Selasa, 31 Agustus 2010

Kompetensi Peradilan Terhadap Sengketa Pilkades*

Oleh: Sri Praptianingsih

A. Latar Belakang
Pemilihan kepala desa, merupakan salah satu bentuk pesta demokrasi yang bertujuan untuk memilih pemimpin tertinggi dalam masyarakat. Sebagaimana pemilihan yang lain, dalam proses ini pun ada yang kalah dan ada yang menang, dan tidak setiap kekalahan dapat diterima dengan lapang dada. Tidak sedikit calon dan/atau pendukung yang kalah dalam pemilihan dengan berbagai sebab dan alasan merasa dirugikan atas hasil yang diperolehnya dalam pemilihan. Selanjutnya dapat ditebak akan ada sengketa antara pihak yang merasa dirugikan dengan pihak yang dianggap merugikan. 0sengketa yang timbul setelah terjadinya dan akibat dilaksanakankannya pemilihan kepala desa dalam tulisan ini disebut sengketa pemilihan kepala desa.
Pemilihan kepala desa (pilkades) termasuk salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Pengaturan penyelenggaraan pemilihan kepala desa secara garis besar ditentukan dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa yang kemudian harus diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah . Pasal 203 UU 32/2004 menentukan :
(1) Kepala desa dipilih oleh dan dari penduduk desa warga Negara RI yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur dengan peraturan daerah yang berpedoman kepada peraturan pemerintah;
(2) calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai Kepala desa
(3) pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam peraturan daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pemerintahan kabupaten Jember mengesahkan dan memberlakukan Peraturan Daerah nomor 6 tahun 2006 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Jember tahun 2006 nomor 6). Peraturan daerah ini menjadi pedoman bagi penyelenggara pemerintahan desa di lingkungan Kabupaten Jember, baik untuk bidang pemerintahan (bestuuring), pembuatan peraturan (regeling) maupun penyelenggaraan pemilihan kepala desa.
Berkait pemilihan kepala desa, khususnya untuk mengantisipasi munculnya sengketa sebagaimana tersebut di atas karena ada pihak yang merasa dirugikan pada pemilihan kepala desa, Perda 6/2006 menentukan mekanisme pengaduan dan menyelesaian masalah, adalah :
(1) pengaduan dapat dilakukan oleh pihak calon kepala desa yang merasa dirugikan dalam pelaksanaan pilkades kepada panitia pilkades;
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai bukti-bukti lengkap disampaikan paling lambat 1 (satu) jam setelah penghitungan suara dinyatakan selesai;
(3) Panitia Pilkades segara mengambil langkah-langkah penyelesaian dalam waktu paling lama 2 (dua) jam setelah pengaduan diterima;
(4) putusan Panitia Pilkades bersifat final.

B. Issue Hukum
Issue hukum yang diajukan dalam tulisan ini adalah Lembaga mana yang berwenang mengadili apabila masih ada pihak yang belum mau/dapat menerima Putusan Panitia Pilkades? Dengan perkataan lain ada pihak yang merasa dirugikan, meskipun sudah ada putusan Panitia Pilkades.

C. Pembahasan : Kompetensi Peradilan dalam penanganan perkara
Membahas sengketa dan penyelesaiannya berarti mengkaji peradilan dengan kompetensinya. Untuk ini perlu dipahami, lembaga peradilan manakah yang berwenang mengadili sengketa pilkades. Hal ini penting dipahami, agar upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan tidak sia-sia.
Mengenai kewenangan, kita dapat memulai dari kewenangan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan amandemen UUD 1945 jo. UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung membawahi empat lingkungan peradilan, yaitu:
1.Lingkungan Peradilan Umum yang terdiri dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, berwenang menangani sengketa keperdataan dan perkara pidana. Hukum materiil yang berlaku dalam lingkungan peradilan ini adalah hukum perdata dan hukum pidana.
2.Lingkungan Peradilan Agama yang terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, mengadili perkara keperdataan bagi warga Negara yang beragama Islam, dengan hukum materiil Kompilasi Hukum Islam.
3.Lingkungan Peradilan Militer yang terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama dan Pengadilan Militer Pertempuran, mengaili perkara yang pelakunya militer, dengan hukum materiil hukum yang berlaku bagi Anggota Militer.
4.Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang terdiri dari Pengadilan tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, mengadili sengketa Tata Usaha Negara, hukum materiilnya adalah hukum di bidang penyelenggaraan pemerintahan.
keempat lingkungan peradilan tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
-menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar;
-memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD;
-memutus pembubaran partai politik; dan
-memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Wenangkah Peradilan menangani sengketa pilkades?
Kompetensi peradilan terhadap sengketa pemilihan kepala desa menjadi pertanyaan utama kajian ini. Ketika penyelesaian pada panitia pilkades tidak diterima oleh para pihak, perda tidak memberikan alternative upaya penyelesaian. Apabila ada pihak yang mengajukan ke peradilan, lembaga peradilan yang dituju pun tidak ada. Alasannya adalah sbb:
1.kewenangan peradilan umum adalah sengketa perdata dan perkara pidana, dengan hukum materiil hukum perdata dan hukum pidana. Memang berlaku asas hakim dilarang menolak perkara, akan tetapi asas ini berlaku khususnya apabila datang kepadanya perkara perdata. Pemilihan Kepala Desa bukan perkara perdata, dan belum tentu mengandung unsur pidana. Kalaupun mengandung unsur pidana, kewenangan peradilan, dalam hal ini pengadilan negeri bukan karena perkara itu sengketa pilkades, tetapi karena perbuatan yang diadili memenuhi kriteria dalam hukum pidana.
2.kewenangan peradilan tata usaha Negara adalah sengketa tata usaha Negara, yaitu sengketa antara badan atau pejabat tata usaha Negara dengan orang atau badan hukum perdata akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara.
Pada pemilihan kepala desa, tidak dapat dikategorikan sengketa Tata Usaha Negara, karena:
pertama pemerintah dalam hal ini Camat/pejabat dari Kecamatan dan/atau atas nama Pemerintah Kabupaten/Kota dan jajarannya lazimnya tidak mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan Bupati berkait dengan pilkades baru dikeluarkan apabila segala persoalan yang berkait dengan pilkades sudah selesai.
Kedua, apabila yang digugat adalah Panitia Pilkades, atau Panitia Pilkades dianggap mengeluarkan keputusan yang merugikan. Pertanyaanya, apakah Panitia pilkades merupakan badan TUN? UU 5/86 tentang PTUN menentukan yang dimaksud badan/pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu yang dapat dikategorikan badan/pejabat tata usaha Negara antara lain adalah apabila menjalankan urusan pemerintahan, termasuk obyek hukum administrasi. Sedangkan Panitia Pilkades tidak menjalankan urusan pemerintahan tetapi melakukan tugas menyelenggarakan pemilihan (kepala desa). Proses Pemilihan Kepala Desa, merupakan bagian dari pemilihan umum, merupakan bahasan dalam literature hukum tata Negara.
Ketiga, karena Panitia Pilkades bukan badan/pejabat Tata Usaha Negara, maka tidak menghasilkan keputusan yang bersifat konkrit, individual dan final. Panitia Pilkades tidak memutuskan hasil pemilihan, tetapi sebatas melaporkan hasil penyelenggaraan pilkades dalam berita acara pemilihan beserta lampiran-lampiran sebagai bukti penjelasnya. Bukan menentukan siapakah yang terpilih menjadi kepala desa, karena terpilih tidaknya kepala desa tergantung pada warga bukan Panitia. Sedangkan yang mengesahkan jadi tidaknya calon terpilih menjadi kepala desa adalah Bupati dengan Keputusan yang menetapkan Kepala Desa terpilih sebagai kepala desa (definitive). Dengan demikian PTUN pun bukan peradilan yang berwenang mengadili sengketa pilkades.

Apabila demikian, mungkinkah sengketa Pilkades merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi?
Nampaknya, pada mahkamah konnstitusi pun sengketa pilkades tidak dapat di tampung, meski apabila dicermati, kewenangan lembaga ini terutama adalah persoalan ketatanegaraan. Alasannya, pertama, secara normative, apakah mungkin perda menentukan kewenangan Mahkamah Konstitusi? Mahkamah Konstitusi dibentuk atas perintah Undang-undang Dasar dan berdasarkan Undang-Undang, sedangkan Peraturan Daerah dibentuk atas perintah Undang-undang. Tidak logis peraturan yang lebih rendah mengatur yang lebih tinggi. Kedua, salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah menyelesaikan sengketa hasil pemilu. Pemilu yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD, serta Pemilihan Presiden dan Wapres (pasal 74 UU 24/2003). Pemilihan Kepala Desa, juga Pemilihan Kepala Daerah bukan termasuk di dalamnya tetapi diatur tersendiri. Ketiga, secara empiris, bagaimana mungkin Mahkamah Konstitusi mampu apabila harus menyelesaikan sengketa pemilihan kepala desa, sedangkan jumlah desa/atau disebut dengan nama lain di seluruh wilayah Indonesia amat banyak, sedangkan jumlah hakim Mahkamah Konstitusi amat terbatas.


Penutup
Pemerintahan Kabupaten khususnya Jember nampaknya harus mulai memikirkan adanya lembaga penyelesai sengketa yang lebih memenuhi aspek normative, sosiologis dan terutama keadilan bagi para pihak yang bersengketa atas hasil pilkades. Secara normative, materi ini tidak termasuk dalam kompetensi peradilan, sehingga siapa pun yang membawa kasus ini ke peradilan, pihak lawan akan mudah sekali mengajukan alasan penolakan. Untuk itu perlu dipikirkan adanya lembaga penyelesaian sengketa ‘semacam lembaga arbitrase’ yang anggota-anggotanya terdiri dari : wakil dari pihak yang merasa dirugikan, wakil dari pihak yang dianggap merugikan, wakil dari pemerintah/birokrat yang berkompeten di bidang pemilihan kepala desa, wakil dari akademisi/ahli bidang pemerintahan desa serta wakil dari praktisi. Lembaga ini dapat bersifat ad hoc, artinya hanya dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten apabila ada sengketa yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat Panitia Pilkades sebagaimana ketentuan Perda 6/2006 dan tidak dapat diajukan ke peradilan mana pun karena bukan kompetensi peradilan.
Dengan model penyelesaian sengketa demikian, diharapkan dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa, karena kepentingan para pihak terwakili dalam lembaga ini. Aspek keadilan juga diharapkan lebih banyak terpenuhi, mengingat orang-orang yang duduk dalam lembaga ini, dapat dipilih dari orang yang kompeten dan netral. Karena sifatnya yang ad hoc, maka komposisi orangnya dapat berubah.

Jember, Mei 2007







BAHAN ACUAN YANG DIPERGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN MAKALAH

Amandemen UUD 1945

Undang-Undang tentang Peradilan Umum
Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LNRI th 1986 Nomor 77 TLN nomor 3344)
Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (LNRI th 1999 Nomor 138 TLN nomor 3872)
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (LNRI th 2003 Nomor 98 TLN nomor 4316)
Undang Undang tentang Kekuasaaan Kehakiman (LNRI th 2004 Nomor 8, TLN nomor 4358)
Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LNRI th 2004 Nomor 35, TLN nomor 4380)
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Daerah Kabupaten Jember tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Daerah Kab Jember Nomor 6 Tahun 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar