Sabtu, 28 Agustus 2010

Hukum : Pedoman Bermasyarakat dan Berbangsa*

Sri Praptianingsih

Assalamualaikum War. Wab.
Pengantar
Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari hukum. sepanjang sejarah peradaban manusia, hukum berperan menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa dilindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga eksistensi manusia dengan segala aspek kehidupannya. Pembunuhan Habil oleh kakaknya Qabil, kemudian peristiwa melarikan diri Qabil karena penyesalan dan rasa bersalahnya, menghindarkan diri dari hukum menunjukkan adanya mekanisme hukum.
Ide negara hukum dari Aristoteles menyatakan bahwa yang memerintah dalam negara bukanlah manusia tetapi pikiran yang adil sudah muncul dan berkembang sejak 300 tahun SM. Keadilan memerintah kehidupan negara. Agar manusia bersikap adil itu dapat terjelma dalam kehidupan bernegara, manusia harus dididik menjadi warga yang baik dan bersusila. Benih ide negara hukum yang sudah ditaburkan sejak 2000 tahun yang lalu ternyata tidak dengan mudah tumbuh subur, berkembang untuk kemudian berbuah dengan kesejahteraan umat manusia pada umumnya, dan khususnya bagi masyarakat bangsa Indonesia.
Hukum sebagai pedoman perilaku manusia.
Hukum yang kita pahami pada umumnya adalah seperangkat aturan yang berisi norma/kaidah. Norma/kaidah merupakan pedoman yang harus dipatuhi. Dalam masyarakat, terdapat empat macam kaidah/norma, yaitu kaidah agama, kaidah susila, kaidah sopan santun dan kaidah hukum.
Kaidah agama berasal dari tuhan, kaidah susila bersumber pada hati nurani, kaidah sopan santun berasal dari tata krama pergaulan sedangkan kaidah hukum dibuat oleh penguasa yang sah/berwenang. Keberlakuan kaidah agama, susila dan sopan santun pada masyarakat tergantung pada masyarakat itu sendiri baik pelaku maupun masyarakat pada umumnya, karena isinya merupakan norma yang sudah diterima masyarakat yang bersangkutan. Terhadap ketiga kaidah tersebut, penguasa tidak mempunyai kewenangan untuk memaksakan penaatannya. Sehingga apabila ada pelanggaran terhadap kaidah tersebut ‘pemerintah’ hanya bisa sekedar menghimbau.
Berbeda dari ketiganya, kaidah hukum mempunyai sifat memaksa dan memberikan wewenang kepada penguasa untuk memaksakan keberlakuannya kepada masyarakat sehingga apabila terbukti ada warga masyarakat yang melanggar kaidah hukum maka kepada yang bersangkutan, penguasa melalui aparatnya dapat menjatuhkan sanksi.
Hukum dibuat untuk kesejahteraan manusia. hukum harus dapat menawarkan perlindungan terhadap tirani dan sekaligus terhadap anarki. Hukum harus dapat melestarikan kebebasan sekaligus ketertiban dan gangguan yang arbitrer baik oleh perseorangan, golongan masyarakat maupun pemerintah. Untuk itu hukum, agar dapat disebut sebagai hukum, setidaknya memenuhi unsur ketertiban, keadilan dan kepastian.
- dengan adanya ketertiban maka manusia sebagai makhluk sosial dapat memenuhi kebutuhannya;
- keadilan mengandung unsur penghargaan, penilaian dan pertimbangan. keadilan menuntut perlakuan yang sama terhadap orang dalam keadaan yang sama. Keadilan bersifat kompromistis, tidak mutlak. Keadilan mutlak hanya milik Allah swt.
- Kepastian hukum diperlukan bagi manusia yang hidup bermasyarakat. Berfungsinya hukum adalah untuk menciptakan ketertiban, keadilan dan kepastian dalam masyarakat.
Keberlakuan Hukum
Hukum harus memenuhi tiga keberlakuan, yaitu
- keberlakuan filosofis, artinya hukum harus berisi nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang dianut oleh masyarakat dimana hukum itu akan diberlakukan.
- keberlakuan normatif/yuridis, artinya hukum yang dibuat harus sesuai dengan peraturan perundangan/hukum yang kedudukannya lebih tinggi.
- keberlakuan empiris/sosiologis, artinya hukum yang akan diberlakukan harus dapat diterima oleh masyarakat dimana hukum itu akan diberlakukan.
Pendapat Friedman, bahwa sistem hukum terdiri dari struktur, substansi dan budaya. Struktur berupa wujud/bentuk peraturan perundangan, seperti UU, Perpu, PP, Perda; substansi merupakan isi peraturan perundangan yang berupa norma/kaedah hukum, baik norma perilaku yang berupa perintah, larangan, kebolehan; maupun norma kewenangan dan norma perubahan; sedangkan budaya/kultur mencakup nilai, ide, kepercayaan, perilaku, harapan dan pandangan hidup yang berlaku dalam masyarakat.
Untuk direnungkan
Kondisi empiris, bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen sudah kita sadari bersama. Persoalannya adalah bagaimana memandang keberagaman itu sebagai sesuatu yang positif dan menguntungkan bagi kita semua. Keberagaman merupakan sunatullah bagi kita, sebagaimana Allah swt berfirman bahwa Allah menciptakan ummat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku... . Keberagaman bangsa Indonesia harus dipandang sebagai potensi bagi perwujudan kesejahteraan. Mewujudkan kesejahteraan, antara lain menggunakan instrumen HUKUM.
Secara normatif, ketentuan menempatkan hukum dalam kedudukan tertinggi di negeri ini sudah disepakati sejak konstitusi pertama, UUD 1945 yang dalam penjelasannya menentukan adanya supremasi hukum, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, bukan supremasi politik yang identik dengan kekuasaan (negara kekuasaan/machtsstaat). Yang terjadi selama masa orde baru adalah supremasi ekonomi, sehingga seluruh potensi yang ada, seluruh kebijakan yang ditetapkan harus mendukung dan menyukseskan kebijakan di sektor ekonomi. Akibatnya hukum menjadi alat untuk pembangunan ekonomi yang kadangkala mengabaikan kondisi manusia itu sendiri, apalagi konsep-konsep yang harus dipatuhi dalam penyusunan dan pelaksanaan hukum sebagaimana tersebut di atas. Di samping itu, hukum senantiasa sarat dengan kepentingan politik karena dibuat melalui proses politik oleh fungsionaris partai politik.
Dengan kondisi terdeskripsi di atas, kepada para mahasiswa Fak. Hukum Universitas Muhammadiyah Jember selamat berjuang, untuk menjadi sarjana hukum yang mumpuni dan Islami.
Wassalam. Good Luck!

*disampaikan pada PPSP FH UMJ th 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar