BAB 5
ASAS HUKUM
DAGANG
5.1 Konsep
Hukum Dagang
Menurut Purwosutjipto hukum dagang
merupakan hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. Hukum
perikatan termasuk dalam bidang hukum perdata. Perikatan dilakukan baik oleh
orang sebagai pribadi maupun orang sebagai pengusaha/perusahaan Jika dilakukan
oleh orang sebagai pribadi maka ia tunduk kepada hukum perdata, akan tetapi
jika dilakukan oleh badan hukum, khususnya perusahaan, atau orang sebagai
pengusaha maka perikatan itu tunduk kepada ketentuan hukum dagang. Dengan
perkataan lain hukum perdata merupakan hukum yang mengatur antara orang yang
satu dengan orang yang lain dalam segala usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.
Hukum perdata (BW) dalam hal ini bersifat aanvullen, artinya tidak
memaksa bagi para pihak yang mengadakan perikatan. Jika para pihak sepakat,
ketentuan dalam hukum perdata dapat dipergunakan, tetapi jika para pihak
berpendapat lain maka dapat ditentukan klausula-klausula baru dan lain
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, norma kesusilaan dan norma
kesopanan. Sedangkan Hukum Dagang yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang mengatur segi-segi hukum perdata
yang berkaitan dengan perusahaan. Secara substansial KUHD mengatur perusahaan
(merupakan hukum perusahaan). Hubungan antara BW dengan KUHD diungkap dengan adagium
lex spesialis derogat legi generalis, yang artinya hukum yang khusus
mengesampingkan hukum yang umum. Maksudnya, jika terdapat persoalan yang diatur
baik dalam BW maupun KUHD mengenai hal yang sama tetapi pengaturannya berbeda,
maka yang diberlakukan adalah KUHD sebagai hukum yang lebih khusus dibandingkan
BW. KUHD sebagai khusus, dan BW merupakan hukum umum.
31
5.2
Pengaturan Hukum Dagang
Hukum dagang Indonesia terutama
diatur dalam
a.
Hukum tertulis yang
dikodifikasi (disatukan dalam sebuah kitab undang-undang yang sistematis)
berupa KUHD (hukum khusus) dan BW (hukum umum),
b.
Hukum tertulis yang tidak
dikodifikasi, yakni peraturan khusus yang mengatur hal yang berkait dengan
perdagangan, misal
- UU nomor
30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
- UU nomor
10 tahun 1995 tentang Kepabeanan,
- UU nomor
5 tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
- UU nomor
1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
KUHD mulai berlaku di Indonesia
pada 1 Mei 1848. KUHD dibawa oleh bangsa Belanda untuk diberlakukan di
Indonesia, mula-mula hanya bagi orang Eropa di Indonesia berdasarkan asas
konkordansi. Kemudian diberlakukan bagi orang Timur Asing, seperti China,
Jepang, akan tetapi tidak diberlakukan seluruhnya bagi orang Indonesia. Hanya
bagian-bagian tertentu saja yang berlaku bagi orang Indonesia (bumiputera).
KUHD terdiri dari dua buku dan 23
bab. Buku satu memuat 10 bab dan buku kedua memuat 13 bab. Buku I mengatur
tentang perdagangan pada umumnya dan buku II mengatur tentang hak dan kewajiban
yang terbit dari pelayaran. Buku I bab 1 pasal 2 sampai 5 diatur tentang
pedagang dan perbuatan perdagangan. Pedagang adalah mereka yang melakukan
kegiatan perdagangan sebagai pekerjaan sehari-hari (pasal 2). Perbuatan
perdagangan pada umumnya adalah membeli barang untuk dijual kembali dalam
jumlah banyak atau sedikit, masih bahan atau sudah jadi, atau hanya untuk
disewakan pemakaiannya (pasal 3). Termasuk perbuatan perdagangan antara lain
perbuatan-perbuatan berikut: (ps 4)
a.
perdagangan komisi;
b.
mengenai wesel, cek, surat
sanggup;
c.
perbuatan para pedagang,
pemimpin bank, bendahara, makelar;
d.
pemborongan, pembangunan,
perbaikan dan memperlengkapi kapal, jual beli kapal, makanan dan minuman
keperluan kapal;
e.
ekspedisi dan pengangkutan barang
dagangan;
f.
menyewakan dan mencarterkan
kapal;
g.
perbuatan agen, bongkar muat
kapal, pemegang buku, pelayan pedagang, urusan dagang para pedagang;
h.
semua asuransi.
Pasal 4
KUHD pengertian perbuatan perdagangan dirumuskan dalam pasal 3 KUHD. Pasal 5
KUHD mengatur tentang kewajiban yang timbul dari lain tabrakan kapal, atau
mendorong kapal lain, pertolongan dan penyimpanan barang dari kapal karam,
kandas atau penemuan barang di laut, membuang barang ke laut. Ketentuan pasal 2
sampai 5 KUHD menimbulkan kesulitan, karena:
-
dalam praktek dikenal barang
bergerak dan tidak bergerak, sementara pengaturan dalam KUHD hanya meliputi
barang bergerak saja;
-
perbuatan perdagangan meliputi
perbuatan menjual dan membeli, tetapi pasal 3 KUHD hanya mengatur perbuatan
membeli;
-
perbuatan perdagangan dapat
dilakukan bukan hanya oleh pedagang, ketentuan pasal 2 KUHD hanya mengatur
perbuatan perdagangan oleh pedagang;
-
perselisihan antara pedagang
dan bukan pedagang dalam pelaksanaan perjanjian tidak dapat diselesaikan dengan
KUHD karena KUHD hanya berlaku bagi pedagang yang pekerjaannya sehari-hari
melakukan perbuatan perdagangan.
Dari
paparan tersebut, pada dasarnya pengaturan dalam KUHD terutama ditujukan kepada
perbuatan perdagangan oleh para pedagang, dengan kata lain merupakan hukum bagi
para pedagang. Hal ini tentu saja tidak mengakomodir perkembangan dalam dunia
bisnis yang amat cepat, baik lingkup, sarana maupun prasarananya, yang
mengharuskan adanya perangkat peraturan
yang mempunyai daya muat yang besar.
Untuk mengatasi kesulitan penerapan
tersebut, kemudian diadakan perubahan dengan menghapus istilah pedagang dan
perbuatan perdagangan dalam ketentuan pasal 2 sampai 5 KUHD dan diganti dengan
istilah perusahaan dan perbuatan perusahaan. Dengan perubahan ini, maka hukum
dagang menjadi hukum perusahaan, karena KUHD mengatur perbuatan yang dilakukan
oleh perusahaan dalam perdagangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar