian kedua, yang di dalamnya
digambarkan negara model yang dimimpikan oleh Thomas Morus. Bukunya merupakan
kritik terhadap keadaan pemerintahan dan kenegaraan Inggris pada waktu itu
Kaum monarkomaken
terdiri dari beberapa ahli yang anti atau menentang raja, dalam arti
anti terhadap akibat kekuasaan raja yang bersifat absolut. Mereka antara lain
Luther, Melanchthon, Zwingli dan Chalvin, yang pada prinsipnya tidak setuju
pada susunan organisasi gereja yang ada pada saat itu[38]
2.3 Unsur Negara
Konvensi Montevideo, tahun 1933, menentukan
komponen yang harus ada agar kelompok masyarakat dapat disebut sebagai negara,
yaitu :
a.
penduduk tetap,
b.
wilayah tertentu,
c.
pemerintah (yang sudah biasa
diakui oleh penduduk), dan
d.
kemampuan untuk melakukan
hubungan dengan negara-negara lain. Berkait dengan pengakuan dari masyarakat
internasional, syarat keempat merupakan syarat yang amat penting.[39]
2.4 Bentuk Negara dan Teori
tentang Bentuk Negara
Bentuk-bentuk negara yang dikenal dalam ketatanegaraan adalah[40]
:
a.
negara kesatuan/unitaris
Negara unitaris/kesatuan adalah negara yang bersusunan
tunggal, negara yang hanya terdiri satu negara saja. Tidak ada negara dalam
negara. Negara kesatuan adalah bentuk negara yang tunggal dan mandiri, terdiri
dari satu negara, satu pemerintahan, satu kepala negara, dlembaga legislative
untuk seluruh kawasan negara.
Terdapat dua model negara kesatuan, yaitu:
-
negara kesatuan dengan system
sentralisasi
negara tidak mengadakan pembagian daerah; disebut juga
negara kesatuan yang terdekonsentrasi. Segala sesuatu dalam negara langsung
diurus dan diatur oleh pemerintah pusat, termasuk yang berkait dengan
pemerintahan dan kekuasaan di daerah.
-
negara kesatuan dengan system
desentralisasi
negara mengadakan pembagian daerah pada setiap
organisasi kenegaraan yang berdiri sendiri dan memiliki pemerintahan sendiri,
namun wewenang tertinggi tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Pemerintahan di
daerah diberi wewenang untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonom).
b.
negara serikat/federasi
negara federasi/serikat merupakan gabungan dari beberapa
negara, yang tiap negara merupakan bagian dari negara serikat tersebut.
Negara-negara bagian berdiri sendiri, dengan alat perlengkapan, kepala negara
dan pemerintahan sendiri, lembaga legislative dan yudisiil sendiri. Negara
bagian, semula merupakan negara yang merdeka dan berdaulat, kemudian bergabung,
dengan melepaskan sebagian kekuasaan dan kewenangannya secara berangsur dan
limitative kepada negara serikat (delegated powers). Kekuasaan yang diserahkan
kepada negara serikat lazimnya adalah kekuasaan yang berkait dengan hubungan
luar negeri, keuangan, dan pertahanan keamanan. Tetapi apabila secara spesifik
dapat ditentukan oleh negara serikat, sepanjang negara berdaulat bersedia dan
negara serikat menerima, kekuasaan yang diserahkan atau tidak dapat disepakati
antara negara bagian dan negara serikatnya. Kekuasaan yang dilimpahkan kepada
pemerintah federal, umumnya mencakup lima hal[41],
yaitu:
-
hal yang menyangkut kedudukan
Negara sebagai subyek hukum internasional; misal mengenai masalah kewilayahan,
kewarganegaraan, migrasi, hubungan dan pertukaran perwakilan dengan Negara
lain,
-
hal yang berkait dengan
keselamatan Negara, seperti pertahanan keamanan, masalah perang dan damai;
-
masalah konstitusi dan organisasi
pemerintahan federasi, asas-asas pokok hukum, serta organisasi peradilan,
apabila dipandang perlu oleh pemerintah pusat;
-
masalah mata uang dan keuangan
untuk pembiayaan pemerintahan federasi, termasuk pajak, bea cukai, monopoli
Negara, dsb;
-
hal yang berkait dengan
kepentingan bersama antar Negara bagian, seperti pos dan telekomunikasi,
statistic, industri, perdagangan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan,
dsb.
c.
negara dominion
adalah Negara yang sebelumnya merupakan jajahan inggris
yang kemudian merdeka dan berdaulat, tetapi tetap mengakui Raja Inggris sebagai
rajanya, sekaligus sebagai lambang dari persatuan dan kesatuannya. Negara
dominion tergabung dalam ikatan The
British Commonwealth of Nation atau
Negara-negara Persemakmuran.
d.
negara protektorat
adalah Negara yang berada di bawah perlindungan Negara
lain. Lazimnya, persoalan luar negeri dan pertahanan keamanan Negara
protektorat dilaksanakan dengan persetujuan bersama diserahkan kepada Negara
yang memberikan perlindungan (suzeren). Negara protektorat bukan merupakan
subyek hukum internasional.
Terdapat dua macam Negara protektorat, yaitu protektorat
colonial dan protektorat internasional. Protektorat colonial, apabila terhadap
urusan pertahanan keamanan, hubungan luar negeri serta sebagian besar urusan
dalam negeri yang penting berada pada Negara pelindungnya, sedangkan
protektorat internasional apabila Negara protektorat dapat bertindak dan
menjadi subyek hukum internasional, seperti Negara Timor Leste.
e.
negara uni
apabila ada dua Negara atau lebih yang masing-masing
merdeka mempunyai satu kepala Negara yang sama. Negara uni bukan merupakan
bentuk suatu Negara, tetapi gabungan Negara-negara atau badan kerja sama antar
Negara, yang dibentuk untuk menciptakan persatuan di antara dea Negara atau
lebih, missal Uni Eropa. Negara Uni dibedakan dalam dua jenis, yaitu Uni
Riil/Nyata dan Uni Personal/Pribadi.
2.5 Tujuan dan Fungsi Negara
Tujuan yang akan dicapai oleh negara dideskripsikan
secara berbeda oleh para ahli sejak masa Yunani. Socrates (meninggal 399 SM)
tidak dengan eksplisit menyebut tujuan negara tetapi mendeskripsikan tugas
negara yaitu menciptakan hukum yang dilakukan oleh para pemimpin/penguasa yang
dipilih oleh rakyat[42].
Plato (429-347 SM)[43],
murid Socrates, melahirkan ajaran alam cita (ideeenleer)[44],
berpendapat tujuan negara adalah untuk mengetahui/mencapai/ mengenal idea yang
sesungguhnya. Idea yang sesungguhnya hanya dapat dicapai dan diketahui oleh
para ahli filsafat saja. Oleh karena itu pemimpin negara atau pemerintahan
sebaiknya dipegang oleh ahli filsafat saja[45]
Menurut Aristoteles (384-322 SM), penggagas
collectivisme, universalisme, negara sebagai persekutuan mempunyai tujuan
tertentu berupa mencapai kebaikan tertinggi, berupa kehidupan warga negara yang
baik dan bahagia[46].
Manusia sebagai individu yang tidak mempunyai dasar hidup sendiri dan tidak
dapat terlepas dari kesatuannya (negara) merupakan dasar hidup organisme
(negara). Negara mempunyai kedudukan yang utama menguasai seluruh aspek
kehidupan dengan kekuasaan yang absolut. Nasib warganegara tergantung nasib
negaranya[47].
Epicurus (342-271), menyaksikan kejayaan Imperium Roma
dan meninggal-nya Alexander yang Agung yang kemudian diikuti perpecahan negara
Yunani[48].
Epicurus penggagas individualisme, berpendapat bahwa individu sebagai anggota
masyarakat merupakan elemen terpenting negara. Negara ada untuk memenuhi
kepentingan individu[49].
Tujuan negara adalah menyelenggarakan ketertiban dan keamanan, menyelenggarakan
kepentingan perseorangan yang merupakan kekenakan pribadi yang tidak berisifat
materialistis tetapi bersifat kejiwaan atau kerokhanian[50]
Untuk itu orang harus menundukkan diri kepada pemerintah yang bagaimanapun
bentuk dan sifatnya[51].
Pada masa abad pertengahan, berrkembang faham teokrasi.
Menurut Johan Salisbury, negara seharusnya menciptakan perdamaian untuk
kepentingan gereja (sebagaimana ajaran Augustinus) sekaligus menjamin
keselamatan dan ketentraman kehidupan masyarakat. Ajaran ini menghapuskan teori
dua pedang dan ajaran matahari-bulan yang membedakan secara tajam kekuasaan
gereja dengan kekuasaan negara[52].
Menurut Thomas Aquinas tujuan negara identik dengan
tujuan manusia. Tujuan manusia adalah kemuliaan abadi, kemuliaan sesudah mati
yang dapat dicapai dengan tuntunan gereja. Negara bertugas memberi kesempatan
untuk terlaksananya tuntutan gereja dengan cara menjamin keamanan dan
perdamaian agar tiap orang dapat menjalankan tugasnya. Gereja merupakan
persekutuan hidup yang meliputi segalanya, wakil kerajaan Tuhan di dunia. Hukum
keduniawian didukung dan dilindungi gereja, secara kodrati kekuasaan duniawi
seharusnya tunduk pada kekuasaan rohani demi tujuan manusia[53].
Abad Pertengahan berlalu, memasuki jaman Renaissance
(Abad XV) pandangan tentang negara dan hukum dipengaruhi oleh banyak paham.
Menurut Machiavelli mengalami masa dan Perancis tujuan negara adalah
mengusahakan terselenggaranya ketertiban, keamanan dan ketentraman. Hal ini
hanya dapat dicapai oleh pemerintah seorang raja yang mempunyai kekuasaan
absolut. Untuk itu ia harus berusaha menghimpun kekuasaan pada tangan raja.
Tujuan negara merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu
kemakmuran bersama (rakyat Itali). Tujuan negara semata-mata kekuasaan[54].
Jean Bodin sependapat dengan Machiavelli bahwa tujuan
negara adalah kekua-saan. Raja mempunyai kekuasaan absolut. Bodin tidak berani
menyingkirkan pengaruh hukum Tuhan dan Hukum Alam seluruhnya dari sistemnya
yang sangat positif.
[6] Periksa, Soehino, loc.cit., h.23
[7] Periksa Moh. Kusnardi dan Bintaan R.Saragih, ibid. hal. 48.
[8] Ibid, hal 49.
[9] Periksa Soehino, loc.cit., 70-73
[10] 0p. cit., 98
[11] Ibid., 106
[12] Ibid., 118
[13] Periksa Ramdlon Naning, Gatra Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta,
1983, h. 1-2.
[14] Soehino, op. cit., h. 146
[15] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta,
1982, h. 40-41
[16] Ibid., h. 38
[17] Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, 2001, h. 20-24
[18]Periksa Plato dalam Soehino, op. Cit., h. 17
[19] Periksa Aristoteles dalam Ibid., h.25.
[20] Periksa Epicurus dalam Ibid., h.31
[21] Periksa Zeno dalam Ibid, h.32
[22] Ibid., h.33
[23] Ibid., h.33-37.
[24] Ibid., 38-41
[25]Periksa Seneca dalam Ibid., h. 42-43.
[26] Periksa, Ibid., h.49.
[27] Ibid., h.50.
[28] Ibid., h 52
[29] Ibid. h. 53
[30] Ibid., h. 55
[31] Ibid., h.59
[32] Ibid., h. 64.
[33] Bandingkan : Menurut Agustinus Tuhan merupakan pokok pangkal segala
sesuatu, termasuk negara; Thomas Aquinas, masih mengacu kapa kehendak Tuhan,
tetapi terdapat juga faktor manusia; menurut Epicurus negara merupakan hasil
perbuatan manusia, diciptakan untuk menyelenggarakan kepentingannya.
[34] Ibid., h. 65.
[35] Ibid.
[36] Ibid., 69
[37] Ibid., h.72
[38] Ibid., h. 81.
[39] Periksa, Starke, terj. oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Pengantar
Hukum Internasional, Jilid 1, Edisi ke 10, Sinar Grafika, Jakarta, cet. I,
1992, h.
[42] Soehino, op.cit., h
[43] Ibid., h.15
[44] Ibid., h.16
[45] Ibid., h.17
[46] Ibid., h.24-25
[47] Ibid., h.27
[48] Ibid., h.29
[49] Ibid., h.30
[50] Ibid., h.31
[51] Ibid.
[52] Ibid.,h. 55.
[53] Ibid., h.58-59
[54] Ibid., h.71-72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar