Senin, 04 Oktober 2010

Bab II : Sumber Hukum Internasional

2.1. Pengertian
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, kata sumber hukum dapat dipakai dalam beberapa arti.
1. Sumber hukum dalam arti dasar berlakunya hukum, yang mempersoalkan faktor-faktor yang menyebabkan mengikatnya hukum. Sumber hukum ini disebut juga sumber hukum materiil karena menyelidiki persoalan apa yang pada hakekatnya menjadi dasar kekuatan mengikat hukum.
2. Sumber hukum dalam arti formal, yang memberi jawaban di mana kita mendapatkan ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam suatu persoalan konkrit.
3. Sumber hukum dalam arti lain, meliputi faktor-faktor/kekuatan yang membantu pembentukan hukum sebagai suatu bentuk perwujudan/gejala social dalam kehidupan manusia. Sumber hukum dalam arti ini meneliti faktor kausal yang merupakan penyebab yang turut membantu dalam pembentukan suatu kaidah. Faktor tersebut bersifat ekstra yuridis seperti factor politis, ekonomis kemasyarakatanan, teknis dan psikologis.
Dalam kajian ini yang dimaksudkan sumber hukum adalah sumber hukum dalam arti yang formal.
2.2. Jenis-jenis Sumber Hukum Internasional
Secara formal terdapat dua ketentuan yang mencantumkan secara tertulis sumber hukum internasional, yaitu:
1. Pasal 7 Konvensi Den Haag XII tanggal 18 Oktober 1907 yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court). Mahkamah ini tidak pernah terbentuk karena tidak memperoleh ratifikasi dalam jumlah yang ditentukan. Oleh karenanya sebagai sumber hukum formal hukum internasional ketentuan tersebut dapat diabaikan.
2. Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Permanen tertanggal 16 Desember 1920 yang kini tercantum dalam pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional sebagaimana tercantum dalam piagam PBB tertanggal 26 Juni 1945. Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional menentukan bahwa dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional akan mempergunakan:
(1) perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa.
(2) Kebiasaan masyarakat internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum.
(3) Prinsip hukum umum yang diakui oleh banga-bangsa yang beradab;
(4) Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaidah hukum.
Penomoran tersebut tidak menunjukkan stratifikasi derajat “penting”. Masing-masing menjadi sumber hukum terpenting berdasarkan pendekatan yang dipergunakan. Dengan menggunakan pendekatan sejarah, kebiasaan masyarakat internasional merupakan sumber hukum terpenting, karena hukum internasional berdasarkan sejarahnya lahir dan berkembang melalui kebiasaan. Dengan menggunakan pendekatan empiris, perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang terpenting, karena kenyataan dewasa ini semakin banyak persoalan yang diatur dengan menggunakan traktat. Sedangkan berdasarkan pada fungsi hukum dalam perkembangan hukum baru, maka prinsip hukum umum merupakan sumber hukum terpenting karena memberikan kelonggaran kepada Mahkamah Internasional untuk menemukan atau membentuk kaidah hukum baru dan mengembangkan hukum internasional berdasarkan prinsip hukum umum.
a. Perjanjian Internasional
Undang-Undang nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, (UU 24/2000) pasal 1 angka 1 menentukan Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Perjanjian ini diadakan antara subyek hukum anggota masyarakat internasional dan bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum tertentu.
Istilah yang dipergunakan bagi perjanjian-perjanjian internasional adalah:
o traktat (treaty)
Istilah treaty digunakan dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986. Treaty sebagai intrumen Hukum Internasional biasanya digunakan dalam perjanjian multilateral baik terbatas maupun terbuka untuk mengatur hal-hal yang dianggap sangat penting dan diatur secara mendetail. Misal Perjanjian Roma (Treaties of Rome) tahun 1958 yang membentuk Masyarakat Ekonomi Eropa.
o pakta (pact)
Istilah ini umumnya dipergunakan dalam perjanjian yang berkaitan dengan unsure militer. Pact hampir sama dengan treaty. Perbedaanya terletak pada isinya. Pact tidak serumit dan sedetail treaty. Misalnya Briand-Kellog Pact tahun 1928 yang melarang penggunaan kekerasan sebagai jalan penyelesaian perselisihan. Pakta Warsawa, yang membentuk Warsaw Treaty Organisastion sebagai pakta pertahanan.
o konvensi (convention)
Istilah ini biasanya dipergunakan dalam perjanjian multilateral yang dianggap sangat penting. Contoh Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982.
o Charter
Istilah charter biasanya dipergunakan sebagai instrumen perjanjian yang akan membentuk dan melandasi suatu organisasi internasional. Misal Chrter of The United Nation, Charter of The Orgaisation of American States.
o piagam (statute)
Dalam praktek penggunaan statute sama dengan charter, dipergunakan sebagai instrumen pembentuk dan landasan yuridis organisasi internasional. Misal Statute of The International Court of Justice. Kadang istilah statute dipergunakan dalam perjanjian dengan kapasitas seperti Treaty atau agreement.
o Deklarasi
Menurut Starke terdapat beberapa Pengertian deklarasi, yaitu:
1) sebagai treaty yang sempurna, missal the ASEAN Declaration (Bangkok Declaration) tahun 1967;
2) sebagai instrumen yang kurang formal yang berfungsi sebagai lampiran treaty atau convention yang menerangkan atau menginterpretasikan ketentuan ketentuan treaty atau convention. Deklarasi demikian dapat dianggap sebagai instrumen perjanjian internasional tertulis.
3) Sebagai persetujuan yang tidak formal, karena menyangkut hal-hal yang kecil arti pentingnya. Deklarasi ini juga merupakan instrumen perjanjian internasional tertulis.
4) Sebagai suatu resolusi suatu konperensi diplomatic untuk menerangkan beberapa prinsip atau kebutuhan agar ditaati oleh semua negara. Misal Declaration on the Prohibition on Military, Political or Economic Coercion in the Conclusion of Treaties, yang diadopsi dari Konvensi Wina 1968-1969 tentang hukum Perjanjian.
o Arrangement
Istilah ini sering dipakai bergantian dengan istilah treaty. Dikategorikan sama dengan agreement. Sebagai perjanjian, dibanding treaty dan convention, arrangement relatif kurang penting.
o Agreement
Istilah ini sering dipakai bergantian dengan istilah treaty, terutama untuk mengatur hal yang kurang formil. Misal United States-Canada Fur sale Agreement of 1942. Agreement dipergunakan dalam perjanjian yang para pihaknya terbatas atau tertentu dan pada umumnya mengatur hal-hal teknis atau bersifat administrative. Misal ASEAN EEC Cooperation Agreement. Agreement dipergunakan pula dalam perjanjian multilateral yang terbuka dan mengatur masalah yang sangat penting. Misal General Agreement on Tariffs and Trade.
o modus vivendi
adalah satu pengaturan sementara sambil menunggu diselesaikannya suatu traktat tentang suatu hal tertentu.
o Covenant
Istilah ini dapat disamakan dengan Agreement dan convention. Dalam praktek penggunaan covenant tidak sesering penggunaan agreement dan convention, meskipun substansi yang diaturnya cukup penting, seperti Covenant on Economic, Social and Cultural Right, International Covenant on Civil and Political Right. Covenant juga dipergunakan untuk perjanjian yang membentuk dan melandasi organisasi internasional, seperti charter. Contohnya Covenant of the League of Nation.
o Constitution
Merupakan instrumen yang paling jelas kategori penggunaannya, yaitu sebagai pembentuk dan landasan organisasi internasional. Misal Constitution of World Health Organisation (WHO).
o Protocol
Istilah ini dipergunakan dalam berbagai arti di bidang diplomatic, mulai dari catatan hasil keputusan konperensi internasional, perjanjian yang tidak terlalu formil sampai penjelasan/suplemen perjanjian internasional, yaitu:
Menurut Starke Protocol dapat dibedakan dalam empat pengertian
1) sebagai instrumen pelengkap Convention, sehingga tindakan meratifikasi Convention berarti meratifikasi Protocolnya.
2) Sebagai instrumen tambahan dari suatu convention, namun bersifat independen, sehingga memerlukan ratifikasi terpisah dari conventionnya. Contoh Protokol den Haag 1930 tentang Statessless yang ditandatangani pada waktu yang sama dengan Konvensi den Haag 1930 tentang Hukum tentang Konflik Kewarganegaraan (Conflict of Nationality Laws),
3) Sebagai Treaty independen,
4) Sebagai Catatan atau dokumen dari persetujuan-persetujuan tertentu. Protocol dalam arti ini sering disebut sebagai Process-Verbal bukan merupakan instrumen dari perjanjian internasional tertulis karena sifatnya tidak formal.
o Final act
Merupakan instrument yang mencatat hasil akhir sutu konperensi untuk kemudian dibentuk menjadi suatu perjanjian. Misal Final Act of the Viena Conference of the 1968-1969 on the Law of Treaties Di samping itu terdapat final act yang benar-benar merupakan perjanjian internasional tertulis, missal Final Act of the Conference of Countries Exporting and Impprting Wheat, ditandatangani di London 1933.
o General Act
Biasanya dikategorikan sebagai treaty. Liga bangsa-bangsa mempergunakan istilah dengan membentuk the General Act for the Pacific Settlement of International Disputes. Dokumen ini diterima Majelis tahun 1928 dan diterima dengan perubahan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 28 April 1949.
o Compromis
Suatu persetujuan khusus tentang prosedur tertentu untuk penyelesaian suatu pertikaian melalui arbitrase
o Concordat
Merupakan suatu persetujuan yang diadakan dengan Paus.

Sesuai dengan hakekat perjanjian yang mengutamakan kehendak dan kesepakatan para pihak yang akibat hukumnya akan mengikat para pihak, maka istilah yang dipergunakan dalam perjanjian internasional tergantung pada kesepakatan negara (melalui wakil-wakilnya) yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
Terlepas dari beragamnya istilah yang dapat dipergunakan untuk perjanjian internasional, berdasarkan praktek masyarakat internasional, perjanjian internasional berdasarkan tahapan yang ditempuh pada saat pembentukannya terdiri dari dua golongan, yaitu:
a. perjanjian internasional yang dibentuk dengan melewati tiga tahap, yaitu perundingan, penandatanganan dan ratifikasi. Perjanjian ini biasanya untuk mengatur hal yang dianggap penting sehingga memerlukan persetujuan dari badan yang berwenang untuk mengadakan perjanjian (treaty making power).
b. perjanjian internasional yang dibentuk dengan dua tahap, yaitu tahap perundingan dan penandatanganan.Perjanjian ini sifatnya lebih sederhana, diadakan untuk perjanjian yang tidak begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat. Misal perjanjian perdagangan jangka pendek.
Dalam praktek belum ada kejelasan mengenai pembedaan perjanjian yang bagaimanakah yang memerlukan ratifikasi dan mana yang tidak. Menurut Mochtar untuk perjanjian internasional dengan menempuh tiga tahap dapat mempergunakan istilah perjanjian internasional atau traktat sedangkan untuk perjanjian internasional yang dibentuk dengan dua tahap dapat digunakan istilah persetujuan.
Kajian perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional, yang pertama adalah klasifikasi perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal.
Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum formal
Berdasarkan keterlibatan pihak-pihak, perjanjian internasional dibedakan dalam perjanjian bilateral, yang diikuti oleh dua pihak dan perjanjian multilateral, diikuti oleh banyak pihak. Contoh perjanjian bilateral Perjanjian Kewarganegaraan antara RI-RRT tahun 1954; perjanjian multilateral Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.
Berdasarkan keterikatan masyarakat internasional pada perjanjian, dibedakan treaty contract dan law making treaty. Treaty contract adalah perjanjian internasional yang mengikat para pihak yang terlibat dalam perjanjian; umumnya perjanjian bilateral. Contoh: Perjanjian Perbatasan, Perjanjian Perdagangan, Perjanjian Kewarganegaraan. Sedangkan law making treaty adalah perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan; umumnya perrjanjian multilateral.. Contoh: Konvensi Hukum Laut 1958, Konvensi Perlindungan Korban Perang 1949.
Menurut Mochtar, pembedaan perjanjian dalam istilah treaty contract dan law making treaty adalah kurang tepat. Alasannya, ditinjau secara yuridis kedua macam perjanjian tersebut merupakan contract yang mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban para pihak. Berdasarkan fungsinya sebagai sumber hukum dalam arti formal setiap perjanjian menimbulkan hukum. Di samping itu, treaty contract dapat membentuk kaidah hukum yang berlaku umum melalui proses hukum kebiasaan. Dari hal terakhir, tidak ada perbedaan prinsip antara law making treaty dengan treaty contract.

Terbentuknya Perjanjian Internasional
Pada prinsipnya setiap negara mempunyai kemampuan mengadakan perjanjian internasional. Pada negara federal wewenang untuk mengadakan perjanjian internasional biasanya berada pada pemerintah federal. Negara bagian tidak mempunyai wewenang mengadakan perjanjian internasional.
Berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat (1) UU 24/2000 pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap
1. tahap penjajakan
2. tahap perundingan,
3. tahap perumusan naskah,
4. tahap penerimaan dan
5. tahap penandatanganan

Menurut Mochtar pembentukan perjanjian melalui tiga tahap, yaitu:
1) perundingan (negotiation)
2) penandatanganan (signature)
3) pengesahan (ratification).

1. Tahap penjajakan
Tahap ini merupakan tahap awal yang dilakukan oleh para pihak mengenai kemungkinan dibuatnya perjanjian internasional

2. Tahap perundingan
Tahap ini merupakan langkah untuk membahas substansi dan masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional. Perundingan untuk mengadakan perjanjian internasional diikuti oleh wakil-wakil sah suatu negara. Seseorang hanya dapat mewakili negara secara sah dalam perundingan untuk mengadakan perjanjian internasional apabila ia dapat menunjukkan surat kuasa penuh (full power atau credentials), kecuali apabila sejak semula peserta konperensi menentukan bahwa surat kuasa penuh demikian tidak diperlukan. Seorang wakil sah negara, atas nama negara berwenang mensahkan perjanjian. Penandatanganan perjanjian oleh wakil sah negara mengakibatkan keterikatan negara pada perjanjian internasional tersebut.
Hukum positif Indonesia membedakan full power dengan credential. Surat Kuasa (full powers) berdasar ketentuan pasal 1 angka 3 UU 24/2000 adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepaada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional. Surat Kepercayaan (credential) ditentukan dalam pasal 1 angka 4 UU 24/2000 adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu perjanjian internasional. Surat kuasa dan surat kepercayaan dapat diberikan terpisah atau disatukan sesuai dengan ketentuan dalam suatu perjanjian internasional atau pertemuan internasional. Surat kuasa tidak diperlukan untuk penandatanganan suatu perjanjian internasional yangmenyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah baik departemen maupun non-departemen.
Keharusan menunjukkan surat kuasa tidak berlaku untuk:
1) Kepala Negara
2) Kepala Pemerintahan,
3) Menteri Luar Negeri,
Ketiganya karena jabatannya dianggap sudah mewakili negaranya dengan sah dan dapat melakukan segala tindakan untuk mengikat negaranya pada perjanjian yang diadakan.
4) Kepala Perwakilan Diplomatik
5) Wakil negara yang ditunjuk untuk mewakili negara dalam konperensi internasional atau dalam badan pada organisasi internasional.
Surat kuasa penuh merupakan dokumen yang sangat resmi bentuknya. Kadang kuasa penuh diberikan dengan kawat ditujukan pada secretariat panitia atau ketua konperensi. Untuk memeriksa keabsahan surat kuasa biasanya konperensi membentuk panitya pemeriksa surat-surat kuasa penuh (credentials committee).
Dewasa ini Hukum internasional memungkinkan seseorang tanpa surat kuasa penuh mewakili suatu negara dalam konperensi internasional yang mengikat negara dalam pembentukan perjanjian internasional, asalkan tindakannya kemudian disahkan oleh pihak yang berwenang dari negara yang bersangkutan
Syarat formal tentang keabsahan wewenang seseorang untuk mengikuti perundingan pembentukan perjanjian internasional ditentukan dalam Konvensi Wina 1986 pasal 7 dan 8. Syarat formal lain adalah penerimaan naskah (Adoption of the text)

3. Tahap perumusan naskah
Tahap ini merupakan tahap merumuskan rancangan naskah suatu perjanjian

4. Tahap penerimaan naskah
Tahap ini merupakan tahap menerima naskah yang sudah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan disebut “penerimaan” yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perjanjian multilateral proses penerimaan biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara atas perubahan perjanjian internasional
Penerimaan naskah perjanjian diatur dalam pasal 9 Konvensi Wina 1986 merupakan tindakan menyetujuai garis-garis besar isi perjanjian, seperti topik dan bab yang diatur. Penerimaan naskah perjanjian akan menghasilkan kerangka perjanjian. Akibat hukum penerimaan naskah perjanjian adalah adanya keterikatan negara peserta untuk tidak mengubah lagi kerangka perjanjian yang telah ditetapkan.

5. Tahap oenandatanganan
Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam perundingan bilateral untuk mendelegasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/accession/ acceptance/approval).

6. Tahap pengesahan
Syarat formal berikutnya adalah pengesahan naskah (authentification of the text). Tahapan ini merupakan tindakan untuk menyetujui rancangan atau isi naskah perjanjian secara mendetail dan menyeluruh sehingga naskah tersebut menjadi otentik dan pasti. Akibat hukumnya, peserta perundingan menjadi terikat untuk tidak mengubah lagi isi perjanjian hingga perjanjian tersebut berlaku (entry into force).Pengesahan dapat dilakukan dengan penandatanganan, penandatanganan ad referendum (sementara) atau dengan pembubuhan paraf (initial). Penerimaan dan pengesahan naskah perjanjian yang dilakukan dalam tahap perundingan tidak selalu diikuti dengan persetujuan untuk terikat dalam perjanjian. Persetujuan untuk terikat dapat diberikan dengan berbagai cara tergantung kesepakatan peserta konperensi. Persetujuan dapat diberikan dalam konperensi ataupun setelah konperensi berakhir.
Berdasarkan ketentuan pasal 11 Konvensi Wina 1986 persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian dapat dilakukan dengan:
(1) penandatanganan (signature),
(2) penukaran instrumen-instrumen pembentuk perjanjian (exchange of instrumens constituting a treaty)
(3) ratifikasi (ratification)
(4) penerimaan (acceptance)
(5) permufakatan (approval)
(6) pernyataan turut serta (accession)
(7) khusus bagi organisasi internasional dengan pembuatan konfirmasi formal (act of formal confirmation)
Pengesahan merupakan tahap terpenting dalam tahapan pembuatan perjanjian internasional. Sebagaimana pembuatannya, pengesahan perjanjian internasional juga melibatkan berbagai lembaga negara dan lembaga pemerintah berikut perangkatnya. Untuk itu, agar dapat dicapai hasil optimal perlu koordinasi di antara lembaga-lembaga yang bersangkutan.
Apabila perjanjian internasional harus disahkan atau dikuatkan oleh badan yang berwenang dalam negara tersebut, maka perjanjian mengikat setelah dilakukan ratifikasi. Semula ratifikasi merupakan cara raja meyakinkan dirinya bahwa wakil pemerintah yang turut serta dalam perundingan dan menandatangani perjanjian telah melakukan tugasnya sesuai dengan maksud diberikannya kuasa penuh kepada yang bersangkutan.
Dalam praktek, bentuk pengesahan terbagi dalam empat kategori, yaitu:
(1) ratifikasi (ratification) apabila negara yang akan mengesahkan perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian;
(2) aksesi (accession) apabila negara yangmengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
(3) penerimaan (acceptance) dan (4) penyetujuan (approval), yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara pihak pada perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional;
Selain itu terdapat perjanjian internasional yang tidak memerlukan pengesahan dan langsung berlaku setelah penandatanganan.
Persoalan ratifikasi lebih merupakan persoalan HTN daripada persoalan HI. HI hanya mengatur dalam hal apa persetujuan oleh wakil negara dalam perjanjian internasional memerlukan ratifikasi.
Sedangkan cara ratifikasi ditentukan oleh masing-masing negara. Praktek dalam mayarakat internasional menunjukkan adanya tiga model ratifikasi, yaitu:
(1) ratifikasi oleh eksekutif. Hal ini pada masa sekarang jarang ditemukan. Ratifikasi model ini peninggalan masa lampau ketika raja masih berkuasa mutlak.
(2) Ratifikasi oleh legislative. Ratifikasi demikian juga jarang ditemukan.
(3) Ratifikasi oleh legislative dan eksekutif. Model ini paling banyak ditemukan dalam praktek kenegaraan. Legislatif dan eksekutif mempunyai peran dalam ratifikasi.
Dilihat dari besar kecilnya peran legislative dan eksekutif terdapat dua model dalam ratifikasi, yaitu: (a) peran eksekutif yanglabih menonjol, ataukah (b) peran legislative yang lebih menonjol.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati para pihak. Perjanjian yang memerlukan pengesahan berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden (vide pasal 9 ayat (2) UU 24/2000). Pasal 10 UU 24/2000 menentukan pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian, bukan berdasarkan pada bentuk perjanjian. Klasifikasi berdasarkan materi dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang. Lembaga yang terlibat dalam proses pengesahan perjanjian internasional yang demikian adalah lembaga pemrakarsa yang terdiri atas lembaga negara dan pemerintah, baik departemen maupun non-departemen. Hal yang dilakukan untuk pengesahan menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud beserta dokumen lain yang diperlukan. Apabila semuanya telah siap maka pengesahan perjanjian internasional diajukan melalui menteri untuk disampaikan kepada Presiden.
Perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk dalam ketentuan pasal 10 UU 24/2000 disahkan dengan Keputusan Presiden. Pengesahan melalui Keputusan Presiden dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum mulai berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundangan nasional. Jenis perjanjian yang pengesahannya cukup dengan Keputusan Presiden adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, dan kerjasama perlindungan penanaman modal serta perjanjian yang bersifat teknis. Setelah perjanjian disahkan dengan Keputusan Presiden, Pemerintah menyampaikannya kepada DPR. Konsekuensinya, DPR dapat melakukan pengawasan terhadap pemerintah meskipun tidak diminta persetujuan sebelum pembuatan perjanjian, karena lazimnya pengesahan dengan Keppres hanya dilakukan bagi perjanjian di bidang teknis. Dalam menjalankan fungsi dan wewenang DPR dapat meminta pertanggungjawaban atau keterangan Pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR

Berlakunya perjanjian internasional
Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuan perjanjian atau merupakan pelaksanaan teknis atas suatu perjanjian induk yang dapat langsung berlaku setelah penandatanganan, pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatic atau setelah melalui cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional. Perjanjian yang termasuk dalam kategori tersebut di antaranya adalah perjanjian yang secara teknis mengatur kerja sama di bidang pendidikan, social, budaya, pariwisata, penerangan, kesehatan, keluarga berencana, pertanian, kehutanan, serta kerjasama antarpropinsi dan antarkota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang disepakati para pihak dalam perjanjian.
Berakhirnya perjanjian internasional
Menurut Mochtar perjanjian internasional dapat berakhir karena beberapa sebab, yaitu:
(1) telah tercapai tujuan perjanjian,
(2) karena habis waktu berlakunya perjanjian,
(3) karena punahnya salah satu subyek/pihak perjanjian atau punahnya obyek perjanjian,
(4) karena adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian,
(5) karena diadakannya perjanjian antara para peserta kemudian yang meniadakan perjanjian yang terdahulu,
(6) karena dipenuhinya syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan kketentuan perjanjian itu sendiri, dan
(7) diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh salah satu peserta dan diterimanya pengakhiran itu oleh pihak lain.
Berdasarkan ketentuan pasal 18 UU 24/2000, perjanjian internasional berakhir apabila:
a. terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
b. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
c. terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
d. salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
e. dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
f. muncul norma-norma baru dalam hukum internasional
g. objek perjanjian hilang;
h. terdapat hal yang merugikan kepentingan nasional.

b. Kebiasaan Internasional
Kebiasaan internasional yang menjadi sumber hukum formal internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Kebiasaan tersebut harus memenuhi unsure material berupa kenyataan bahwa terdapat kebiasaan yang bersifat umum dan unsur psikologis (opinio juris) yang berupa diterimanya kebiasaan tersebut oleh masyarakat internasional sebagai hukum.
Kebiasaan internasional menjadi kebiasaan umum apabila (i) terdapat pola tindak yang bersifat umum bertalian dengan hubungan internasional dan berlangsung secara terus menerus.
Contoh ketentuan hukum internasional yang melalui proses kebiasaan internasional :
- dalam hukum perang penggunaan bendera putih sebagai bendera parlementer yaitu bendera yang memberi perlindungan kepada utusan yang dikirim untuk mengadakan hubungan dengan musuh.
- diterimanya konsep landas kontinen dalam hukum laut internasional sebagai lembaga hukum.
Kebiasaan internasional erat kaitannya dengan perjanjian internasional. Perjanjian internasional yang dilakukan berulangkali mengenai hal yang sama dapat menciptakan kebiasaan internasional dan menciptakan lembaga hukum melalui proses hukum kebiasaan internasional Sebaliknya kebiasaan internasional menjadi sumber hukum formal .dengan diteguhkan dalamperjanjian internasional. Contohnya adalah diterimanya konsep landas kontinen dalam hukum laut internasional. Konsep ini diproklamasikan oleh Presiden Truman tahun 1945. Kemudian muncul beberapa proklamasi serupa di negara lain. Pada tahun 1958 Konperensi Hukum Laut di Jenewa menerima konsep landas Kontinen.

c. Prinsip-prinsip Umum Hukum
Yang dimaksud dengan prinsip hukum umum adalah asas hukum yang mendasari system hukum modern. Sistem hukum modern adalah system hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum Romawi. Keberadaan prinsip hukum umum sebagai perjanjian internasional amat penting bagi perkembangan hukum internasional sebagai system hukum positip. Yang menjadi sumber hukum adalah prinsip hukum umum bukan hanya asas hukum internasional. Oleh karenanya meskipun tidak secara nyata termasuk bidang perdata, tetapi asas-asas yang sudah berlaku universal dapat menjadi sumber hukum formal hukum internasional. Contoh asas pacta sunt servanda, asas bona fides (itikad baik), asas abus de droit, asas non adimplenti non est adiplendum dalam hukum perjanjian. Asas hukum internasional seperti asas kelangsungan negara, asas penghormatan kemerdekaan negara, asas non intervensi, Hukum Pidana Asas Legalitas, Tiada pidana tanpa kesalahan.

d. Putusan Pengadilan dan Doktrin sebagai Sumber Hukum Tambahan
Putusan Pengadilan dan Doktrin merupakan sumber tambahan Hukum Internasional. Artinya Keputusan pengadilan dan pendapat sarjana dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai satu persoalan yang didasarkan atas sumber hukum primer (perjanjian internasional, kebiasaan umum dan asas hukum umum). Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana tidak mengikat. Kedua produk tersebut tidak menimbulkan suatu kaidah, akan tetapi mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan Hukum Internasional.
Keputusan Pengadilan nasional berkait dengan persoalan hukum internasional merupakan bukti telah diterimanya hukum internasional di negara tersebut. Keputusan dari berbagai negara mengenai hal serupa mempunyai akibat kumulatif bukti penerimaan hukum internasional sebagai hukum nasional. Hal ini berpengaruh pada pembentukan kaidah hukum kebiasaan internasional mengenai masalah yang bersangkutan.
Ajaran para sarjana, berdasarkan penelitian, sering dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan apa yang menjadi hukum meski ajaran itu sendiri tidak menimbulkan hukum. Kontribusi doktrin dalam perkembangan hukum internasional ialah apabila sarjana tersebut bertindak dalam suatu fungsi yang secara langsung berkait dengan persoalan hukum internasional yang dicari penyelesaiannya. Pendapat para sarjana hukum yang menjadi anggota. Panitia Hukum Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa tugasnya mempersiapkan/melakukan kodifikasi atau perkembangan hukum internasional. Pendapat para ahli dari berbagai kebudayaan mempunyai nilai tinggi sebagai sumber tambahan Hukum Internasional.

e. Sumber Hukum lainnya
Keputusan-Keputusan Organisasi Internasional yang melahirkan kaidah yang mengatur pergaulan antara anggota-anggota masyarakat internasional. Keputusan Organisasi Internasional sedikitnya dalam lingkungan terbatas mempunyai kekuatan mengikat. Bahkan resolusi PBB tentang Hak Asasi Manusia mempunyai pengaruh yang lebih dari yang diharapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar