Selasa, 31 Agustus 2010

Hal Yang perlu diperhatikan ketika membeli rumah/tanah

1. Periksalah terlebih dahulu keabsahan/kewenangan penjual (apakah penjual berhak atas rumah/tanah dan berwenang untuk menjualnya)
2. Periksa bukti kepemilikan dan penguasaan atas rumah/tanah, apakah ada kesesuaian nama antara yang tersebut di dalamnya dengan nama penjual
3. Apabila penjual sudah menikah, harus dengan persetujuan pasangannya.
4. Lakukanlah jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Camat atau Notaris PPAT) atau setidaknya pelunasan dilakukan di hadapan PPAT, agar diperoleh Akta Jual Beli.
5. Upayakan untuk segera mensertifikatkan tanah atau rumah karena:
a. tanah yang belum bersertifikat mudah bermasalah/disengketakan
b. biaya pensertifikatan tanah semakin mahal.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga : pengertian, jenis dan hukumnya

Dalam media massa seperti koran, majalah, televisi dan radio sering disampaikan berita yang membuat orang yang sehat rohani menjadi miris, seperti pembuangan bahkan pembunuhan bayi yang baru dilahirkan, pelanggaran susila terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh orang-orang dekat bahkan ayah atau kakeknya, penganiayaan pembantu oleh para majikan, bahkan terjadi seorang anak tega melakukan pelanggaran susila terhadap ibunya. Semakin maraknya kejahatan yang terjadi, dimana pelaku dan korban ternyata masih mempunyai hubungan keluarga bahkan tinggal serumah, mendorong pemerintah untuk mengupayakan penghapusan tindakan kekerasan dalam rumah tangga, dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Dasar pertimbangan disahkan dan berlakunya undang-undang tersebut adalah bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Setiap bentuk kekerasan merupakan pelanggaran hak asasi dan kejahatan terhadap manusia. Lazimnya, korban kekerasan dalam rumah tangga adalah kaum perempuan, tetapi perempuan sebagai pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga juga mungkin terjadi.
Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang yang berakibat pada timbulnya kesengsaraan atau penderitaan baik secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan, dalam lingkup rumah tangga.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat beberapa jenis tindak kekerasan dalam rumah tangga:, yaitu :
1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang menimbulkan atau mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
Ajaran Agama Islam, membolehkan seorang suami untuk `memukul` isteri yang nusyuz, asalkan pukulan tersebut tidak menyakitkan dan tidak membahayakan keselamatan isteri. Jika isteri tetap nusyuz, dipisahkan tidur, bahkan dalam keadaan yang tidak dapat diperbaiki, Islam menghalalkan perceraian, asalkan dengan cara yang baik.
2. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, timbulnya perasaan tidak berdaya dan atau penderitaan psikis pada seseorang.
Islam menempatkan suami dalam kedudukan yang lebih dibanding isteri, dan mewajibkan para isteri untuk menaati suaminya. Kedudukan yang lebih tinggi tersebut dengan kewajiban untuk memberikan nafkah secara materi berupa sandang, pangan dan menyediakan tempat tinggal sesuai kemampuannya, juga memberikan perlindungan dan kasih sayang kepada isterinya. Tidak mulia seorang pria apabila dia tidak dapat memuliakan wanita. Dan bukan perempuan saleh apabila dia tidak berbakti pada suaminya.
3. Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut atau pemaksaan hubungan seksual terhadap seseorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan lain
Islam mewajibkan para suami untuk menggauli isterinya dengan cara yang makruf, dan mewajibkan para isteri untuk tidak menolak `ajakan` suaminya
4. Penelantaran rumah tangga.
a. setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut;
b. setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Islam mengajarkan, kewajiban para suami adalah memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Memberikan makanan sebagaimana yang dia makan, memberikan busana sebagaimana yang dia kenakan dan memberikan tempat tinggal dimana dia tinggal. Apabila isteri mempunyai penghasilan, tidak wajib baginya untuk mempergunakannya dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Tetapi apabila itu dilakukan isteri (dengan ikhlas), balasannya dalam perhitungan Allah.

Bagaimana apabila terjadi KDRT?
Apabila kita mengetahui, mendengar, atau melihat terjadinya salah satu peristiwa tersebut di atas, maka kita diwajibkan untuk melakukan upaya sesuai batas kemampuan untuk :
- mencegah berlangsungnya tindak KDRT
- memberikan perlindungan kepada korban
- memberikan pertolongan darurat
- membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan

Perlindungan Bagi Korban
Bagi korban KDRT, berhak untuk melaporkan tindakan KDRT yang menimpanya ke Kepolisian terdekat. Pihak kepolisian, dalam tenggang waktu 1 x 24 jam sejak menerima laporan tersebut wajib untuk memberikan perlindungan sementara. Perlindungan sementara tersebut berlaku untuk maksimal tujuh hari sejak korban diterima/ditangani. Polisi dalam memberikan perlindungan dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan (dokter, perawat, psikolog), pekerja sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani.

Ancaman Hukuman bagi pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga
a. Melakukan kekerasan fisik : (pasal 44)
- ancaman hukuman pidana penjara lima tahun atau denda Rp.15.000.000; apabila dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya ancaman hukuman pidana penjara 4 bulan atau denda Rp.5.000.000,-;
- apabila korban jatuh sakit atau luka berat, ancaman hukuman pidana penjara 10 tahun atau denda Rp.30.000.000,-;
- apabila korban meninggal ancaman hukuman pidana penjara 15 tahun atau denda Rp.45.000.000,-;
b. Melakukan kekerasan psikis :
- ancaman pidana penjara 3 tahun atau denda Rp. 9.000.000,-
- apabila dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya ancaman hukuman pidana penjara 4 bulan atau denda Rp.3.000.000,-;
c. melakukan kekerasan seksual :
- terhadap salah seorang yang menetap dalam rumah tangga, ancaman hukuman pidana penjara 12 tahun denda Rp. 36.000.000,-
- terhadap salah seorang yang menetap dalam rumah tangga dengan tujuan komersial, ancaman hukuman pidana penjara 15 tahun denda minimal Rp.12.000.000,- atau maksimal Rp. 300.000.000,-
- apabila :
i. korban luka yang tidak memberi harapan sembuh sama sekali, atau
ii. mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan (4 minggu – 1 tahun, tidak berturut-turut), atau
iii. gugur atau matinya janin dalam kandungan; atau
iv. alat reproduksi menjadi tidak berfungsi;
ancaman hukuman pidana penjata minimal 5 tahun maksimal 20 tahun atau denda minimal Rp. 25.000.000,- maksimal Rp.500.000.000,-
d. menelantarkan : diancam dengan pidana penjara 3 tahun atau denda Rp.15.000.000,-

Perceraian dan Akibat Hukumnya

Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian; b. perceraian; c. putusan pengadilan
Akibat putusnya perkawinan karena perkawinan, apabila si meninggal meninggalkan ahli waris dan harta waris maka akan terjadi pembagian waris. Bagian masing-masing ahli waris dapat ditentukan berdasarkan hukum yang dipilih oleh para ahli waris.
Akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian adalah:

TERHADAP ANAK
a. Ayah atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata berdasarkan kepentingan anak-anaknya; Apabila terdapat perselisihan mengenai penguasaan anak, Pengadilan akan memberikan putusannya.
b.Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak; Apabila bapak ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri.

TERHADAP ISTRI
Apabila perceraian timbul atas kehendak suami, maka istri berhak atas 1/3 gaji/penghasilan suami, sedangkan apabila istri yang menghendaki perceraian, maka hak demikian tidak ada. Kecuali apabila gugatan cerai diajukan oleh isteri dengan alas an suaminya mengambil isteri lagi.
Apabila anak-anak yang yang belum dewasa mengikuti ibunya, maka hak anak sebesar 1/3 gaji/penghasilan ayahnya diberikan kepada anaknya melalui ibunya atau bekas isterinya.

TERHADAP HARTA PERKAWINAN/GONO-GINI/BERSAMA
Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta asal kembali kepada pemiliknya masing-masing dan hara gono-gini dibagi dua, separo untuk istri dan separo untuk suami.

Putusnya Perkawinan karena kematian
Akibat yang muncul terhadap perkawinan apabila suami/istri meninggal, khususnya berkait dengan hukum waris apabila si meninggal meninggalkan harta waris. Pembagian waris dapat dilakukan berdasarkan hukum yang disepakati para pihak.

POLIGAMI

Dalam perjalanan waktu, sebuah perkawinan menghadapi kemungkinan berlangsung dengan baik, suami mengambil isteri lagi atau perkawinan putus. Perkawinan berjalan baik merupakan idaman setiap pasangan suami istri dan keluarganya ketika terjadi ikatan pernikahan. Keadaan demikian umumnya mencerminkan adanya perlindungan hak dan pemenuhan kewajiban bagi suami, isteri dan anak dengan baik. Persoalan hukum muncul terutama apabila ada pihak diabaikan pemenuhan haknya atau mengabaikan kewajiban. Lazimnya keadaan itu muncul karena terjadi poligami atau karena perkawinan putus. Apabila terjadi poligami atau putus perkawinan, biasanya, istri dan anak merupakan pihak yang secara ekonomi dianggap paling menderita. Oleh karena itu hukum di Indonesia memberikan perlindungan bagi istri dan anak.
Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami. Suami dapat mempunyai isteri lebih dari seorang apabila menghendaki dan diijinkan oleh pengadilan. Pengadilan akan memberikan ijin kepada seorang pria untuk mempunyai lebih dari seorang isteri dalam perkawinannya apabila:
a.isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c.isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Apabila terdapat salah satu diantara ketiga keadaan tersebut Seorang suami dapat mengajukan permohonan dengan kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
2.adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
3.adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Persetujuan dari isteri tidak diperlukan apabila:
- Isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,
- Tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya dua tahun, atau
- Karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian dari hakim.
Bagi Pegawai Negeri Sipil, apabila akan menikah dengan lebih dari seorang wanita atau akan menjadi isteri kedua atau ketiga atau keempat dari seorang pria harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari atasannya yang berwenang.

Akibat Hukum Perkawinan

Akibat hukum terjadinya perkawinan, adalah
1. Timbulnya Hak dan Kewajiban bagi suami istri
2. lahirnya anak
3. timbulnya hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
4. adanya harta bersama

1. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perkawinan
Undang-undang Perkawinan memberikan kewajiban yang seimbang bagi suami dan istri untuk menengakkan rumah tangganya.
- Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
- Suami/istri masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum.
- Suami berkedudukan sebagai kepala keluarga dan isteri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga.
- Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya.
- Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

2. Kedudukan anak dalam Perkawinan
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Apabila dilahirkan di luar perkawinan, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Artinya anak meminta pemenuhan kebutuhan hidupnya hanya kepada ibunya atau keluarga ibunya.

3. Kewajiban orang tua terhadap anak
- Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, sampai anak kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini tetap berlaku meskipun perkawinan kedua orang tua putus.
- Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang berlum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendaki.
- Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
- Orang tua mewakili anak yang belum dewasa untuk melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

Hak-hak anak yang dilindungi oleh hukum di Indonesia
Hak anak adalah hak asasi manusia.Untuk kepentingan anak, hak anak diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
1. Anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara.
2. Sejak dalam kandungan, anak berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya.
3. Sejak kelahirannya, berhak atas nama dan status kewarnegaraan.
4. Anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernedara.
5. Anak berhak untuk beribadah, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usia di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.
6. Anak berhak mengetahui siapa orang tuanya, diasuh dan dibesarkan oleh orang tuanya sendiri.
7. Apabila orang tua tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik maka anak boleh diasuh atau diangkat oleh orang lain untuk pemeliharaan yang layak.
8. Anak berhak mendapatkan perlindungan hukum dari bentuk bentuk: kekerasan fisik dan mental, penelantaran, perlakuan buruk, pelecehan, selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
9. Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri kecuali ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.
10. Apabila anak dipisahkan dari orang tuanya (sebagaimana ketentuan pasal 9), anak tetap berhak untuk bertemu dengan orang tuanya dan menjalin hubungan pribadi secara tetap.
11. Anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya.
12. Anak berhak mencari, menerima dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya, dengan tidak bertentangan dengan nilai kesusilaan, kesopanan dan kepatutan.
13. Anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak sebaya, berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya.
14. Anak berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan social secara layak sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya.
15. Anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan social dan peristiwa kekerasan lain.
16. Anak berhak atas perlindungan dari ekploitasi ekonomi setiap pekerjaan yang membahayakan diri dan mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan social dan mental spiritual.
17. Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak dan penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain.
18. Anak tidak dapat dijatuhi pidana penjara seumur hidup atau pidana mati
19. Apabila anak ditahan atau dihukum pidana penjara perlakuan yang diberikan kepada anak harus memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi, sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali apabila demi kepentingannya.
20. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat mebahayakan dirinya atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

4. Kewajiban anak terhadap orang tua.
- Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik.
- Anak yang telah dewasa wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, apabila mereka itu memerlukan bantuannya.

5. Harta Perkawinan
Harta benda dalam perkawinan dapat terdiri dari harta asal/bawaan dan harta bersama (gono-gini). Harta asal/bawaan yang diperoleh masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Sedangkan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan dan terhadap harta demikian suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua pihak.
Apabila perkawinan putus, maka harta bersama diatur menurut hukum masing-masing. Sedangkan harta asal kembali ke penguasaan masing-masing.

Pencatatan Perkawinan

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan maka tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Hal ini berarti mereka yang melakukan perkawinan semestinya mencatatkan perkawinannya di KUA bagi yang beragama Islam, dan di Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama bukan Islam. Pencatatan perkawinan akan memberikan perlindungan hukum bagi istri dan anak-anak yang terlahir dalam dan akibat dari perkawinan tersebut.
Akibat Hukum Apabila Tidak Dilakukan Pencatatan Perkawinan.
Pada hakekatnya, perkawinan dianggap sah apabila dilakukan berdasarkan dan menurut agama dan kepercayaan. Ini berarti perkawinan sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun nikah yang ditentukan dalam agama calon suami/istri.
Meski demikian tindakan pencatatan sebaiknya tetap harus dilakukan. Perkawinan merupakan sebuah peristiwa yang penting bagi seseorang dan dari dalamnya kemudian akan muncul hak dan kewajiban yang akan melekat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya. Apabila perkawinan tidak dicatatkan akan menimbulkan akibat sbb:
a.Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
b.Anak dan Ibu tidak berhak atas nafkah dan warisan dari ayah/suami.

Pengesahan Perkawinan
Peraturan perundangan di Indonesia mensyaratkan pencatatan untuk pengesahan perkawinan. Menurut Undang-Undang, perkawinan sah apabila telah dicatatkan. Oleh karena itu bagi umat Islam yang belum mencatatkan perkawinannya dapat melakukan pencatatan perkawinan di KUA, dan perkawinannya dianggap sah sejak dicatatkan. Anak-anak yang terlahir sebelum pencatatan dianggap sebagai anak luar kawin, sehingga pada prinsipnya dianggap bukan anak sah dari ayah biologisnya yang menjadi suami ibunya.
CATATKAN PERKAWINAN
Pencatatan perkawinan amat penting terutama untuk mendapatkan hak istri, seperti nafkah istri, warisan, nafkah anak dan warisan anak. Oleh karena itu seharusnya para wanita berpikir masak-masak sebelum melakukan pernikahan siri’, karena di kemudian hari anak-anak yang dilahirkan atau apabila terjadi perceraian akan kesulitan bagi anak-anak dan bekas istrinya untuk meminta haknya.

Kompetensi Peradilan Terhadap Sengketa Pilkades*

Oleh: Sri Praptianingsih

A. Latar Belakang
Pemilihan kepala desa, merupakan salah satu bentuk pesta demokrasi yang bertujuan untuk memilih pemimpin tertinggi dalam masyarakat. Sebagaimana pemilihan yang lain, dalam proses ini pun ada yang kalah dan ada yang menang, dan tidak setiap kekalahan dapat diterima dengan lapang dada. Tidak sedikit calon dan/atau pendukung yang kalah dalam pemilihan dengan berbagai sebab dan alasan merasa dirugikan atas hasil yang diperolehnya dalam pemilihan. Selanjutnya dapat ditebak akan ada sengketa antara pihak yang merasa dirugikan dengan pihak yang dianggap merugikan. 0sengketa yang timbul setelah terjadinya dan akibat dilaksanakankannya pemilihan kepala desa dalam tulisan ini disebut sengketa pemilihan kepala desa.
Pemilihan kepala desa (pilkades) termasuk salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Pengaturan penyelenggaraan pemilihan kepala desa secara garis besar ditentukan dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa yang kemudian harus diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah . Pasal 203 UU 32/2004 menentukan :
(1) Kepala desa dipilih oleh dan dari penduduk desa warga Negara RI yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur dengan peraturan daerah yang berpedoman kepada peraturan pemerintah;
(2) calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai Kepala desa
(3) pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam peraturan daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pemerintahan kabupaten Jember mengesahkan dan memberlakukan Peraturan Daerah nomor 6 tahun 2006 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Jember tahun 2006 nomor 6). Peraturan daerah ini menjadi pedoman bagi penyelenggara pemerintahan desa di lingkungan Kabupaten Jember, baik untuk bidang pemerintahan (bestuuring), pembuatan peraturan (regeling) maupun penyelenggaraan pemilihan kepala desa.
Berkait pemilihan kepala desa, khususnya untuk mengantisipasi munculnya sengketa sebagaimana tersebut di atas karena ada pihak yang merasa dirugikan pada pemilihan kepala desa, Perda 6/2006 menentukan mekanisme pengaduan dan menyelesaian masalah, adalah :
(1) pengaduan dapat dilakukan oleh pihak calon kepala desa yang merasa dirugikan dalam pelaksanaan pilkades kepada panitia pilkades;
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai bukti-bukti lengkap disampaikan paling lambat 1 (satu) jam setelah penghitungan suara dinyatakan selesai;
(3) Panitia Pilkades segara mengambil langkah-langkah penyelesaian dalam waktu paling lama 2 (dua) jam setelah pengaduan diterima;
(4) putusan Panitia Pilkades bersifat final.

B. Issue Hukum
Issue hukum yang diajukan dalam tulisan ini adalah Lembaga mana yang berwenang mengadili apabila masih ada pihak yang belum mau/dapat menerima Putusan Panitia Pilkades? Dengan perkataan lain ada pihak yang merasa dirugikan, meskipun sudah ada putusan Panitia Pilkades.

C. Pembahasan : Kompetensi Peradilan dalam penanganan perkara
Membahas sengketa dan penyelesaiannya berarti mengkaji peradilan dengan kompetensinya. Untuk ini perlu dipahami, lembaga peradilan manakah yang berwenang mengadili sengketa pilkades. Hal ini penting dipahami, agar upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan tidak sia-sia.
Mengenai kewenangan, kita dapat memulai dari kewenangan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan amandemen UUD 1945 jo. UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung membawahi empat lingkungan peradilan, yaitu:
1.Lingkungan Peradilan Umum yang terdiri dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, berwenang menangani sengketa keperdataan dan perkara pidana. Hukum materiil yang berlaku dalam lingkungan peradilan ini adalah hukum perdata dan hukum pidana.
2.Lingkungan Peradilan Agama yang terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, mengadili perkara keperdataan bagi warga Negara yang beragama Islam, dengan hukum materiil Kompilasi Hukum Islam.
3.Lingkungan Peradilan Militer yang terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama dan Pengadilan Militer Pertempuran, mengaili perkara yang pelakunya militer, dengan hukum materiil hukum yang berlaku bagi Anggota Militer.
4.Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang terdiri dari Pengadilan tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, mengadili sengketa Tata Usaha Negara, hukum materiilnya adalah hukum di bidang penyelenggaraan pemerintahan.
keempat lingkungan peradilan tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
-menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar;
-memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD;
-memutus pembubaran partai politik; dan
-memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Wenangkah Peradilan menangani sengketa pilkades?
Kompetensi peradilan terhadap sengketa pemilihan kepala desa menjadi pertanyaan utama kajian ini. Ketika penyelesaian pada panitia pilkades tidak diterima oleh para pihak, perda tidak memberikan alternative upaya penyelesaian. Apabila ada pihak yang mengajukan ke peradilan, lembaga peradilan yang dituju pun tidak ada. Alasannya adalah sbb:
1.kewenangan peradilan umum adalah sengketa perdata dan perkara pidana, dengan hukum materiil hukum perdata dan hukum pidana. Memang berlaku asas hakim dilarang menolak perkara, akan tetapi asas ini berlaku khususnya apabila datang kepadanya perkara perdata. Pemilihan Kepala Desa bukan perkara perdata, dan belum tentu mengandung unsur pidana. Kalaupun mengandung unsur pidana, kewenangan peradilan, dalam hal ini pengadilan negeri bukan karena perkara itu sengketa pilkades, tetapi karena perbuatan yang diadili memenuhi kriteria dalam hukum pidana.
2.kewenangan peradilan tata usaha Negara adalah sengketa tata usaha Negara, yaitu sengketa antara badan atau pejabat tata usaha Negara dengan orang atau badan hukum perdata akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara.
Pada pemilihan kepala desa, tidak dapat dikategorikan sengketa Tata Usaha Negara, karena:
pertama pemerintah dalam hal ini Camat/pejabat dari Kecamatan dan/atau atas nama Pemerintah Kabupaten/Kota dan jajarannya lazimnya tidak mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan Bupati berkait dengan pilkades baru dikeluarkan apabila segala persoalan yang berkait dengan pilkades sudah selesai.
Kedua, apabila yang digugat adalah Panitia Pilkades, atau Panitia Pilkades dianggap mengeluarkan keputusan yang merugikan. Pertanyaanya, apakah Panitia pilkades merupakan badan TUN? UU 5/86 tentang PTUN menentukan yang dimaksud badan/pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu yang dapat dikategorikan badan/pejabat tata usaha Negara antara lain adalah apabila menjalankan urusan pemerintahan, termasuk obyek hukum administrasi. Sedangkan Panitia Pilkades tidak menjalankan urusan pemerintahan tetapi melakukan tugas menyelenggarakan pemilihan (kepala desa). Proses Pemilihan Kepala Desa, merupakan bagian dari pemilihan umum, merupakan bahasan dalam literature hukum tata Negara.
Ketiga, karena Panitia Pilkades bukan badan/pejabat Tata Usaha Negara, maka tidak menghasilkan keputusan yang bersifat konkrit, individual dan final. Panitia Pilkades tidak memutuskan hasil pemilihan, tetapi sebatas melaporkan hasil penyelenggaraan pilkades dalam berita acara pemilihan beserta lampiran-lampiran sebagai bukti penjelasnya. Bukan menentukan siapakah yang terpilih menjadi kepala desa, karena terpilih tidaknya kepala desa tergantung pada warga bukan Panitia. Sedangkan yang mengesahkan jadi tidaknya calon terpilih menjadi kepala desa adalah Bupati dengan Keputusan yang menetapkan Kepala Desa terpilih sebagai kepala desa (definitive). Dengan demikian PTUN pun bukan peradilan yang berwenang mengadili sengketa pilkades.

Apabila demikian, mungkinkah sengketa Pilkades merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi?
Nampaknya, pada mahkamah konnstitusi pun sengketa pilkades tidak dapat di tampung, meski apabila dicermati, kewenangan lembaga ini terutama adalah persoalan ketatanegaraan. Alasannya, pertama, secara normative, apakah mungkin perda menentukan kewenangan Mahkamah Konstitusi? Mahkamah Konstitusi dibentuk atas perintah Undang-undang Dasar dan berdasarkan Undang-Undang, sedangkan Peraturan Daerah dibentuk atas perintah Undang-undang. Tidak logis peraturan yang lebih rendah mengatur yang lebih tinggi. Kedua, salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah menyelesaikan sengketa hasil pemilu. Pemilu yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD, serta Pemilihan Presiden dan Wapres (pasal 74 UU 24/2003). Pemilihan Kepala Desa, juga Pemilihan Kepala Daerah bukan termasuk di dalamnya tetapi diatur tersendiri. Ketiga, secara empiris, bagaimana mungkin Mahkamah Konstitusi mampu apabila harus menyelesaikan sengketa pemilihan kepala desa, sedangkan jumlah desa/atau disebut dengan nama lain di seluruh wilayah Indonesia amat banyak, sedangkan jumlah hakim Mahkamah Konstitusi amat terbatas.


Penutup
Pemerintahan Kabupaten khususnya Jember nampaknya harus mulai memikirkan adanya lembaga penyelesai sengketa yang lebih memenuhi aspek normative, sosiologis dan terutama keadilan bagi para pihak yang bersengketa atas hasil pilkades. Secara normative, materi ini tidak termasuk dalam kompetensi peradilan, sehingga siapa pun yang membawa kasus ini ke peradilan, pihak lawan akan mudah sekali mengajukan alasan penolakan. Untuk itu perlu dipikirkan adanya lembaga penyelesaian sengketa ‘semacam lembaga arbitrase’ yang anggota-anggotanya terdiri dari : wakil dari pihak yang merasa dirugikan, wakil dari pihak yang dianggap merugikan, wakil dari pemerintah/birokrat yang berkompeten di bidang pemilihan kepala desa, wakil dari akademisi/ahli bidang pemerintahan desa serta wakil dari praktisi. Lembaga ini dapat bersifat ad hoc, artinya hanya dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten apabila ada sengketa yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat Panitia Pilkades sebagaimana ketentuan Perda 6/2006 dan tidak dapat diajukan ke peradilan mana pun karena bukan kompetensi peradilan.
Dengan model penyelesaian sengketa demikian, diharapkan dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa, karena kepentingan para pihak terwakili dalam lembaga ini. Aspek keadilan juga diharapkan lebih banyak terpenuhi, mengingat orang-orang yang duduk dalam lembaga ini, dapat dipilih dari orang yang kompeten dan netral. Karena sifatnya yang ad hoc, maka komposisi orangnya dapat berubah.

Jember, Mei 2007







BAHAN ACUAN YANG DIPERGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN MAKALAH

Amandemen UUD 1945

Undang-Undang tentang Peradilan Umum
Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LNRI th 1986 Nomor 77 TLN nomor 3344)
Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (LNRI th 1999 Nomor 138 TLN nomor 3872)
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (LNRI th 2003 Nomor 98 TLN nomor 4316)
Undang Undang tentang Kekuasaaan Kehakiman (LNRI th 2004 Nomor 8, TLN nomor 4358)
Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LNRI th 2004 Nomor 35, TLN nomor 4380)
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Daerah Kabupaten Jember tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Daerah Kab Jember Nomor 6 Tahun 2006)

Senin, 30 Agustus 2010

Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2009
TENTANG RUMAH SAKIT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya;
b. bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya;
c. bahwa dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan,perlu mengatur Rumah Sakit dengan Undang-Undang;
d. bahwa pengaturan mengenai rumah sakit belum cukup memadai untuk dijadikan landasan hokum dalam penyelenggaraan rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d serta untuk memberikan kepastian hokum bagi masyarakat dan Rumah Sakit, perlu membentuk Undang-Undang tentang Rumah Sakit;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG RUMAH SAKIT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
2. Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.
3. Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
4. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.
5. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah.
7. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
...

Butuh lengkap?
Tinggalkan pesan dan alamat email, insyaallah saya kirimkan

Minggu, 29 Agustus 2010

Penyelenggaraan Pemerintahan Untuk Negara Hukum*

Oleh : Sri Praptianingsih

A. Pendahuluan
Penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 22/1999) memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk melaksanakan otonomi berdasarkan prinsip desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Penyelenggaraan pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar pada UUD 1945, apapun asas otonominya, adalah semata untuk mewujudkan negara hukum formil menjadi hukum materiil yang hendaknya dijadikan niscaya oleh setiap komponen bangsa ini.

B. Permasalahan
Yang dimaksud penyelenggara negara adalah pemegang kekuasaan negara, baik kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif maupun kekuasaan yudisiil. Berkait dengan kajian otonomi daerah, yang dimaksud kekuasaan eksekutif adalah Pemerintah Kabupaten/Kota, kekuasaan legislatif adalah DPRD Kabupaten/Kota dan kekuasaan yudisiil adalah lembaga peradilan, dalam hal ini adalah Mahkamah Agung beserta seluruh jajarannya yang berkedudukan di tingkat kabupaten/kota adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, serta Peradilan Tata Usaha Negara untuk Ibukota Propinsi. Tiap-tiap badan penyelenggara negara mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan. Issu hukum yang akan dikaji dalam makalah ini adalah bagaimana tindakan penyelenggara negara dalam menjalankan wewenangnya berdasarkan prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab dapat sekaligus menujudkan negara hukum formil menjadi negara hukum materiil?

C. Pembahasan
Kepustakaan mengenal istilah negara hukum formil dan negara hukum materiil . Negara hukum formil adalah negara hukum yang mendapat pengesahan dari rakyat, segala tindakan penguasa memerlukan bentuk hukum tertentu, harus berdasarkan undang-undang. Sedangkan negara hukum materiil merupakan perkembangan lebih lanjut negara hukum

formil. Dalam negara hukum materiil, apabila terdapat keadaan mendesak, demi kepentingan warga negara, penguasa diberi kebebasan bertindak berupa freies ermessen (hukum administrasi) dan asas opportunitas (hukum acara pidana)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi negara hukum (rechtsstaat) adalah:
1. asas legalitas dalam penyelenggaraan pemerintahan
2. jaminan perlindungan hak asasi manusia
3. adanya pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan
4. pengawasan oleh badan peradilan.
Mengacu pada kriteria tersebut, maka penyelenggara negara sebagai aparat sebuah negara hukum dalam melaksanakan tugas, kewajiban dan wewenangnya harus mengupayakan semaksimal mungkin agar ide negara hukum dapat terwujud melalui praktek penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia.

Add. 1 Asas Legalitas
Asas legalitas dalam penyelenggaraan negara (pemerintahan) berarti bahwa setiap pemegang dan pelaksana kekuasaan negara dalam menjalankan wewenangnya harus berdasar dan berpedoman pada peraturan perundangan yang berlaku. Apabila ternyata timbul keadaan mendesak yang harus diselesaikan, sementara peraturan belum ada atau ada tetapi tidak jelas, maka penyelenggara negara diberi kebebasan bertindak berupa freies ermessen bagi pemegang kekuasaan eksekutif dan di bidang peradilan diberlakukan asas opportunitas. Sedangkan bagi pemegang kekuasaan legislatif belum lazim diberlakukan kebebasan bertindak, karena wewenang utama badan legislatif adalah menyusun undang-undang (peraturan daerah :tingkat Kabupaten/Kota), sehingga tidak langsung bersentuhan dengan kasus-kasus masyarakat yang terus berkembang dan berubah. Kebebasan bertindang yang dimiliki oleh kekuasaan eksekutif dan yudisiil harus tetap mengacu pada perturan perundangan yang berlaku, dalam arti tindakan penguasa tidak menyimpang dan bahkan bertentangan secara substansi peraturan perundangan yang berlaku . Oleh karena itu maka agar setiap tindakan penguasa merupakan perbuatan yang sah sehingga tidak mudah diajukan pembatalan, bahkan sengketa dengan tuntutan ganti kerugian, harus dilakukan harus juga berdasarkan wewenangnya yang sah.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU 22/1999 penyelenggara pemerintahan di daerah kewenangan DPRD ditentukan dalam pasal 18 sbb:
(1) DPRD mempunyai tugas dan wewenang :
a.memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil
Walikota;
b.memilih anggota MPR dari Utusan Daerah;
c.mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota;
d.bersama Gubernur, Bupati, dan Walikota membentuk Peraturan Daerah;
e.bersama Gubernur, Bupati, dan Walikota menetapkan APBD;
f.melaksanakan pengawasan terhadap :
1.pelaksanaan Perda dan Peraturan perundang-undangan lain;
2.pelaksanaan keputusan Gubernur, Bupati, dan Walikota;
3.pelaksanaan APBD;
4.kebijakan Pemerintah Daerah;
5.pelaksanaan kerjasama internasional di daerah;
g.memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah terhadap rencana
perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan Daerah;
h.menampung dan menindaklanjuti aspirasi daerah.
(2)Pelaksanaan tugas dan wewenang, sebagaimana dimaksud ayat (1), diatur dalam
Peraturan Tata Tertib DPRD

UU 22/1999 tidak menentukan wewenang Bupati, tetapi menentukan tentang Kewajiban Kepala Daerah dalam pasal 43 UU 22/1999, yaitu :
a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana cita-cita proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945;
b. memegang teguh Pancasila dan UUD 1945;
c. menghormati kedaulatan rakyat;
d. menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
e. meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat;
f. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
g. mengajukan rancangan Peraturan Daerah dan menetapkan sebagai Peraturan Daerah
bersama dengan DPRD.
Kewajiban lain ditentukan dalam pasal berikutnya, yaitu :
h. memimpin penyelenggaraan pemerintahan Daerah (ps. 44 ayat (1);
i. menyampaikan laporan pertanggungjawaban atas penyelenggaraan pemerintahan
Daerah kepada Presiden (ps. 44 ayat (2);
j. menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran;

Setiap tindakan aparat penyelenggara negara harus berpijak pada kewenangan yang ditentukan oleh peraturan perundangan sebagaimana tersirat dalam ketentuan pasal 53 ayat (2) UU 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa keputusan bertentangan dengan peraturan perundang-undang, karena
- bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundangan yang bersifat
prosedural/formal; atau
- bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang bersifat
materiil/substansial; atau
- dikeluarkan oleh Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang

add.2 Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Negara mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak dapat terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan (pasal 2 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia).
Aparat penyelenggara negara merupakan kepanjangan tangan negara, tindakan hukum publiknya merupakan representasi dari kebijakan negara. Negara mengakui, menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi oleh karena itu setiap tindakan aparat berorientasi juga kepada perlindungan hak asasi manusia.
Berkait dengan kesejahteraan masyarakat yang merupakan kewajiban negara (ditangkat daerah menjadi kewajiban pemerintah daerah) untuk mengupayakannya, pasal 36 UU 39/1999 menentukan :
(1) setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan
cara yang tidak melanggar hukum;
(2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara
melawan hukum;
(3) Hak milik mempunyai fungsi sosial.
Berdasarkan ketentuan tersebut dikaitkan dengan ketentuan kepemilikan tanah maka berwenang untuk menentukan memberikan atau mencabut hak atas tanah pada seseorang atau sekelompok orang. Pemberian dan/atau pencabutan hak harus selalu dalam kerangka negara hukum yang
- memberikan pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia;
- dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik proses, persyaratan, prosedur maupun badan/pejabat yang melakukan pemberian atau pencabutan hak atas tanah;
- disertai ganti kerugian yang wajar dan segera, yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap tindakan penguasa yang menimbulkan kerugian kepada warga negara wajib disertai ganti kerugian, baik tindakan tersebut menurut hukum maupun melanggar hukum.
Mengacu pada pasal tersbut harus disadari juga oleh warga negara, bahwa segala hak yang ada pada dirinya mengandung fungsi sosial. Maka apabila terdapat kepentingan umum yang memerlukan wajib bagi warga untuk mengutamakan kepentingan umum tersebut. Persoalannya, “kepentingan umum” harus mempunyai kriteria yang jelas.

Add. 3 Pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Teori pembagian kekuasaan lahir untuk merespon kekuasaan yang menumpuk pada satu tangan. Oleh karena itu dalam negara demokrasi modern dikenal berbagai badan penyelenggara negara yang masing-masing mempunyai kekuasaan yang ditentukan dengan tegas dalam ketentuan pembentukannya. Antar badan atau lembaga penyelenggaran negara dapat saling mengawasi atau bekerja sama, tetapi masing-masing bertanggung jawab terhadap tugas kewajiban utamanya. Tindakannya dalam pemerintahan adalah sah apabila berdasarkan kewenangan yang sah.

Add. 4 Pengawasan oleh badan peradilan
Salah satu ciri utama negara hukum adalah adanya lembaga peradilan yang memberikan perlindungan hukum kepada warganegaranya terhadap tindakan penguasa yang sewenang-wenang atau dapat merugikan warga negaranya. Oleh karena itu sebagai aparat penyelenggara negara dalam sebuah negara hukum, setiap badan/pejabat tata usaha negara harus siap digugat dimuka pengadilan apabila ternyata warga negara merasa keputusan badan/pejabat tata usaha negara ternyata melanggar haknya atau merugikan dirinya. Sedangkan bagi DPRD, harus siap apabila produknya diajukan kepada Mahkamah Konstitusi apabila ternyata dalam menjalankan wewenang dan tugasnya tidak mencerminkan penyelenggara negara dalam sebuah negara hukum.
Sedangkan bagi sengketa yang tidak melibatkan aparat penyelenggara negara penyelesaiannya merupakan kewenangan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama pada peradilan tingkat pertama, atau dalam hal penyeleseaian sengketa di luar peradilan merupakan penyelesaian sengketa merupakan wewenang Kepala Desa sebagai hakim perdamaian (periksa pasal 101 UU 22/1999)

D. Penutup
Negara Hukum bukan slogan, tetapi cita-cita pendiri negara. Oleh karena itu kewajiban generasi penerus untuk mewujudkannya menjadi negara hukum yang materiil. Jika tidak mulai sekarang, kapan lagi upaya mewujudkan negara hukum akan kita mulai?

DAFTAR BACAAN
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2001
Philipus Mandiri Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum, Yuridika Surabaya, 1993
Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


*Disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan oleh Komisi A DPRD Kabupaten
Jember, 9 Maret 2004

Sabtu, 28 Agustus 2010

Delegasi wewenang Dalam Pelayanan Kesehatan*

Sri Praptianingsih**
A. Pendahuluan
Dalam kepustakaan yang berkait dengan pelayanan kesehatan, khusus-nya pelayanan keperawatan dan dalam praktek pelayanan kesehatan, khusus-nya pada komunitas keperawatan dikenal istilah delegasi wewenang dalam memberikan pelayanan kesehatan. Delegasi wewenang yang dipahami dalam konteks tersebut adalah bahwa pelimpahan dari dokter kepada perawat dalam upaya pelayanan kesehatan, dimana perawat mengerjakan tugas dokter untuk melakukan tindakan medis tertentu, yang apabila tugas tersebut dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki dokter, apa pun hasilnya, perawat tidak memikul beban tanggung jawab dan tanggung gugat atas kerugian pasien.
‘Delegasi wewenang’ merupakan istilah hukum, yang penerapannya menimbulkan akibat hukum, yaitu akibat yang diatur oleh hukum. Pelayanan kesehatan merupakan perbuatan hukum, yaitu perbuatan oleh dua pihak (pemberi dan penerima jasa layanan kesehatan) yang menimbulkan akibat hukum. Oleh karenanya, istilah yang dipergunakan di dalamnya semestinya sesuai dengan pemahaman yang dikembangkan dalam ilmu hukum.

B. Permasalahan
Kajian ini akan mengangkat isu ‘tugas medis berdasarkan delegasi wewenang dari dokter kepada perawat’ dalam pelayanan kesehatan.

C. Pembahasan : Wewenang : sumber dan konsekuensi hukumnya
Wewenang, dalam konsep hukum publik minimal terdiri dari minimal 3 (tiga) komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum. Yang dimaksud pengaruh adalah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum. Dasar hukum, sebagai bagian dari konsep wewenang, adalah dalam arti wewenang (dan penggunaannya) selalu harus dapat ditunjukkan dasar hukumnya. Konformitas hukum berarti adanya standar wewenang, yang berupa standar umum (untuk semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu)
Pengertian dan batasan wewenang
Wewenang mempunyai arti yang parallel dengan hak. Wewenang meru-pakan konsep hukum public, yang berkait dengan kekuasaan, sedangkan hak merupakan konsep dalam hukum privat. Keduanya mengandung makna ada kebebasan untuk melakukan sesuatu menurut hukum/secara sah. Hak mengan-dung makna, bahwa seseorang dapat mengajukan klaim atas pemenuhannya, sedangkan wewenang mengandung makna bahwa seseorang karena keduduk-annya dapat/boleh melakukan sesuatu secara sah. ‘Dapat’ artinya dia boleh melakukan atau tidak melakukan menurut kehendak dan kepentingannya. Seseorang yang mempunyai hak/wewenang mempunyai kebebasan untuk menggunakan atau tidak wewenang/hak yang dimilikinya. (ini sama sekali berbeda dengan ‘wajib’ yang mengandung makna keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu)
Cara memperoleh wewenang
Wewenang dalam bidang pemerintahan diperoleh dengan 3 (tiga) cara, yaitu: atribusi, delegasi dan mandat
Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat un-dang-undang kepada organ pemerintahan . Tenaga kesehatan, baik tenaga medis maupun keperawatan, merupakan bagian dari organ pemerintahan yang menjalankan fungsi pemerintahan dalam bidang layanan kesehatan. Oleh karena itu kepada tenaga kesehatan sebagai bagian dari pengemban fungsi pemerintahan diberi wewenang agar fungsinya, terutama di bidang kesehatan/ pelayanan kesehatan dapat berjalan. Wewenang dokter (dan tenaga kepera-watan) ditentukan dalam UU praktek kedokteran dan UU kesehatan .
Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Melalui atribusi dapat dilakukan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ-organ tertentu. Organ yang berwenang membentuk wewenang adalah organ yang ditentukan oleh peraturan perundangan sebagai badan yang mempunyai wewenang. Pembentukan dan distribusi wewenang, utamanya ditetapkan dalam UUD. Pembentukan wewenang pemerintahan didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
Contoh:
Ketentuan atribusi dalam :
1. pasal 8 UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran,
………Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai wewenang:
a. menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi.
2. Pasal 50 huruf b UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, bahwa dokter atau dokter gigi berhak memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur opersaional. (berdasarkan ketentuan ini seorang tenaga medis boleh melakukan perbuatan yang apabila dilakukan oleh selain dokter merupakan pelanggaran hukum, misal operasi yang secara nyata sebenarnya menimbulkan luka pada tubuh seseorang, apabila dilakukan bukan oleh dokter merupakan tindakan penganiayaan)
Delegasi
Delegasi merupakan pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintah kepada organ pemerintahan lainnya. Dalam konteks pela-yanan kesehatan wewenang melakukan tugas medis, dari dokter dilimpahkan kepada perawat. Pemberi wewenang disebut delegans. Penerima wewenang disebut delegataris.
Dalam ilmu Hukum, ditentukan syarat-syarat delegasi adalah:
a. harus definitive, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri yang telah dilimpahkan itu
b. harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya mungkin kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundangan,
c. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan kepegawaian tidak diperlukan adanya delegasi.
d. Kewajiban memberikan penjelasan/keterangan, artinya delegans berwe-nang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
e. Peraturan kebijaksanaan (beleidsregel), artinya delegans memberi instruksi/petunjuk tentang penggunaan wewenang.

Mandat
Mandat merupakan pelimpahan wewenang kepada bawahan. Mandat terjadi ketika pemilik wewenang, baik berdasar atribusi maupun delegasi, mengizinkan wewenangnya dijalankan oleh orang/petugas lain. Hal ini tidak perlu diatur dengan ketentuan peraturan perundangan yang melandasinya, karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan intern-hierarkis.
Penggunaan wewenang tunduk kepada norma hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Berkait dengan pemberian layanan medis dalam upaya pelayanan kesehatan, dengan mengacu pada standar umum wewenang (pemerintahan) yang menyangkut penggunaan wewenang pemerintahan, setidaknya :
1. penggunaan wewenang berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku
2. penggunaan wewenang tidak boleh merugikan pihak/orang lain (pasal 1365 BW: “Tiap perbuatan melanggar hukum membawa ke-rugian kepada seorang lain mewajibkan orang tersebut karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal ini menentukan kewajiban ganti rugi atas perbuatan melanggar hukum.
Pelaksanaan tugas medis oleh Perawat dalam Pelayanan Kesehatan
Dalam upaya pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh perawat, baik di rumah sakit, di sarana pelayanan kesehatan lain seperti PKM atau PKM Pembantu, maupun praktek pelayanan kesehatan di rumah, lazim dijumpai dilakukannya tindakan medis oleh perawat. Secara normative, tindakan medis merupakan wewenang dokter. Secara empiris, perawat sebagai tenaga keperawatan juga melakukannya. Pada tiga model pelayanan yang berbeda, RS, PKM dan Praktek Mandiri, tindakan medis oleh perawat juga mengandung aspek hukum yang berbeda.
Mengacu pada paparan di atas (teori wewenang dalam ilmu hukum), tindakan medis oleh perawat pada pelayanan kesehatan di rumah sakit bukanlah termasuk dalam wewenang yang diperoleh karena delegasi, (sehingga disebut delegasi wewenang), karena pertama, apabila perawat melakukan tindakan medis persis seperti yang dikehendaki dokter, maka segala atas segala akibat merugikan yang kemudian muncul perawat dapat tidak memikul beban tanggung jawab dan tanggung gugat, (karena) kedua perawat, dewasa ini sedang memperjuangkan posisinya sebagai tenaga profesi. Apabila diterima bahwa perawat adalah tenaga profesi dengan tingkat pendidikan dan (oleh karenanya) wewenang yang setara (sesuai bidang keilmuannya) dengan tenaga medis. Ketiga, tindakan medis yang dilakukan oleh perawat bersifat incidental, artinya hanya dilakukan manakala dokter menghendaki. Apabila tidak, dokter akan melakukannya sendiri. Keempat, belum ditemukan ketentuan peraturan perundangan produk legislative yang memberikan wewenang kepada perawat untuk melakukan tindakan medis tertentu, kecuali dalam keadaan darurat.
Bagi perawat yang memberikan layanan kesehatan pada PKM /PKM Pembantu, banyak melakukan tindakan medis tertentu. Untuk tindakan demikian pun tidak mudah memasukkan dalam kategori delegasi atau mandat, karena perawat yang berdinas di PKM atau PKM Pembantu, disamping menjalankan ‘profesi’ juga merupakan ‘kepanjangan tangan’ pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahan terutama dalam hal penyediaan fasilitas dan pelayanan kesehatan yang layak/memadai. Tindakan medis oleh perawat belum diatur oleh undang-undang/per-da, pun tidak menunggu ‘perintah’ dokter untuk dilakukannya pelayanan medis di PKM. Sepanjang berdasarkan pertimbangan (pribadi, kelaziman dan kompetensinya) di pandang mampu, pelayanan medis oleh perawat di PKM/PKM Pembantu merupakan hal yang jamak dilakukan dan diterima oleh masyarakat.
Bagi perawat praktek mandiri, tindakan medis yang dilakukan, secara normative, (UU 29/2004 dan UU 23/1992) bukan merupakan wewenangnya. Persoalannya, masyarakat pengguna jasa layanan kese-hatan menerimanya, dan penegakan peraturan secara kaku, justru dapat menjadi boomerang bagi pemerintah, khususnya menyangkut pemenuhan kewajiban memenuhi sarana pelayanan kesehatan yang layak bagi masyarakat.
D. Penutup
Perlu banyak dikaji, penggunaan istilah hukum dalam pelayanan kesehatan, sehingga tidak justru merugikan tenaga kesehatan dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya.

*Disampaikan pada Pertemuan PPNI , Tgl 17 Maret 2007 di RS Paru Jember
** Dosen pd FH UMJ

Hukum Bagi Pemberdayaan Masyarakat*

I. Pendahuluan
Manusia hidup bermasyarakat merupakan sunatullah. Keniscayaan. Dalam hidup bersama manusia menghasilkan kebudayaan, baik fisik maupun non fisik baik sederhana maupun modern. Betapapun sederhana kehidupan masyarakat, betatpapun sederhana budaya yang dihasilkannya, dalam kehidupan bersama tentulah terdapat kehidupan tertib dan teratur, baik dalam arti tegas maupun samar-samar . Hal itu adalah akibat adanya hukum, yang eksistensinya dalam kehidupan bermasyarakat adalah sebuah niscaya.
II. Arti dan Fungsi Hukum.
Kehidupan kita bermasyarakat tunduk kepada kaedah kaedah kepercayaan/aga-ma, kesusilaan, sopan santun dan hukum. Kaedah-kaedah tersebut bertujuan mencari kedamaian dalam hidup bersama. Berbeda dari kaedah lainnya, hukum dengan tegas mengatur perbuatan manusia yang bersifat lahiriyah, mempunyai sifat untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan warga masyarakat.
Hukum, berisi kaedah-kaedah yang berkait dengan kebutuhan pokok dalam hidaup bermasyarakat. Tujuan utama hukum adalah menciptakan ketertiban dan keadilan. Fungsi hukum dalam masyarakat adalah:
a. sebagai pedoman perilaku
b. alat untuk menjaga keutuhan masyarakat, hukum dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam masyarakat,
c. system pengendali social, dalam hal terjadi perubahan hukum dapat menjamin kelangsungan hidup bermasyarakat
Sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, hukum mempunyai hubungan saling mempengaruhi dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.
III. Hukum sebagai sarana pemberdayaan ekonomi masyarakat
Dikenal dua aspek kerja hukum dalam hubungan dengan perubahan social, yaitu hukum sebagai sarana kontrol social dan hukum sebagai sarana rekayasa social. Penerapan konsep hukum yang demikian, nampak dalam kebijakan-kebijakan pemerintah dalam berbagai peraturan perundangan yang tujuan akhirnya adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat antara lain upaya dari sector ekonomi. Dalam hal ini lahir banyak peraturan perundangan, antara lain undang-undang Koperasi, Undang-undang Perbankan, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Rahasia Dagang. Bermacam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya bertujuan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam kehidupan ekonomi nasional umumnya, dan khususnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai pelaku usaha di Indonesia.
Dengan mengacu kepada ketentuan yang terdapat dalam berbagai peraturan perundangan yang berlaku, yang notabene adalah hukum, masyarakat dapat mengatur dirinya sedemikian rupa untuk pemberdayaan diri dan masyarakatnya. Salah satunya adalah membumikan konsep koperasi dalam kehidupan bermasyarakat. Keberadaan dan keberlanjutan pengelolaan koperasi secara sungguh-sungguh akan meningkatkan akses masyarakat terhadap modal dari bank yang selama ini praktis tidak terjangkau, demikian pula akses terhadap pembinaan usaha maupun pembinaan sumber daya manusia dari pihak-pihak berwenang.
Di samping itu perlu di sadari, bahwa sejak diberlakukannya UU 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, bagi masyarakat berlaku pula Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bagi masyarakat, Peraturan Daerah mempunyai kekuatan mengikat yang sama dengan undang-undang, dalam arti, dalam kehidupan bermasyarakat, kita di samping tunduk kepada ketentuan Pemerintah Pusat (Undang-Undang) juga tunduk kepada ketentuan Pemerintah Kabupaten (Peraturan Daerah) dalam hal ini Peraturan Daerah Kabupaten Jember.
IV. Penutup
Menerapkan berbagai undang-undang dan kemudian menuai hasil dari tujuan penerapan undang-undang, terlebih di bidang ekonomi, bukanlah kerja yang ringan dan sesaat. Untuk itu diperlukan komitmen, kesungguhan dan keberlanjutan. Pun apabila kita tahu tidak akan dapat menjaga sendiri keberlanjutannya, minimal, kita sudah akan mengawali sebuah upaya perubahan ke arah pemberdayaan masyarakat. Tidak ada kerja yang ikhlas dan sungguh-sungguh yang akan percuma.

Disampaikan pada Pembekalan KKN th 2000

Penerapan Prinsip Demokrasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan*

Sri Praptianingsih**
A. Pengantar
Sejak berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia menyatakan diri sebagai negara hukum yang menganut prinsip demokrasi, yang kemudian banyak disebut Demokrasi Pancasila. Negara Hukum hukum berkait dengan jaminan perlindungan hukum rakyat dan negara terhadap kekuasaan pemerintahan.
Istilah demokrasi, demokratis, menjadi amat marak dalam era reformasi pasca jatuhnya rezim orde baru. Dengan mendasarkan pada konsep bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, maka banyak aktifis dan/atau kelompok aktifis yang melakukan kegiatan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, meski kadang cara dan akibat dari kegiatan yang dilakukan justru malah tidak disepakati oleh rakyat atau bahkan merugikan rakyat pada umumnya. Tindakan yang kadang kontra produktif. Untuk itu perlu diketahui cara yang “makruf” sehingga apa yang dilakukan dapat mencapai tujuan secara berdaya guna dan berhasil guna.

B. Hak Warga Negara untuk Mengemukakan Pendapat
Amandemen UUD 1945 mempertahankan ketentuan pasal 28 UUD 1945 yang menentukan bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan ini lahir dan berlakulah antara lain UU Partai Politik, UU Pemilu, Undang-undang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Mengacu pada ketiga undang-undang telah diatur cara-cara yang dapat dilakukan oleh warga negara untuk menyampaikan aspirasinya, yaitu (1) apabila memenuhi syarat dengan mendirikan partai politik atau menjadi anggota partai politik yang sesuai dengan aspirasinya, (2) memilih wakil, baik orang maupun partai tertentu yang dianggap dapat memperjuangkan kepentingan rakyat/kelompoknya, atau (3) menyampaikan pendapatnya di muka umum baik dengan cara unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum maupun mimbar bebas. Cara-cara tersebut dijamin oleh undang-undang. Persoalannya, seberapa efektifkah cara tersebut dapat mencapai hasil yang diharapkan oleh generasi muda yang “berada di luar wilayah kekuasaan”?

C. Fungsi Badan Perwakilan Rakyat dalam Penyelenggaraan Negara
Tujuan utama pembentukan lembaga perwakilan rakyat adalah untuk membawakan keinginan, kemauan rakyat. Badan ini mempunyai peranan penting persoalan kenegaraan. Dengan peran yang demikian, fungsi badan perwakilan rakyat amat penting. Hal ini harus disadari anggota badan perwakilan rakyat selaku wakil rakyat, karena setiap keputusan akan membawa akibat bagi rakyatnya, baik langsung maupun tidak langsung, menguntungkan atau merugikan.

D. Demokrasi Perwakilan dan systemnya
Semakin kompleknya permasalahan masyarakat, besarnya jumlah penduduk dan luasnya wilayah, dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dewasa ini demokrasi langsung (selain pemilihan Kepala Desa, Bupati, Gubernur dan Presiden) hanya mungkin dilaksanakan di tingkat RT. Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagian besar terutama diputuskan melalui Parlemen.
Berdasarkan cara penunjukkannya, wakil rakyat yang duduk dalam parlemen dapat ditunjuk melalui pemilihan (umum) maupun melalui pengangkatan, bagi orang (pemilih maupun yang dipilih) yang memenuhi syarat tertentu. Apabila melalui pemilihan, pemilihan dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Untuk menyelenggarakan pemilihan dapat dipergunakan system distrik (daerah pemilihan), tiap daerah pemilihan terdiri satu atau lebih dari seorang utusan. Untuk dapat dipilih, pencalonan dapat dilakukan secara daftar atau perorangan; sedangkan hasil perolehan suara yang menentukan pembagian wakil kepada golongan dapat ditentukan secara berimbang atau secara borongan.

E. Wewenang Badan Perwakilan Rakyat/Parlemen
Di Indonesia dan negara-negara demokrasi pada umumnya, Badan Perwakilan Rakyat/parlemen merupakan legislator yang membuat dan memberlakukan undang-undang. Undang-undang ini berlaku sebagai hukum yang mengikat bagi pemerintah dan rakyat.
Berdasarkan Amandemen UUD 1945 DPR bersama Presiden berwenang membuat undang-undang. Rencana undang-undang yang sudah disetujui DPR bersama, tetapi belum mendapat pengesahan Presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak rancangan disetujui, RUU berlaku sah sebagai undang-undang. Kewenangan membuat hukum yang mengikat demikian, juga dimiliki oleh DPRD Kabupaten dan Propinsi, masing-masing dengan Bupati dan Gubernur. Secara tekstual, setiap produk Parlemen yang disetujui Eksekutif (Presiden, Gubernur atau Bupati) merupakan hukum yang sah dan berlaku mengikat, karena dibuat oleh yang berwenang dan berdasarkan prosedur yang ditentukan juga oleh undang-undang.
Undang-undang merupakan salah datu bentuk hukum. Tetapi Undang-Undang (Wet, Act) tidak sama dengan hukum (Recht, Law). Undang-undang berkenaan dengan wewenang dan prosedur. Hukum berkenaan dengan wewenang dan prosedur dan juga moral/nilai dan keadilan. Undang-undang dan segenap produk lembaga berwenang dapat berlaku dan efektif apabila memenuhi tiga syarat keberlakuan, yaitu keberlakuan filosofis, keberlakuan normative dan keberlakuan empiris/sosiologis. Keberlakuan filosofis, artinya undang-undang berlaku sebagai hukum yang mengikat apabila isinya sesuai dengan nilai-nilai yang dihormati dan diakui kebenarannya oleh masyarakat, moral dan keadilan; keberlakuan normative artinya undang-undang sesuai dengan/berdasar pada peraturan perundangan lain yang lebih tinggi baik isi maupun prosedur pembuatannya; sedangkan keberlakuan empiris/sosiologis, artinya undang-undang tersebut dapat diterima oleh masyarakat untuk berlaku efektif.

E. Penutup
Badan Perwakilan/Parlemen yang memperjuangkan kepentingan rakyat merupakan saranan untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis. Badan Perwakilan yang mengabaikan kepentingan rakyat mewujudkan tirani minoritas yang “dilegalkan”.


*Makalah disampaikan dalam Pelatihan dan Advokasi untuk Pembentukan Parlemen Remaja, yang diselenggarakan oleh IRM Daerah Jember, tgl 10-11 Desember 2005 di SMP Muhammadiyah Jember, Jember.
**Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember
Fak. Hukum UMJ, Jalan Karimata 49 Jember, Phone 336 728.

Hukum : Pedoman Bermasyarakat dan Berbangsa*

Sri Praptianingsih

Assalamualaikum War. Wab.
Pengantar
Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari hukum. sepanjang sejarah peradaban manusia, hukum berperan menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa dilindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga eksistensi manusia dengan segala aspek kehidupannya. Pembunuhan Habil oleh kakaknya Qabil, kemudian peristiwa melarikan diri Qabil karena penyesalan dan rasa bersalahnya, menghindarkan diri dari hukum menunjukkan adanya mekanisme hukum.
Ide negara hukum dari Aristoteles menyatakan bahwa yang memerintah dalam negara bukanlah manusia tetapi pikiran yang adil sudah muncul dan berkembang sejak 300 tahun SM. Keadilan memerintah kehidupan negara. Agar manusia bersikap adil itu dapat terjelma dalam kehidupan bernegara, manusia harus dididik menjadi warga yang baik dan bersusila. Benih ide negara hukum yang sudah ditaburkan sejak 2000 tahun yang lalu ternyata tidak dengan mudah tumbuh subur, berkembang untuk kemudian berbuah dengan kesejahteraan umat manusia pada umumnya, dan khususnya bagi masyarakat bangsa Indonesia.
Hukum sebagai pedoman perilaku manusia.
Hukum yang kita pahami pada umumnya adalah seperangkat aturan yang berisi norma/kaidah. Norma/kaidah merupakan pedoman yang harus dipatuhi. Dalam masyarakat, terdapat empat macam kaidah/norma, yaitu kaidah agama, kaidah susila, kaidah sopan santun dan kaidah hukum.
Kaidah agama berasal dari tuhan, kaidah susila bersumber pada hati nurani, kaidah sopan santun berasal dari tata krama pergaulan sedangkan kaidah hukum dibuat oleh penguasa yang sah/berwenang. Keberlakuan kaidah agama, susila dan sopan santun pada masyarakat tergantung pada masyarakat itu sendiri baik pelaku maupun masyarakat pada umumnya, karena isinya merupakan norma yang sudah diterima masyarakat yang bersangkutan. Terhadap ketiga kaidah tersebut, penguasa tidak mempunyai kewenangan untuk memaksakan penaatannya. Sehingga apabila ada pelanggaran terhadap kaidah tersebut ‘pemerintah’ hanya bisa sekedar menghimbau.
Berbeda dari ketiganya, kaidah hukum mempunyai sifat memaksa dan memberikan wewenang kepada penguasa untuk memaksakan keberlakuannya kepada masyarakat sehingga apabila terbukti ada warga masyarakat yang melanggar kaidah hukum maka kepada yang bersangkutan, penguasa melalui aparatnya dapat menjatuhkan sanksi.
Hukum dibuat untuk kesejahteraan manusia. hukum harus dapat menawarkan perlindungan terhadap tirani dan sekaligus terhadap anarki. Hukum harus dapat melestarikan kebebasan sekaligus ketertiban dan gangguan yang arbitrer baik oleh perseorangan, golongan masyarakat maupun pemerintah. Untuk itu hukum, agar dapat disebut sebagai hukum, setidaknya memenuhi unsur ketertiban, keadilan dan kepastian.
- dengan adanya ketertiban maka manusia sebagai makhluk sosial dapat memenuhi kebutuhannya;
- keadilan mengandung unsur penghargaan, penilaian dan pertimbangan. keadilan menuntut perlakuan yang sama terhadap orang dalam keadaan yang sama. Keadilan bersifat kompromistis, tidak mutlak. Keadilan mutlak hanya milik Allah swt.
- Kepastian hukum diperlukan bagi manusia yang hidup bermasyarakat. Berfungsinya hukum adalah untuk menciptakan ketertiban, keadilan dan kepastian dalam masyarakat.
Keberlakuan Hukum
Hukum harus memenuhi tiga keberlakuan, yaitu
- keberlakuan filosofis, artinya hukum harus berisi nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang dianut oleh masyarakat dimana hukum itu akan diberlakukan.
- keberlakuan normatif/yuridis, artinya hukum yang dibuat harus sesuai dengan peraturan perundangan/hukum yang kedudukannya lebih tinggi.
- keberlakuan empiris/sosiologis, artinya hukum yang akan diberlakukan harus dapat diterima oleh masyarakat dimana hukum itu akan diberlakukan.
Pendapat Friedman, bahwa sistem hukum terdiri dari struktur, substansi dan budaya. Struktur berupa wujud/bentuk peraturan perundangan, seperti UU, Perpu, PP, Perda; substansi merupakan isi peraturan perundangan yang berupa norma/kaedah hukum, baik norma perilaku yang berupa perintah, larangan, kebolehan; maupun norma kewenangan dan norma perubahan; sedangkan budaya/kultur mencakup nilai, ide, kepercayaan, perilaku, harapan dan pandangan hidup yang berlaku dalam masyarakat.
Untuk direnungkan
Kondisi empiris, bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen sudah kita sadari bersama. Persoalannya adalah bagaimana memandang keberagaman itu sebagai sesuatu yang positif dan menguntungkan bagi kita semua. Keberagaman merupakan sunatullah bagi kita, sebagaimana Allah swt berfirman bahwa Allah menciptakan ummat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku... . Keberagaman bangsa Indonesia harus dipandang sebagai potensi bagi perwujudan kesejahteraan. Mewujudkan kesejahteraan, antara lain menggunakan instrumen HUKUM.
Secara normatif, ketentuan menempatkan hukum dalam kedudukan tertinggi di negeri ini sudah disepakati sejak konstitusi pertama, UUD 1945 yang dalam penjelasannya menentukan adanya supremasi hukum, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, bukan supremasi politik yang identik dengan kekuasaan (negara kekuasaan/machtsstaat). Yang terjadi selama masa orde baru adalah supremasi ekonomi, sehingga seluruh potensi yang ada, seluruh kebijakan yang ditetapkan harus mendukung dan menyukseskan kebijakan di sektor ekonomi. Akibatnya hukum menjadi alat untuk pembangunan ekonomi yang kadangkala mengabaikan kondisi manusia itu sendiri, apalagi konsep-konsep yang harus dipatuhi dalam penyusunan dan pelaksanaan hukum sebagaimana tersebut di atas. Di samping itu, hukum senantiasa sarat dengan kepentingan politik karena dibuat melalui proses politik oleh fungsionaris partai politik.
Dengan kondisi terdeskripsi di atas, kepada para mahasiswa Fak. Hukum Universitas Muhammadiyah Jember selamat berjuang, untuk menjadi sarjana hukum yang mumpuni dan Islami.
Wassalam. Good Luck!

*disampaikan pada PPSP FH UMJ th 2005

Bismillah

Bismillah

Allah SWT. Memulai firman di dalam kitab-Nya dengan menyebut nama-Nya melalui kata-kata Bismillah yang memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar membuka seluruh pekerjaan dengan membaca Bismillah.

Di dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa:..

“ setiap pekerjaan baik yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah, maka pekerjaan itu terpotong( tidak sempurna)”

Jadi, makna Bismillah itu ialah ‘saya memulai pekerjaan dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyanyang (Bismillahir-Rahmanir-Rahiim). Saya mengerjakan pekerjaan ini karena perintah Allah dan untuk Allah- bukan untuk diriku atau kepentingan nafsuku”

Bisa juga diartikan bahwa kekuatan yang ada pada diriku untuk melakukan perbuatan itu adalah dari allah. Jika tidak ada Allah, maka tak ada kekuatan pada diriku, bahkan saya pun takkan bisa berbuat apa pun. Saya tidak akan melakukan perbuatan atas nama diriku. Tetapi saya akan memulainya dengan menyebut nama Allah. Sebab, saya senantiasa memohon kekuatan dan pertolongan hanya kepada Allah. Jika tidak ada pertolongan dan kekuatan Allah, maka mustahil aku bisa melakukan perbuatan ini.
Dengan demikian makna bacaan Basmalah yang ada pada awal Al Qur’an, mencakup seluruh isi Al Qur’an berupa hukum, syariat, akhlak, pendidikan dan nasihat adalah demi Allah dan dari Allah, serta siapa pun tidak boleh ikut di dalamnya.
Jadi, seolah-olah Allah berfirman kepada Nabi Muhammad saw. “Hai Muhammad! Bacalah surat dengan menyebut Bismillahir-Rahmanir-Rahim. Dengan kata lain, Bacalah surat ini atas perintah Allah – bukan kemauan sendiri. Sebab, Allah menurunkan Al Qur’an kepadamu untuk memberi petunjuk kepada semua orang, dengan Al Qur’an - yang di dalamnya mengandung kebaikan yang akan mengantarkan mereka kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Nabi saw membaca Bismillah untuk memberi contoh kepada mereka bahwa bacaan tersebut adalah demi nama Allah, bukan nama dirinya. Atau, Al Qur’an berasal dari Allah, bukan dari Muhammad. Tugas Muhammad tidak lain hanyalah menyampaikan Al Qur’an yang datang dari Allah.



Dikutip dari : Terjemah Tafsir Al Maragi hal 34 dan 35