Senin, 04 Oktober 2010

Bab I : Pendahuluan

1.1. Pengertian/Definisi dan Peristilahan
Pengertian/Definisi
Menurut Starke HI dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati dan karenanya benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu dengan yang lain. Hukum internasional juga meliputi:
a. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu.
b. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan badan non negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.
Dari paparan tersebut yang dimaksud hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan prinsip yang mengatur perilaku hubungan antara negara, organisasi internasional, badan-badan non negara serta individu-individu dalam pergaulan internasional.
Mochtar Kusumaatmadja berpendapat, bahwa Hukum Internasional mencakup dua bidang yaitu Hukum Perdata Internasional dan Hukum Internasional Publik (1990:1). Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara. Dengan perkataan lain hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan.
Hukum Internasional Publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.
Persamaan antara Hukum Perdata Internasional dengan Hukum Internasional Publik adalah keduanya mengatur hubungan/persoalan yang melintasi batas negara (internasional). Perbedaanya terletak pada sifat hukum atau persoalan yang diaturnya. Subyek (pelaku) dalam hubungan internasional adalah orang yang dapat bertindak sebagai pribadi, badan hukum perdata ataupun lembaga lain yang diakui sebagai subyek dalam hukum internasional. Oleh karena itu lebih mudah membedakannya berdasarkan sifat hukum daripada berdasarkan subyek/pelakunya.
Chairul Anwar berdasarkan pendapat Mochtar tersebut mengemukakan, Hukum Internasional adalah sekumpulan asas, kebiasaan, aturan yang dipatuhi sebagai kewajiban yang mengikat oleh negara-negara berdaulat dan badan-badan internasional di dalam hubungan mereka satu sama lain dalam pergaulan masyarakat bangsa-bangsa yang beradab (1989:2).
Istilah
Selain istilah Hukum Internasional untuk Pengertian tersebut diatas dipergunakan pula istilah istilah sebagai berikut:
a. hukum bangsa-bangsa (law of nation/droit de gens)
b. hukum antar bangsa,
c. hukum antar negara,
d. transnational law, meliputi hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa yang melewati batas negara,
e. particular international law, yang menunjuk kepada perjanjian antar negara yang hanya mengikat beberapa negara saja,
f. general international law, yang menunjuk kepada traktat-traktat yang mengikat sebagian besar negara,
g. public international law, yang memberi tekanan perbedaan antara hukum internasional publik dengan hukum perdata internasional.
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember mempergunakan isitlah Hukum Internasional. Istilah ini relatif lebih banyak diterima dibandingkan yang lain, menurut Mochtar lazim dipergunakan untuk setiap peristiwa yang melintasi batas wilayah negara. Yang dimaksud Hukum Internasional dalam kajian ini adalah Hukum Internasional Publik, yang mengatur hubungan antar negara, antara negara dengan subyek hukum lain yang bukan negara dan antara subyek hukum bukan negara satu sama lain.

1.2. Bentuk Perwujudan Hukum Internasional
Hukum Internasional yang akan kita pelajari dalam perwujudannya sebagai Hukum Internasional umum, Hukum Internasional regional dan Hukum Internasional khusus. Hukum Internasional Umum adalah Hukum Internasional yang berlaku untuk setiap negara dan bangsa beradab dalam melakukan hubungan yang melintasi batas negara. Hukum Internasional regional adalah apabila Hukum itu hanya berlaku pada negara-negara dalam satu wilayah tertentu. Misal Aturan Bebas Visa di antara anggota ASEAN, Mata Uang Bersama untuk MEE. Sedangkan Hukum Internasional khusus adalah Hukum Internasional yang berisi kaidah-kaidah dalam bidang tertentu yang dapat berlaku bagi semua negara/bangsa, utamanya yang menandatanganinya. Contoh: Konvensi tentang Bahan Beracun Berbahaya.

1.3. Sejarah dan Perkembangan Hukum Internasional
Hukum Internasional dalam arti luas, meliputi juga hukum bangsa-bangsa, usianya telah amat tua. Sedangkan dalam arti sempit Hukum Internasional mengatur hubungan antar negara baru berkembang sejak sekitar abad XV. Pengungkapan sejarah hukum internasional dimulai pada masa paling awal, dimana kaidah perliaku yang mengatur hubungan antar kelompok masyarakat dipandang perlu dan muncul dari adat-istiadat. Traktat-traktat, kekebalan para duta bersar dan perundang-undangan serta adat-istiadat mengenai perang ditemukan di Mesir dan India Kuno sekitar abad VI sebelum masehi.
Masa India Kuno telah terdapat kaidah dan lembaga hukum yang mengatur hubungan antara kasta, suku-suku, bangsa dan raja-raja. Menurut Penelitian Bannerjce beberapa abad sebelum Masehi telah terdapat hubungan antar raja-raja kerajaan India yang diatur dengan adat kebiasaan, yang disebut Desa Dharma. Sekitar abad IV Masehi, diketemukan buku Undang-Undang Manu. Dari penemuan-penemuan yang berkait dengan hukum yang mengatur hubungan antar raja diketahui bahwa pada jaman kuno belum ada pemisahan antara agama dan soal kemasyarakatan dengan persoalan negara. Dalam masyarakat India Kuno telah ada semacam hukum yang dapat dinamakan hukum bangsa-bangsa. Berdasarkan penemuan para ahli pada masa itu telah dikenal ketentuan yang mengatur kedudukan dan hak istimewa diplomat atau utusan raja yang disebut duta, terdapat ketentuan yang mengatur perjanjian (treaties), hak dan kewajiban raja, ketentuan yang agak jelas dalam hal yang berkait dengan hukum yang mengatur perang, missal ada pembedaan antara combatant dan non-combatant, ketentuan tentang perlakuan tawanan perang, ketentuan tentang cara melakukan perang.
Dalam kebudayaan masyarakat Yahudi telah dikenal semacam hukum bangsa-bangsa. Bukti untuk hal tersebut adalah adanya kitab perjanjian lama yang di dalamnya terdapat ketentuan mengenai perjanjian, perlakuan terhadap orang asing dan cara melakukan perang.
Sistem hukum Internasional modern berkembang dari adat-istiadat dan praktek negara Eropa modern dalam hubungan-hubungan dan komunikasi-komunikasi mereka. Gambaran pertumbuhan Hukum Internasional diawali dengan periode negara-negara kota Yunani yang merupakan embrio Hukum Internasional. Meski kecil mereka merdeka satu sama lain. Oleh Vidogradoff negara-negara kota tersebut disebut “intermunicipal”. Hukum Intermunicipal terdiri dari kaidah-kaidah kebiasaan yang dikristalisasikan ke dalam hukum yang berasal dari adat istiadat. Kaidah yang berlaku berdasarkan pengaruh agama yang mendalam. Tidak ada batas tegas antara hukum, moral, keadilan dan agama.
Pada masa kekuasaan Romawi terhadap dunia muncul kaidah yang mengatur hubungan Romawi dan bangsa-bangsa lain dengan siapa bangsa Romawi menjalin hubungan. Muncul aspek hukum dalam hubungan-hubungan tersebut, yang prinsip-prinsipnya masih relevan untuk diterapkan dalam era internasional modern.
Abad pertengahan merupakan periode akhir sejarah Romawi yang dengan wibawa Kekaisaran Romawi, Imperium Roma mencakup seluruh dunia beradab sehingga tidak satupun negara merdeka. Meski Hukum Romawi telah tinggi tingkat perkembangannya, akan tetapi karena antara negara-negara dipersatukan oleh satu Imperium Roma maka Hukum Internasional kurang berkembang pada masa ini. Meski demikian Hukum Romawi sangat penting bagi perkembangan Hukum Internasional selanjutnya.
Tahap pertama pertumbuhan masyarakat Internasional : masa memperjuangkan hak hidup negara kebangsaan (dimulai sejak perjanjian Westphalia)
Pada abad XV dan XVI terjadi perubahan besar di Eropa dengan lahirnya negara-negara beradab yang merdeka, masa pencerahan (renaissance) ilmu dan reformasi merupakan revolusi keagamaan yang memorakporandakan budaya politik dan sendi-sendi keagamaan umat Kristen. Berkembang konsep-konsep dan teori-teori sekuler mengenai negara modern dalam karya-karya Bodin (1530-1590/Perancis), Machiaveli (1469-1527/Italia) Hobbes (1588-1679/Inggris). Gerakan sekularisasi dan reformasi menurut Mochtar berpuncak pada Perjanjian Perdamaian Westphalia tahun 1647. Perjanjian ini dipandang sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum internasional modern, karena dengan Perdamaian Westphalia dicapai hal berikut:
1) Mengakhiri Perang Tigapuluh Tahun sekaligus meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa,
2) Mengakhiri untuk selamanya usaha Kaisar Romawi yang suci (The Holy Roman Emperor) untuk menegakkan Imperium Roma yang suci,
3) Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing, dan
4) Kemerdekaan Negeri Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia.
Selanjutnya menurut Mochtar perjanjian tersebut telah meletakkan dasar bagi susunan masyarakat internasional yang baru baik mengenai bentuknya yang didasarkan atas negara-negara nasional (bukan lagi kerajaan), maupun mengenai hakekat negara dan pemerintahannya dimana terdapat pemisahan kekuasaan negara dan pemerintah dari pengaruh gereja.
Masyarakat Kristen Eropa yang terbentuk sebelum perjanjian perdamaian didasarkan pada system feodalisme. Ciri pokok negara Eropa Barat yang dasarnya diletakkan oleh Perjanjian Westphalia adalah :
1) negara merupakan satuan territorial yang berdaulat. Setiap negara dalam batas wilayahnya mempunyai kekuasaan tertinggi yang eksklusif.
2) Hubungan nasional satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan derajat.
3) Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai kepala gereja.
4) Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil oper Pengertian lembaga hukum perdata hukum Romawi,
5) Negara mengakui adanya hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara negara-egara tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan degara dalam kepatuhan terhadap hukum.
6) Tidak adanya mahkamah (internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum internasional.
7) Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih dari anggapan mengenai doktrin bellum justum sebagai ajaran perang suci ke arah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan (di samping represaille) dalam penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan kepentingan nasional (perang yang benar).
Kemudian lahir Perjanjian Utrecht yang memperkuat dasar-dasar yang dibangun dalam perjanjian Westphalia. Menurut Mochtar dari sudut politik internasional Perjanjian Utrecht penting artinya karena menerima keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internasional.
Munculnya negara-negara baru mendukung pertumbuhan hukum bangsa-bangsa yang baru. Di antara negara-negara kecil di Italia saling mengadakan hubungan. Dimulailah pembentukan kaidah-kaidah kebiasaan Hukum Internasional dari adat-istiadat dan praktek-praktek yang ditaati oleh negara yang bersangkutan.
Pada abad XV dan XVI para ahli memperhitungkan evolusi masyarakat negara merdeka berdaulat, memikirkan dan memandang perlu serangkaian kaidah untuk mengatur bermacam persoalan hukum yang muncul dalam hubungan antar bangsa. Untuk ini mereka mengambil prinsip-prinsip hukum Romawi, prseden-preseden sejarah kuno, hukum kanonik dan konsep semi teologis serta hukum alam. Penulis-penulis penting masa ini adalah:
- Vittoria (1480-1546) seorang Profesor Teologi Universita Salamanca,
- Belli (Italia/1502-1575),
- Brunus (Jerman/1491-1563),
- Fernando Vesques de Manchaca (Spanyol/1512-1569),
- Ayala (1548-1584) ahli hukum keturunan Spanyol,
- Suarez (1548-1617) Jesuit Spanyol,
- Gentilis (1552-1608) seorang Italia yang menjadi Profesor hukum di Oxford.
Tulisan para ahli tersebut yang terpenting adalah mengungkapkan bahwa pusat perhatian hukum internasional pada abad XVI adalah hukum perang antar negara. Ini merupakan akibat dipergunakannya tentara tetap oleh negara-negara di Eropa sejak abad XV.
Di samping masyarakat Eropa Barat terdapat kebudayaan lain yang berbeda, yaitu Kekaisaran Byzantium dan dunia Islam. Kekaisaran Byzantium pada saat sedang menurun, mempraktekkan diplomasi untuk mempertahankan supremasinya. Praktek diplomasi ini merupakan sumbangan terpentingnya kepada perkembangan hukum internasional. Sedangkan sumbangan masyarakat Islam kepada hukum Internasional adalah di bidang hukum perang.
Pada Abad XIV Fransisco Vittoria, biarawan Dominikan berkebangsaan Spanyol, menulis Reflectio de Indis. Ini merupakan karya yang menggambarkan hubungan antara Spanyol dan Portugis dengan orang Indian di Amerika, yang pertama kali mengemukakan bahwa negara dalam bertingkah laku tidak dapat bertindak bebas.
Berkait dengan sekularisasi dan reformasi dalam kekuasaan negara dan pemerintahan, kemudian dirasakan perlunya norma baru yang mengatasi kekuasaan negara. Hugo Grotius mengajarkan adanya ajaran hukum alam dalam ajaran hukum internasional yang dipandang dapat memenuhi kebutuhan tersebut melalui bukunya De Jure Belli ac Pacis yang terbit pada waktu terjadi Perang Tiga Puluh Tahun yang kemudian melahirkan Perjanjian Westphalia. Pokok pikiran ajaran Grotius antara lain adalah mendasarkan system hukum internasionalnya atas berlakunya hukum alam, yang telah dilepaskan dari pengaruh keagamaan dan kegerejaan. Menurutnya sumber hukum internasional terdiri praktek negara dan perjanjian antar negara dan hukum alam. Tulisannya berdasarkan pada praktek negara dan perjanjian antar negara.
Jesuit Spanyol bernama Fransisco Suarez menulis De Legibus ae Deo legislatore (on Laws and God as Legislator). Ia mengemukakan bahwa terdapat hukum atau kaidah obyektif yang harus ditaati oleh negara-negara dalam hubungan antara mereka. Ajarannya berbeda dari ajaran Gentilis yang memisahkan antara etika, agama dan hukum. Umumnya para ahli era abad XVI (1500-an) dalam menulis karyanya masih mendasarkan ajarannya berdasarkan falsafah keagamaan.
Penulis terkemuka abad XVII dan XVIII yang terkenal dan besar pengaruhnya bagi perkembangan Hukum Internasional adalah:
- Zouche (1590-1660), seorang gurubesar hukum Perdata di Oxford,
- Pufendorf (1632-1694) guru besar di Universitas Heidelberg,
- Bynkershoek (1673-1743) ahli hukum Belanda,
- Christian Wolf (1609-1764), ahli hukum dan ahli filsafat Jerman,
- Von Martens (1756-1821), guru besar hukum berbangsa Jerman,
- Emmerich Vattel (1714-1767) ahli hukum dan diplomat berkebangsaan Swiss.
Para ahli hukum (sesudah Grotius) ini digolongkan dalam pemuka aliran hukum alam dan aliran positivist.
Pufendorf berpendapat bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum alam. Hukum alam menurutnya adalah hukum yang berpangkal pada akal manusia yang mengatur kehidupan manusia kapan dan dimana saja.
Wolf mengemukakan teori Civitas Maxima yang adanya negara dunia yang meliputi negara-negara di dunia.
Zouche, Bynkershoek dan von Martens adalah positivist yang mementingkan praktek negara yang terjelma dalam adat istiadat dan perjanjian sebagai sumber hukum, meski tidak secara mutlak menolak hukum alam.
Emmerich Vattel dipandang sebagai seorang eclectic, karena ia mengambil segi-segi baik dari kedua aliran, hukum alam maupun positivist. Tukisannya mengandung banyak adat kebiasaan dan perjanjian antar negara yang berharga sebagai sumber atau bukti (evidence) hukum, menjelaskan Pengertian, mengembangkan konsep dan pembahasan hukum internasional secara sistematis.
Berkat karya para sarjana hukum terkemuka, hukum internasional bukan hanya sekedar cabang ilmu hukum, tetapi juga satu system hukum positif dan mendapatkan bentuk yang semakin jelas.
Abad XIX Hukum Internasional berkembang lebih jauh. Menurut Starke, hal ini disebabkan antara lain oleh,
1. Timbulnya kebutuhan yang mendesak pada masyarakat internasional (negara-negara) untuk memiliki system kaidah hukum yang mengatur tindakan dan hubungan pada antar negara, yang disebabkan oleh faktor berikut:
a. kebangkitan negara-negara baru di dalam dan di luar Eropa,
b. ekspansi peradaban Eropa ke luar wilayah benua,
c. modernisasi sarana angkutan dunia,
d. penghancuran akibat peperangan modern,
e. pengaruh penemuan-penemuan baru.
2. Perkembangan hukum perang dan netralitas
3. Peningkatan penyelesaian perkara oleh Pengadilan Internasional,
4. Negara-negara mulai terbiasa melakukan perundingan mengenai traktat-traktat umum untuk mengatur hubungan timbal balik antar mereka,
5. Banyak penulis dalam bidang Hukum Internasional yang memberi sumbangan besar terhadap pembahasan ilmu pengetahuan di bidang hukum internasional. Pada masa ini para penulis cenderung memusatkan perhatian pada praktek yang berlaku. Tanpa melepaskan pedoman pada nalar dan keadilan mereka cenderung mengenyampingkan konsep “hukum alam”. Apabila tidak ada kaidah hukum kebiasaan atau traktat, mereka memikirkan yang seharusnya menjadi hukum.
Abad XX, perkembangan penting Hukum Internasional diawali dengan Konperensi Perdamaian 1856 dan konperensi Jenewa 1864. Dipelopori oleh kedua konperensi tersebut terselenggara Konperensi Den Haag 1899 dan 1907 yang kemudian berhasil membentuk Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration).
Menurut Mochtar Konperensi Den Haag merupakan tahap kedua perkembangan masyarakat internasional, dengan ciri konsolidasi masyarakat internasional berdasarkan atas negara-negara kebangsaan adalah sebagai berikut:
1) Negara sebagai kesatuan politik territorial terutama didasarkan atas kebangsaan (territorial state) menjadi kenyataan. (Tahap awal pertumbuhan pertumbuhan masyarakat internasional (pasca perjanjian Westphalia) kekuasaan riil dalam negara berada di tangan raja. Tahap berikutnya, (pasca revolusi Perancis), terjadi perrpindahan kekuasaan; negara kebangsaan benar-benar menjadi negara nasional dalam arti sesungguhnya.
2) Diadakan berbagai konperensi internasional yang bertujuan mengadakan perjanjian internasional yang bersifat umum dan menetapkan kaidah hukum yang berlaku universil. Konferensi ini memenuhi fungsi legislativ masyarakat internasional.
3) Dibentuknya Mahkamah Internasional Arbitrase Permanen yang merupakan peristiwa penting dalam mewujudkan masyarakat (hukum) internasional.
Peristiwa penting dalam tahap kedua ini adalah:
1) Diadakannya Perjanjian Melarang Perang sebagai suatu cara mencapai tujuan nasional, yakni Briand-Kellog Pact yang diadakan di Paris 1928,
2) Didirikannya Liga Bangsa-Bangsa dengan Perjanjian Versailles setelah PD I.
3) Didirikannya Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia II.
Ketiganya ini bertujuan untuk memperkuat masyarakat internasional dan memajukan kesejahteraan umat manusia yang terdiri dari berbagai bangsa dengan meniadakan perang sebagai sumber masalah.
Lembaga Bangsa-Bangsa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menambah dimensi baru masyarakat internasional modern yaitu berupa fenomena organisasi internasional yang melintasi batas negara dan mempunyai wewenang yang kadang di atas kekuasaan negara “nasional” kelembagaan internasional ini bergerak baik di bidang politik maupun bidang kehidupan lain yang masing-masing diatur badan khusus PBB maupun lembaga internasional lain, seperti IMF.

1.4. Hakekat dan Dasar Berlakunya Hukum Internasional
Pada hakekatnya hukum internasional adalah hukum, yang mempunyai system hukum tersendiri. Ketiadaan lembaga legislative, kehakiman dan polisi sebagai ciri hukum tidak berarti bahwa tanpa lembaga tersebut tidak ada hukum
Secara empiris pada umumnya negara-negara di dunia dalam tindakan-tindakannya memperhatikan dan mempertimbangkan keberadaan hukum yang mengatur pergaulan antar bangsa/negara. Ini menunjukkan bahwa negara-negara terikat/tunduk kepada Hukum Internasional. Pertanyaannya, apa dasar mengikat hukum internasional.
Mengenai hal ini terdapat beberapa teori yang memberikan pandangan.
1) Penganut teori hukum alam berpendapat bahwa hukum internasional mengikat, karena hukum internasional tidak lain adalah hukum alam yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat bangsa-bangsa. Negara tunduk/terikat pada hukum internasional karena hukum internasional merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam.
Keberatan terhadap teori yang berdasarkan hukum alam karena yang dimaksud dengan hukum alam sangat samar dan subyektif baik mengenai keadilan, kepentingan masyarakat internasional maupun lain konsep yang serupa.
2) Teori yang bersandar kepada falsafah Hegel berpendapat bahwa hukum internasional mengikat karena ada kehendak negara untuk tunduk kepada hukum internasional. Pada prinsipnya negara merupakan sumber segala hukum, hukum internasional mengikat karena negara tersebut atas kemauannya sendiri mau tunduk kepada hukum internasional.
Kelemahan teori ini tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana hukum internasional tersebut mengikat negara.
3) Triepel berpendapat bahwa hukum internasional mengikat negara karena ada kehendak bersama, yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara untuk tunduk pada hukum internasional
Teori kehendak pada hakekatnya hendak melngembalikan kekuatan hukum internasional pada kehendak (atau persetujuan) negara untuk diikat oleh hukum internasional. Teori kehendak pada dasarnya memandang hukum internasional sebagai hukum perjanjian antara negara-negara.
Kelemahan teori ini adalah dasar pikiran bahwa kekuatan dasar mengikat hukum berdasarkan subyek hukum tidak dapat diterima. Kehendak manusia saja belum merupakan dasar kekuatan mengikat hukum.
4) Menurut Mazhab Wiena, dengan pendirinya Hans Kelsen, kekuatan mengikat suatu kaidah hukum internasional berdasarkan suatu kaidah yang lebih tinggi yang pada gilirannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi lagi seterusnya hingga pada puncak piramida kaidah hukum terdapat norma dasar (grundnorm). Mazhab Wiena yang mengembalikan segala sesuatunya kepada kaidah dasar dapat menerangkan secara logis dari mana hukum internasional memperoleh kekuatan mengikatnya, akan tetapi ajaran ini tidak dapat menerangkan mengapa kaidah dasar itu mengikat.

1.5. Masyarakat Internasional sebagai Landasan Sosiologi hukum Internasional
Masyarakat internasional merupakan kompleks kehidupan bersama yang terdiri dari aneka ragam masyarakat yang jalin menjalin dengan erat. Termasuk masyarakat internasional adalah individu-individu, kelompok manusia dan lembaga, khususnya, yang mengadakan hubungan internasional. Dari sekian banyak kelompok manusia atau lembaga hubungan internasional yang paling menonjol adalah hubungan antar negara. Menurut Mochtar hal ini disebabkan secara politis-yuridis negara dengan kekuasaan teritorialnya yang mutlak dan monopoli dalam penggunaan kekuasaan merupakan pelaku utama dalam masyarakat internasional. Hubungan oleh individu atau kelompok masyarakat hanya mungkin sepanjang diperkenankan oleh negara. Hubungan antar negara merupakan fakta empiris yang menimbulkan masyarakat bangsa-bangsa. Kehidupan bersama bangsa-bangsa memang keharusan.

1.6. Kesatuan Asas Hukum sebagai Landasan Material bagi Hukum Internasional
Disamping karena keharusan dan kebutuhan interaksi antar bangsa sehingga antar masyarakat internasional saling berhubungan factor pengikat lain dari masyarakat internasional adalah adanya kesatuan asas hukum, betapapun berbeda hukum positip dalam tiap-tiap negara. Perbedaan hukum positip pada berbagai bangsa bukan merupakan persoalan asasi tetapi karena perbedaan kepentingan yang berdasarkan pandangan falsafah hidupnya yang berbeda-beda.

1.7. Hakekat dan Fungsi Kedaulatan Negara dalam Masyarakat Internasional
Kedaulatan merupakan ciri hakiki suatu negara. Menurut asal katanya, kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Menurut Mochtar negara berdaulat artinya negara tidak mengakui kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri.yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Negara mempunyai monopli kekuasaan. Suatu sifat khas organisasi masyarakat dan kenegaraan yang tidak lagi membenarkan perseorangan mengambil tindakan sendiri apabila dirugikan. Ruang lingkup berlakunya kekuasaan tertinggi dibatasi oleh batas wilayah negara, artinya negara hanya mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya. Konsekuensi paham kedaulatan dalam arti terbatas adalah kemerdekaan (independence) dan persamaan derajat (equality). Artinya negara-negara berdaulat adalah merdeka, satu dengan yang lainnya juga mempunyai derajat yang sama satu dengan yang lainnya.
Berkait dengan berlakunya hukum internasional bagi suatu negara, tunduknya suatu negara yang berdaulat kepada kebutuhan pergaulan masyarakat internasional merupakan syarat mutlak bagi terciptanya masyarakat internasional yang teratur dengan hukum internasional sebagai instrumen yang mengatur hubungan antar negara dan antar anggota masyarakat negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar