Kamis, 03 September 2015

Bab 10 PHI Asas Hk Adat

BAB X
ASAS HUKUM ADAT
10.1    Mengenal Hukum Adat
Kehidupan “adat” di Indonesia dalam era global semakin banyak yang ditinggalkan oleh generasi penerusnya. Ada memang sebagian kecil yang mengupayakan kelestarian adat istiadat, akan tetapi yang demikian itu relatif lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang cenderung mengikuti kehidupan modern. Meski sebenarnya apabila memperhatikan kehidupan adat dan bahkan melestarikannya, terutama yang relevan dengan tuntutan kehidupan modern, bukan tidak mungkin hal tersebut justru membawa kemakmuran bagi masyarakat pelestari adat yang bersangkutan. Kehidupan masyarakat Bali dan masyarakat Banten pedalaman yang melestarikan “ajaran adat”nya dalam perilaku sehari-hari dalam mengelola lingkungan hidupnya, menjadi contoh nyata, bahwa nilai-nilai dan ajaran yang terkandung dalam adat-istiadat pada masyarakat tidak selalu usang dalam mengikuti perkembangan masyarakat.
Adat merupakan pencerminan kepribadian masyarakat. Indonesia dengan beragam suku bangsa dan daerah memiliki beragam adat-istiadat, yang kemudian disatukan dengan Bhinneka Tunggal Ikka. Dengan semboyan demikian, mestinya keberagaman tersebut senantiasa dikembangkan, dijaga dinamisitasnya mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat tanpa kehilangan jiwa kebangsaindonesiaan. Adat tiap kelompok masyarakat daerah tertentu mestinya menjadi cirri keindonesiaan, kebanggaan setiap anak bangsa. Kesadaran terhadap keberagaman bangsa ini hendaklah yang ditumbuhkembang kan untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Indonesia memang bangsa beragam yang harus mampu bersatu. Adat
Hukum adat amat berbeda dengan hukum yang terdapat dalam peraturan perun-dangan, dalam kodifikasi. Hukum adat bersumber pada adat-istiadat dahulu dan sekarang, yang hidup, berkembang dan yang berirama. Terdapat peraturan-peraturan yang bersank-si berupa kaidah yang apabila dilanggar menimbulkan akibat dan pelanggarnya dapat dituntut dan kemudian dihukum.
80
Seperangkat adat yang mempunyai akibat hukum, meski kebanyakan tidak dibukukan (ditulis : pen.), tidak dikodifikasikan, tetapi bersifat paksaan dan mempunyai sanksi inilah yang disebut hukum adat. Sebagian ahli menyamakan hukum adat dengan hukum kebiasaan.
Istilah hukum adat berasal dari Huk`m (bahasa Arab) yang berarti suruhan, ketentuan, dan Adah (Adat) yang berarti kebiasaan, yaitu perilaku masyarakat yang selalu terjadi. Hukum adat disamakan dengan hukum kebiasaan.
Di Belanda, hukum kebiasaan sama artinya dengan hukum kebiasaan, disebut gewoonte recht yaitu adat kebiasaan yang bersifat hukum yang berbeda dari hukum perundangan (wettenrecht).
Dalam sejarah perundangan Indonesia, istilah adat berbeda dari kebiasaan, sehingga hukum adat tidak sama dengan hukum kebiasaan. Kebiasaan yang diakui/dibenarkan dalam perundangan merupakan hukum kebiasaan, sedangkan hukum adat adalah hukum di luar perundangan. Hukum adat meliputi adat yang mempunyai sanksi, sedangkan adat yang tidak mengandung sanksi merupakan kebiasaan yang normatif yaitu kebiasaan yang berwujud aturan tingkah laku yang berlaku di dalam masyarakat.

10.2          Pengertian Hukum Adat
Van Vollenhoven, orang pertama yang menjadikan hukum adat sebagai ilmu pengetahuan, menyatakan antara lain sebagai berikut:
a.             perbedaan ilmu hukum adat dan ilmu hukum barat adalah bahwa dalam ilmu hukum barat terdapat banyak lembaga hukum (rechtstellingen) dan kaidah hukum (rechtsregels) yang tidak berdasarkan atau tak ada kaian dengan factor religio dalam hukum, asal memberi manfaat dan keuntungan praktis, sedangkan dalam hukum adat banyak lembaga hukum dan kaidah hukum yang berhubungan dengan dunia di luar dan di atas kemampuan manusia.
b.            Hukum adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka disebut hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (maka disebut adat).
c.             Untuk memahami hukum adat orang harus melihat pada kenyataan. Apabila hakim menemukan aturan-aturan adat, perilaku atau perrbuatan yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat penduduk serta perasaan umum yang mengatakan bahwa aturan-aturan itu harus dipertahankan oleh para Kepala adapt dan para petugas hukum yang lain, maka aturan-aturan adat itu bersifat hukum.
d.            Hukum Indonesia harus berjati diri, agar bermanfaat bagi tanah air dan bangsa Indonesia, oleh karenanyanya agar sesuai maka pelajaran hukum Indonesia hendaknya memberikan tempat yang luas di samping adanya pengerrtian hukum, pikiran hukum dan perasaan hukum.
e.             Hukum adat harus dipertahankan apabila kenyataannya masih hidup.
Menurut Ter Haar Bzn, melanjutkan usaha van Vollenhoven (gurunya) membina ilmu hukum adat, berpendapat:
a.             hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai kewibawaan serta mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaan berlakunya serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati.
b.            Sesuatu menjadi hukum karena ada keputusan tentang hukum oleh para petugas hukum masyarakat. Hukum adapt adalah adapt yang diputuskan oleh para petugas hukum adapt. Sedangkan menurut van Vollenhoven hukum adapt adalah adapt yang seharusnya brlaku dalam masyarakat.
Menurut R Soepomo Hukum adat adalah hukum non statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam. Hukum adat terdiri dari hukum-hukum yang berdasarkan putusan hakim berisi asas-asas hukum dalam lingkungan dimana perkara diputuskan. Hukum adapt berakar pada kebudayaan tradisional, merupakan hukum yang hidup karena hukum adapt menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Hukum adapt terus tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Dalam tata hukum baru Indonesia, hukum adapt dipergunakan bagi hukum yang tidak tertulis dalam produk legislative (unstatutory law). Hukum adapt merupakan hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan Negara (parlemen, propinsi), hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judgemade law), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan masyarakat (customary law).
10.3          Corak dan Sistem Hukum Adat
10.3.1 Corak Hukum Adat
            Menurut Prof. Hilman Hadikusuma hokum adapt Indonesia yang normative pada umumnya menunjukkan corak yang tradisional, keagamaan, kebersamaan, konkrit dan visual, terbuka dan sederhana, dapat berubah dan menyesuaikan, tidak dikodifikasi, musyawarah dan mufakat.
  1. Tradisional
Hukum adat bercorak tradisional, artinya bersifat turun temurun, keadaannya tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat generasi berikutnya. Misal hukum kekerabatan pada masyarakat Batak yang menarik garis keturunan lelaki,
  1. Keagamaan/magis, religius,
Sifat magis/religius hukum adat, artinya perilaku dan kaidah hokum yang ada pada masyarakat berkait dengan kepercayaan terhadap yang ghaib maupun ajaran Ketuhanan yang Mahaesa. Masyarakat mempercayai bahwa segala benda di alam semesta serba berjiwa (animisme) dan  bergerak (dinamisme),  sekitar kehidupan manusia terdapat roh baik berupa malaikat, jin maupun mahluk gaib lain, serta keyakinan adanya alam semesta karena diciptakan oleh Yang Mahapencipta.
Sifat religius tersebut tercermin dalam perilaku masyarakat yang senantiasa berdoa apabila melakukan sesuatu, tidak melanggar larangan/pamali dengan harapan kegiatan/kehidupannya berjalan seperti yang direncanakan.
  1. Kebersamaan/komunal
Sifat komunal berarti hukum ada lebih mengutamakan kepentingan bersama, kepentingan pribadi diliputi oleh kepentingan bersama. Satu untuk semua, semua untuk satu. Hubungan hukum antar anggota masyarakat berdasarkan rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong-menolong dan gotong royong.
  1. konkrit dan visual
Corak konkrit, artinya jelas, nyata, berwujud, dan visual artinya dapat dilihat, tampak, terbuka, tidak tersembunyi. Sifat hubungan hukum yang berlaku dalam hukum adat adalah terang dan tunai, tidak samar-samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar orang lain dan nampak terjadi serah terimanya. Missal dalam jual beli, waktu pembayaran harga bersamaan dengan penyerahan barang. Apabila uang belum diterima penjual, disebut sebagai hutang piutang.
  1. terbuka dan sederhana,
Terbuka, artinya dapat menerima masuknya unsur-unsur dari luar, asalkan tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat. Sederhana berarti bersahaja, tidak rumit, tidak banyak administrasi bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti dan dilaksanakan berdasarkan saling kepercayaan. Keterbukaan nampak dari masuknya pengaruh hukum agama, misal dalam pembagian warisan dikenal pembagian `sepikul segendongan`, dimana ahli waris pria dan ahli waris waris wanita bagian warisnya masing-masing dua  dibanding satu, sederhana, nampak dari tidak diharuskannya surat-menyurat dalam transaksi/hubungan hukum dalam lapangan hukum adat.
  1. dapat berubah dan menyesuaikan,
Hukum adat berubah sesuai dengan keadaaan, waktu dan tempat. Hukum adat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan masyarakatnya. Missal hukum adat minangkabau dengan system matrilineal, berangsur bergeser ke system parental.
  1. tidak dikodifikasi,
Pada umumnya hukum  adat tidak dibuat dalam bentuk tertulis sebagaimana hukum positif. Ketertulisan hukum adat sebatas pada pencatatan dengan huruf/aksara dan/atau bahasa daerah setempat di mana hukum tersebut berlaku, itupun dengan cara yang tidak sistematis dan hanya sekedar sebagai pedoman bukan keharusan untuk dilaksanakan, kecuali hukum yang berkait dengan norma agama.
  1. musyawarah dan mufakat.
Hukum adat mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam keluarga, hubungan kekerabatan, kehidupan bertetangga, baik berkait dengan pekerjaan apalagi penyelesaian sengketa di antara anggota keluarga, masyarakat. Penyelesaian sengketa diupayakan semaksimal mungkin menempuh jalan damai dengan penengah orang yang dipercaya oleh pihak yang bersengketa.

Berdasarkan sifatnya, sifat hukum adat dapat dirinci sebagai berikut:
-          hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis (keberadaannya tidak secara sengaja ditulis dalam bentuk tertentu sebagaimana peraturan perrundangan);
-          hukum adat bersifat elastis, artinya hukum adat mudah menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat. Perubahan yang terjadi dalam hukum adat sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat tanpa harus mengganggu system hukum adat secara keseluruhan.
-          hukum adat memiliki dinamika yang besar; artinya perubahan hukum adat dapat terjadi dengan cepat tanpa menimbulkan `konflik` dengan hukum adat yang lama yang sudah ada dan berlaku, bahkan perubahan tersebut  justru untuk menye-laraskan dengan hukum adat dengan perkembangan masyarakat, suatu dinamika yang disertai perwujudan harmoni antara hukum lama dengan hukum baru.
-          hukum adat menyandarkan diri pada asas-asas hukum yang menentukan dalam garis besarnya saja; ketentuan-ketentuan dalam hukum adapt hanya bersifat garis besar saja sebagai wadah bagi sejumlah perbuatan hukum konkrit, sehingga rang-kaian perbuatan hukum konkrit dapat dimasukkan jenisnya dalam wadah tertentu.
10.3.2 Sistem Hukum Adat
Tiap hukum merupakan suatu system, artinya kompleks norma-normanya merupakan suatu kesatuan, kebulatan, sebagai perwujudan dari alam tertentu yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. System hukum adat adalah bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang berlainan dengan alam pikiran yang menguasai orang-orang barat. Maka untuk dapat memahami hukum adat dengan baik orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia. System hukum adat tersebut pada pokoknya adalah:

  1. hukum adat tidak mengenal hak-hak yang zakelijk dan hak-hak yang persoonlijk. Hak zakelijk adalah hak atas benda yang bersifat zakelijk, artinya berlaku terhadap setiap orang. Hak persoonlijk adalah hak atas sesuatu obyek/benda yang hanya berlaku terhadap orang lain tertentu. Perlindungan terhadap hak-hak sepenuhnya diserahkan kepada penguasa adat. Apabila terdapat sengketa dalam masyarakat, penguasa adat wajib mempertimbangkan berat ringannya kepentingan hukum yang saling bertentangan, dalam perkara konkrit yang harus diadili.
  2. Hukum adat tidak mengenal pembedaan hukum public dan hukum privat. Hukum public adalah hukum yang melindungi kepentingan umum dan kewajiban perlindungan ada pada pemerintah. Hukum privat adalah hukum yang melindungi kepentingan perorangan dan perlindungannya diserahkan kepada yang berkepentingan. Dalam hukum adat kepentingan umum dan kepentingan perorangan tidak dapat dipisahkan, melainkan saling berjalinan merupakan satu kesatuan. Penguasa selalu dimungkinkan untuk campur tangan, missal dalam hal jual beli, pewarisan, perkawinan, dsb.
  3. Hukum adat tidak membedakan antara hukuman yang bersifat pidana dan hukuman yang bersifat perdata. Setiap pelanggaran hokum adapt, setiap perbuatan yang melanggar ketentuan adalah merupakan gangguan terhadap keseimbangan dan merupakan dosa dan oleh karenanya perrlu diadakan upaya-upaya untuk mengembalikan keseimbangan tersebut.
  4. Dalam hukum adat segala perbuatan atau keadaan mempunyai sifat-sifat sama, disebut dengan istilah yang sama tanpa memandang apakah perbuatan atau keadaan iru mengenai orang atau benda. Missal istilah gantungan, dipakai untuk menyebut segala keadaan yang belum bersifat tetap, berlaku dalam hal perkawinan, (kawin gantung), pewarisan (warisan yang digantung); istilah panjer, sebagai tanda pengikat, berlaku dalam jual beli dan perkawinan.
  5. Dalam hukum adat setiap perbuatan hokum disyaratkan supaya terang, artinya tanpa suatu tanda yang nyata dapat dianggap tidak mempunyai daya mengikat, dianggap bukan perbuatan hukum.
  6. Dalam hukum adat segala perbuatan hukum yang bersifat mengalihkan hak pada orang lain harus bersifat tunai, artinya perbuatan hukum yang mengalihkan hak yang dilakukan oleh satu pihak harus dengan serentak diikuti oleh pihak lawannya dengan perbuatan yang sama. Hal ini berlaku untuk perkawinan, jual beli tanah dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar