Jumat, 04 September 2015

Negara

2.1        Pengertian
Pengertian tentang negara mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Para ahli mengemukakan pengertian yang berbeda berdasarkan alam pikiran dan kenyataan yang hidup dan berkembang di sekitarnya.
Aristoteles, filosof yang hidup pada 384-322 sebelum masehi pada zaman Yunani Kuno mengemukakan pandangannya tentang negara dalam lingkup wilayah yang kecil untuk ukuran pada masa sekarang. Negara yang merupakan negara kota oleh Aristoteles disebut polis[6], yaitu persekutuan dari keluarga dan desa untuk mencapai kehidupan yang sebaik-baiknya. Negara kota (polis) mempunyai jumlah penduduk relatif sedikit, dirumuskan oleh Aristoteles sebagai negara hukum yang di dalamnya terdapat sejumlah warga negara yang ikut serta dalam permusyawaratan negara (ecclesia). Negara hukum menurut (masa) Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas hukum, yang menjamin keadilan warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup warga negara yang baik. Hukum merupa-kan peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warganya. Dalam negara, pemegang pemerintahan adalah pikiran yang adil, bukan manusia, sedang penguasa sebenarnya hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja.
Agustinus, sarjana yang menjadi tokoh agama Katolik, hidup pada abad pertengahan, 350–430 sebelum masehi, zaman kejayaan agama Katolik. Pada masa itu pandangan hidup manusia didasarkan atas ketuhanan menurut Agama Katolik[7]. Agustinus membagi negara atas Civitas Dei (negara Tuhan) dan Civitas Terrena/Civi-tas Diaboli (negara duniawi/negara iblis). Negara Tuhan diwakili Gereja. Negara Tuhan bukanlah negara dari dunia, tetapi jiwa negara tuhan sebagian dimiliki oleh beberapa orang di dunia untuk mencapainya. Adakalanya negara duniawi memiliki jiwa civitas dei. Negara duniawi merupakan civitas diaboli adalah apabila diperintah dengan sewenang-wenang oleh orang-orang yang bergelimang dosa karena nafsu kemegahan dan duniawi. Keadilan dapat tercapai apabila negara diperintah oleh seorang Kristen dalam civitas dei. Orang dapat mencapai hidup bahagia untuk selamanya hanya dengan cara mengejar ke arah civitas dei. Contoh ini adalah Constantin dan Theodosius, karena memimpin civitas terrena dengan jiwa civitas dei[8]
Machiavelli (1469-1527)  hidup pada abad Rennaissance, menyangkal konsep dari Agustinus[9]. Machiavelli menulis Il Principle yang merupakan buku pelajaran bagi raja tentang bagaimana raja harus memerintah sebaik-baiknya. Dalam upayanya memahami apa itu negara, Machiavelli menggunakan pendekatan fakta, bukan ide. Ketika di Italia timbul perpecahan akibat dari kekacauan yang menimbulkan ancaman bahaya bagi persatuan bangsa Italia, maka menurutnya sebab utamanya adalah pada raja yang memerintah. Raja yang dalam memerintah dipengaruhi dan mempergunakan pertimbangan agama yang menanamkan rasa susila dan keadilan dipandangnya sebagai kelemahan apabila negara dalam keadaan kacau. Untuk mengatasi kekacauan, apabila perlu raja harus bertindak kejam untuk menindas kekacauan yang ada. Kekuatan yang superior dan kekejaman harus juga dimiliki oleh seorang raja, sehingga raja dapat menjadi penguasa tunggal dalam negara. Akibatnya, raja dapat mempertahankan persatuan dan kesatuan negaranya. Untuk dapat mencapai tujuan, negara harus mempunyai alat-alat kekuasaan fisik, yaitu kekuasaan yang memusatkan segala sesuatunya pada raja bagaimana raja memerintah. Menurutnya tujuan dapat menghalalkan segala macam alat yang dipakainya, dalam arti segenap alat dan cara (meski bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan) dapat digunakan asal tujuan dapat tercapai.
Thomas Hobbes (1588-1679) [10],  John Locke  (1632-1704)[11] dan Rousseau (1712-1778)[12] mengartikan negara sebagai badan atau organisasi hasil perjanjian masyarakat. Ajaran ketiga sarjana tersebut berbeda dalam hal memandang tujuan dan akibat dari perjanjian masyarakat.
Pengertian  negara dirumuskan dalam bermacam definisi oleh para ahli[13], antara lain :
a.       Aristoteles      : negara (polis)  ialah persekutuan dari keluarga dan desa untuk mencapai kehidupan yang sebaik-baiknya
b.      Jean Bodin     : negara adalah suatu persekutuan dari keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh dan dari suatu kekuasaan yang berdaulat;
c.       Hans Kelsen: negara ialah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa;
d.      Harold Laski: negara adalah suatu organisasi paksaan (coercive instrument);
e.       Hugo Grotius: negara merupakan suatu persekutuan yang sempurna dari masyarakat uang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum;
f.       Woodrow Wilson : negara adalah rakyat yang terorganisasi untuk hukum dalam wilayah tertentu (a people organized for law within a definite territory);
g.      Blunschli        : negara adalah diri rakyat yang disusun dalam suatu orga-nisasi politik di suatu daerah tertentu (politisch organisierte Volksperson eines bestimten landes);
h.      Logemann      : negara adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta menyelenggarakan sesuatu masyarakat;
i.        Kranenburg, manusia adalah mahluk sosial pada dasarnya juga mahluk golongan, dan ilmu negara memandanganya sebagai mahluk golongan tersebut.

2.2   Hakekat dan Sifat Negara
Pembahasan mengenai hakekat dan sifat negara oleh para ahli dikemukakan dalam berbagai cara. Menurut Soehino, hakekat negara menggambarkan sifat dari negara[14]. Soehino tidak memberikan gambaran yang jelas tentang sifat negara. Sifat dan hakekat negara dalam bukunya dapat dipahami dalam uraian ajaran para sarjana yang dipaparkannya. Miriam Budiardjo secara eksplisit menguraikan tentang sifat negara[15], akan tetapi tidak dengan tegas menyebutkan hakekat negara. Miriam memberikan uraian tentang negara yang dapat dipahami sebagai hakekat negara[16]. Sedangkan Abu Daud Busroh menyatukan penjelasan tentang hakekat dan sifat negara dalam titel sifat hakekat negara[17].
Mengacu kepada pendapat Soehino sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa hakekat negara, dalam arti hakekat dari apa yang dinamakan negara, apakah merupakan keluarga besar, alat, wadah, atau organisasi atau perkumpulan, berikut akan diuraikan beberapa pendapat para ahli berkait dengan hal tersebut.
Menurut Plato (429-347 SM) negara pada hakekatnya “merupakan suatu keluarga yang besar”. Luas negara diukur atau disesuaikan dengan dapat tidaknya, mampu tidaknya negara memelihara kesatuan di dalamnya. Oleh karenanya luas wilayah negara harus tertentu[18]
Menurut Aristoteles (384-322 SM) negara ada karena kodrat, yang terjadi karena bergabungnya orang-orang dalam keluarga, kemudian keluarga-keluarga bergabung menjadi desa dan akhirnya desa desa bergabung menjadi satu membentuk polis. Negara merupakan kesatuan yang mempunyai tujuan tertentu, yang berupa kebaikan tertinggi yaitu kesempurnaan diri manusia sebagai anggota negara. Negara merupakan organisme yang mempunyai dasar hidaup sendiri. Negara mengalami lahir, berkembang, surut bahkan mati sebagaimana keadaan mahluk hidup[19]. Manusia, sebagai mahluk sosial merupakan bagian dari negara, tidak mempunyai dasar hidup sendiri tidak dapat terlepas dari kesatuannya, negara. Negara mempunyai kedudukan utama, menguasai dan mengatur seluruh kehidupan, kekuasaannya bersifat abslut, dan amat menentukan nasib warganegaranya.
Menurut Epicurus (342–271 s.M.), negara merupakan hasil perbuatan manusia. Negara diciptakan manusia. Manusia sebagai individu . sebagai anggota masyarakat mempunyai dasar kehidupan mandiri dan merupakan realita. Negara diciptakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan manusia berupa kelangsungan hidup[20].
Zeno, mempunyai pendapat yang sangat berbeda dari ajaran Epicurus. Jika Epicurus memandang manusia sebagai `atoom` dan sifat individualistis manusia berkait dengan keberadaan negara, maka ajaran Zeno bersikap universal yang meliputi seluruh umat manusia, memandang setiap manusia di seluruh dunia mempunyai kedudukan yang sama sebagai warga dunia. Hukum yang berlaku adalah hukum alam yang bersifat abadi dan universal. Hukum ini memungkinkan manusia membentuk negara dunia[21]. Pengikut Zeno disebut kaum Stoa atau stoicin. Disebut demikian karena Zeno selalu memberikan pelajaran di lorong yang banyak tonggak temboknya yang disebut juga stoa. Ajaran kaum stoa bersifat dua hal, yaitu :
-          menggambarkan manusia yang merasa kosong di dalam masyarakat yang mengalami kebobrokan sosial etis, dan
-          menunjukkan jalan keluar dari kebobrokan etis dan keruntuhan negara dengan syarat etis-minimum[22].
Pada masa Romawi konsep kenegaraan tidak terlalu berkembang. Yang berkembang justru praktek ketatanegaraan. Bangsa Romawi lebih menitikberatkan soal-soal praktis.
Kerajaan Romawi di awali dari kondisi terpecah belah. Setelah melalui serangkaian peperangan yang diikuti dengan penaklukan negara-negara (polis) yang kalah perang, terjadilah perubahan dari negara kota, romawi menjadi Imperium (kerajaan dunia), yang mempersatukan peradaban dari negara-negara yang ditaklukan. Pada masa Romawi, negara dipisahkan dari warga negara, negara merupakan badan hukum di samping masyarakat, masing-masing diatur oleh hukum yang berbeda. Hubungan antar warganegara diatur oleh hukum privat, sedangkan hubungan yang menyangkut negara diatur oleh hukum publik. Kekuasaan negara tidak mutlak, kekuasaan negara berasal dari rakyat. Negara dan rakyat masing-masing dapat mempunyai tujuan yang berbeda. Apabila negara ternyata merugikan warganya, warga negara berhak untuk meminta ganti kerugian terhadap negara[23].
Tokoh yang terkenal pada masa ini antara lain Polybius, Cicero dan Seneca. Ajaran Polybius yang terkenal adalah teori tentang perubahan bentuk negara yang disebut cyclus theori. Polybius banyak memanfaatkan ajaran kaum Stoa dalam ajarannya[24]. Cicero juga menganut ajaran Kaum Stoa, berpendapat bahwa negara merupakan keharusan dan berdasarkan pada ratio manusia, berdasarkan hukum alam kodrat. Sedangkan Seneca berpendapat bahwa sosial etis menentukan kejayaan suatu negara[25].
Pendapat Seneca mengacu pada kejayaan dan kemudian kejatuhan Imperium Romawi. Setelah Imperium Romawi jatuh, tahun 476, sejarah memasuki jaman Abad Pertengahan.
Jaman Abad Pertengahan, berkembang selama kurang lebih sepuluh abad (abad V sampai abad XV), dapat dibagi dalam dua masa, yang diantaranya ditandai dengan terjadinya perinstiwa penting yaitu perang salib[26], yaitu :
a.       Jaman Abad pertengahan sebelum perang Salib, abad V sampai abad XII
Pada jaman ini ajaran tentang negara sangat teokratis. Segala sesuatunya dianggap semata-mata kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak berkembang pandangan yang bersifat kritis terhadap peristiwa yang terjadi di dunia, semuanya ditujukan untuk membela kepentingan agama dan gereja.
b.      Jaman Abad pertengan sesudah perang Salib, abad XII sampai abad XV.
Pada masa sesudah perang salib ajaran tentang negara dan hukum dipengaruhi oleh ajaran sarjana Yunani Kuno, karena ketika terjadi perang penganut agama kristen banyak yang  lari ke Timur Tengah, setelah perang salib usai mereka kembali ke negaranya dengan membawa pengaruh Yunani kuno[27].
Tokoh yang terkenal pada masa abad Pertengahan antara lain  Augustinus, Thomas Aquinas dan Marsilius.
Augustinus (354-430) berpendapat, negara sifatnya hanyalah sebagai alat gereja untuk membasmi musuh gereja. Negara mempunyai kedudukan/kekuasaan lebih rendah dan di bawah gereja. Dalam bukunya De Civitate Dei, Augustinus mengurai-kan adanya dua macam negara, yaitu :
  1. Civitas Dei (negara Tuhan), merupakan negara yang dicita-citakan Agama,
  2. Civitas Terrena (diaboli/negara iblis/negara duniawi).
Civitas dei merupakan negara terbaik, akan tetapi tak pernah terwujud. Semangat civitas dei dimiliki oleh sebagian orang dan mereka selalu berusaha untuk mencapainya. Civitas dei hanya dapat dicapai dengan perantaraan gereja sebagai wakil negara tuhan di dunia. Orang di luar gereja dapat mengupayakannya dengan cara menaati perintah tuhan[28]. Soehino memandang bahwa Augustinus menyamakan pengertian negara dengan pengertian masyarakat,  gereja dianggap bayangan civitas dei di dunia, dan kekuasaan raja diperoleh dari pemberian gereja[29].
John Salisbury (pertengahan abad XII/ +1150) mengemukakan pendapat yang bertentangan dari ajaran Augustinus, bahwa negara semestinya menciptakan perdamaian untuk kepentingan gereja, sekaligus menjamin keselamatan dan ketentraman kehidupan masyarakat. Menurutnya jika tiap orang bekerja untuk kepentingannya, maka kepentingan masyarakat akan terpelihara dengan baik[30], dalam pengertian dengan tetap menjaga masing-masing tidak mencampuri urusan orang lain. Negara dan gereja tidak saling berebut kekuasaan.
Thomas Aquinas, (1225-1274) berpendapat bahwa organisasi negara dan organisasi gereja mempunyai kedudukan yang sama, tetapi tugasnya berbeda. Negara dipimpin raja bertugas dalam lapangan duniawi sedangkan tugas gereja yang dipimpin paus dalam lapangan kerokhanian, keagamaan. Gereja merupakan wakil kerajaan Tuhan di dunia, oleh karena itu maka hukum duniawi didukung dan dilindungi gereja. Sesuai kodratnya, kekuasaan duniawi/raja seharusnya tunduk kepada kekuasaan gereja demi tujuan manusia mencapai kemuliaan abadi[31]. Pendapat ini berbeda dari Augustinus yang memisahkan sama sekali negara dengan gereja. Menurut Aquinas negara dan gereja mempunyai kerjasama yang erat. Negara didukung dan dilindungi oleh gereja untuk mencapai tujuannya.
Marsilius dari Padua (1270-1340) penganut aliran filsafat nominalist, pendapatnya sangat dipengaruhi ajaran Aristoteles. Menurutnya negara adalah suatu badan atau organisme yang mempunyai dasar-dasar hidup dan tujuan tertinggi yaitu menyelenggarakan dan mempertahankan perdamaian[32]. Menurut Soehino dalam ajaran Marsilius nampak peranan orang atau individu dalam pembentukan negara atau masyarakat. Terbentuknya negara bukan semata kehendak Tuhan, tetapi terjadi karena perjanjian orang-orang yang hidup bersama untuk menyelenggarakan perdamaian[33]. Dalam perjanjian tersebut ditunjuk seseorang untuk bertugas memelihara perdamaian. Perjanjian tersebut untuk membentuk negara sekaligus untuk menundukkan diri (factum subjectiones). Terdapat dua macam penundukan diri (factum subjectiones), yaitu :
  1. bersifat terbatas pada apa yang dikehendaki oleh rakyat. Kekuasaan raja hanya menyelenggarakan kekuasaan rakyat,  eksekutif saja. Peraturan ditentukan oleh rakyat. Penyerahan kekuasaan demikian disebut concessio[34]
  2. bersifat mutlak, dalam arti rakyat tunduk kepada raja yang mereka pilih,  penguasa juga berwenang menjalankan kekuasaan eksekutif sekaligus membuat peraturan (legislatif). Penyerahan kekuasaan demikian disebut translatio[35].
Jaman Renaissance menandai berakhirnya abad pertengahan, dimulai sekitar pertengahan abad pertengahan bagian kedua sampai akhir abad XVI. Menurut Soehino, ajaran tentang negara dan hukum masa ini dipengaruhi oleh:
  1. berkembangnya kembali kebudayaan Yunani kuno yang disebabkan oleh pengaruh terjadinya perang salib. Sesudah perang salib, ajaran Aristoteles, khususnya tentang ratio manusia, mengubah pandangan bahwa yang menentukan segalanya adalah pemimpin negara atau gereja, karena mereka adalah wakil Tuhan sehingga manusia tidak boleh berpikir sendiri untuk menentukan hidupnya. Karena terlalu `mengidolakan` budaya Yunani, dalam hal ini pengakuan terhadap rationalitas manusia, masyarakat menjadi mengesampingkan nilai agama, terjadi demoralisasi dan berkembang individualisme[36].

  1. sistem feodalisme yang berakar pada kebudayaan Jerman menimbulkan kekacauan dan perpecahan daerah.
Tokoh-tokoh yang terkenal pada Jaman ini antara lain :Niccolo Machiavelli, Thomas Morus, kaum monarkomaken.
Menurut Machiavelli negara ada untuk kepentingan negara itu sendiri, yang mengejar tujuan dan kepentingannya dengan cara yang dianggapnya paling tepat, meski dengan cara yang sangat licik. Kepentingan negara menjadi ukuran tertinggi bagi pelaksanaan pemerintahan dan segala perbuatan manusia[37].
Thomas Morus (1478 –1535), sastrawan, penulis Utopia. Bukunya terdiri dari dua bagian. Bagian pertama memberikan gambaran tentang keadaan yang menjadi acuan baginya menyusun bagian kedua, yang di dalamnya digambarkan negara model yang dimimpikan oleh Thomas Morus. Bukunya merupakan kritik terhadap keadaan pemerintahan dan kenegaraan Inggris pada waktu itu
Kaum monarkomaken  terdiri dari beberapa ahli yang anti atau menentang raja, dalam arti anti terhadap akibat kekuasaan raja yang bersifat absolut. Mereka antara lain Luther, Melanchthon, Zwingli dan Chalvin, yang pada prinsipnya tidak setuju pada susunan organisasi gereja yang ada pada saat itu[38]

2.3 Unsur Negara
Konvensi Montevideo, tahun 1933, menentukan komponen yang harus ada agar kelompok masyarakat dapat disebut sebagai negara, yaitu :
a.       penduduk tetap,
b.      wilayah tertentu,
c.       pemerintah (yang sudah biasa diakui oleh penduduk), dan
d.     kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara-negara lain. Berkait dengan pengakuan dari masyarakat internasional, syarat keempat merupakan syarat yang amat penting.[39]

2.4    Bentuk Negara dan Teori tentang Bentuk Negara
Bentuk-bentuk negara yang dikenal dalam ketatanegaraan adalah[40] :
a.       negara kesatuan/unitaris
Negara unitaris/kesatuan adalah negara yang bersusunan tunggal, negara yang hanya terdiri satu negara saja. Tidak ada negara dalam negara. Negara kesatuan adalah bentuk negara yang tunggal dan mandiri, terdiri dari satu negara, satu pemerintahan, satu kepala negara, dlembaga legislative untuk seluruh kawasan negara.
Terdapat dua model negara kesatuan, yaitu:
-    negara kesatuan dengan system sentralisasi
negara tidak mengadakan pembagian daerah; disebut juga negara kesatuan yang terdekonsentrasi. Segala sesuatu dalam negara langsung diurus dan diatur oleh pemerintah pusat, termasuk yang berkait dengan pemerintahan dan kekuasaan di daerah.
-    negara kesatuan dengan system desentralisasi
negara mengadakan pembagian daerah pada setiap organisasi kenegaraan yang berdiri sendiri dan memiliki pemerintahan sendiri, namun wewenang tertinggi tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Pemerintahan di daerah diberi wewenang untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonom).


b.      negara serikat/federasi
negara federasi/serikat merupakan gabungan dari beberapa negara, yang tiap negara merupakan bagian dari negara serikat tersebut. Negara-negara bagian berdiri sendiri, dengan alat perlengkapan, kepala negara dan pemerintahan sendiri, lembaga legislative dan yudisiil sendiri. Negara bagian, semula merupakan negara yang merdeka dan berdaulat, kemudian bergabung, dengan melepaskan sebagian kekuasaan dan kewenangannya secara berangsur dan limitative kepada negara serikat (delegated powers). Kekuasaan yang diserahkan kepada negara serikat lazimnya adalah kekuasaan yang berkait dengan hubungan luar negeri, keuangan, dan pertahanan keamanan. Tetapi apabila secara spesifik dapat ditentukan oleh negara serikat, sepanjang negara berdaulat bersedia dan negara serikat menerima, kekuasaan yang diserahkan atau tidak dapat disepakati antara negara bagian dan negara serikatnya. Kekuasaan yang dilimpahkan kepada pemerintah federal, umumnya mencakup lima hal[41], yaitu:
-          hal yang menyangkut kedudukan Negara sebagai subyek hukum internasional; misal mengenai masalah kewilayahan, kewarganegaraan, migrasi, hubungan dan pertukaran perwakilan dengan Negara lain,
-          hal yang berkait dengan keselamatan Negara, seperti pertahanan keamanan, masalah perang dan damai;
-          masalah konstitusi dan organisasi pemerintahan federasi, asas-asas pokok hukum, serta organisasi peradilan, apabila dipandang perlu oleh pemerintah pusat;
-          masalah mata uang dan keuangan untuk pembiayaan pemerintahan federasi, termasuk pajak, bea cukai, monopoli Negara, dsb;
-          hal yang berkait dengan kepentingan bersama antar Negara bagian, seperti pos dan telekomunikasi, statistic, industri, perdagangan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, dsb.
c.       negara dominion
adalah Negara yang sebelumnya merupakan jajahan inggris yang kemudian merdeka dan berdaulat, tetapi tetap mengakui Raja Inggris sebagai rajanya, sekaligus sebagai lambang dari persatuan dan kesatuannya. Negara dominion tergabung dalam ikatan The British Commonwealth of  Nation atau Negara-negara Persemakmuran.
d.      negara protektorat
adalah Negara yang berada di bawah perlindungan Negara lain. Lazimnya, persoalan luar negeri dan pertahanan keamanan Negara protektorat dilaksanakan dengan persetujuan bersama diserahkan kepada Negara yang memberikan perlindungan (suzeren). Negara protektorat bukan merupakan subyek hukum internasional.
Terdapat dua macam Negara protektorat, yaitu protektorat colonial dan protektorat internasional. Protektorat colonial, apabila terhadap urusan pertahanan keamanan, hubungan luar negeri serta sebagian besar urusan dalam negeri yang penting berada pada Negara pelindungnya, sedangkan protektorat internasional apabila Negara protektorat dapat bertindak dan menjadi subyek hukum internasional, seperti Negara Timor Leste.
e.       negara uni
apabila ada dua Negara atau lebih yang masing-masing merdeka mempunyai satu kepala Negara yang sama. Negara uni bukan merupakan bentuk suatu Negara, tetapi gabungan Negara-negara atau badan kerja sama antar Negara, yang dibentuk untuk menciptakan persatuan di antara dea Negara atau lebih, missal Uni Eropa. Negara Uni dibedakan dalam dua jenis, yaitu Uni Riil/Nyata dan Uni Personal/Pribadi.

2.5    Tujuan dan Fungsi Negara
Tujuan yang akan dicapai oleh negara dideskripsikan secara berbeda oleh para ahli sejak masa Yunani. Socrates (meninggal 399 SM) tidak dengan eksplisit menyebut tujuan negara tetapi mendeskripsikan tugas negara yaitu menciptakan hukum yang dilakukan oleh para pemimpin/penguasa yang dipilih oleh rakyat[42].
Plato (429-347 SM)[43], murid Socrates, melahirkan ajaran alam cita (ideeenleer)[44], berpendapat tujuan negara adalah untuk mengetahui/mencapai/ mengenal idea yang sesungguhnya. Idea yang sesungguhnya hanya dapat dicapai dan diketahui oleh para ahli filsafat saja. Oleh karena itu pemimpin negara atau pemerintahan sebaiknya dipegang oleh ahli filsafat saja[45]
Menurut Aristoteles (384-322 SM), penggagas collectivisme, universalisme, negara sebagai persekutuan mempunyai tujuan tertentu berupa mencapai kebaikan tertinggi, berupa kehidupan warga negara yang baik dan bahagia[46]. Manusia sebagai individu yang tidak mempunyai dasar hidup sendiri dan tidak dapat terlepas dari kesatuannya (negara) merupakan dasar hidup organisme (negara). Negara mempunyai kedudukan yang utama menguasai seluruh aspek kehidupan dengan kekuasaan yang absolut. Nasib warganegara tergantung nasib negaranya[47].
Epicurus (342-271), menyaksikan kejayaan Imperium Roma dan meninggal-nya Alexander yang Agung yang kemudian diikuti perpecahan negara Yunani[48]. Epicurus penggagas individualisme, berpendapat bahwa individu sebagai anggota masyarakat merupakan elemen terpenting negara. Negara ada untuk memenuhi kepentingan individu[49]. Tujuan negara adalah menyelenggarakan ketertiban dan keamanan, menyelenggarakan kepentingan perseorangan yang merupakan kekenakan pribadi yang tidak berisifat materialistis tetapi bersifat kejiwaan atau kerokhanian[50] Untuk itu orang harus menundukkan diri kepada pemerintah yang bagaimanapun bentuk dan sifatnya[51].
Pada masa abad pertengahan, berrkembang faham teokrasi. Menurut Johan Salisbury, negara seharusnya menciptakan perdamaian untuk kepentingan gereja (sebagaimana ajaran Augustinus) sekaligus menjamin keselamatan dan ketentraman kehidupan masyarakat. Ajaran ini menghapuskan teori dua pedang dan ajaran matahari-bulan yang membedakan secara tajam kekuasaan gereja dengan kekuasaan negara[52].
Menurut Thomas Aquinas tujuan negara identik dengan tujuan manusia. Tujuan manusia adalah kemuliaan abadi, kemuliaan sesudah mati yang dapat dicapai dengan tuntunan gereja. Negara bertugas memberi kesempatan untuk terlaksananya tuntutan gereja dengan cara menjamin keamanan dan perdamaian agar tiap orang dapat menjalankan tugasnya. Gereja merupakan persekutuan hidup yang meliputi segalanya, wakil kerajaan Tuhan di dunia. Hukum keduniawian didukung dan dilindungi gereja, secara kodrati kekuasaan duniawi seharusnya tunduk pada kekuasaan rohani demi tujuan manusia[53].
Abad Pertengahan berlalu, memasuki jaman Renaissance (Abad XV) pandangan tentang negara dan hukum dipengaruhi oleh banyak paham.
Menurut Machiavelli mengalami masa  dan Perancis tujuan negara adalah mengusahakan terselenggaranya ketertiban, keamanan dan ketentraman. Hal ini hanya dapat dicapai oleh pemerintah seorang raja yang mempunyai kekuasaan absolut. Untuk itu ia harus berusaha menghimpun kekuasaan pada tangan raja. Tujuan negara merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kemakmuran bersama (rakyat Itali). Tujuan negara semata-mata kekuasaan[54].
Jean Bodin sependapat dengan Machiavelli bahwa tujuan negara adalah kekua-saan. Raja mempunyai kekuasaan absolut. Bodin tidak berani menyingkirkan pengaruh hukum Tuhan dan Hukum Alam seluruhnya dari sistemnya yang sangat positif.



[6] Periksa, Soehino, loc.cit., h.23
[7] Periksa Moh. Kusnardi dan Bintaan R.Saragih, ibid. hal. 48.
[8] Ibid, hal 49.
[9] Periksa Soehino, loc.cit., 70-73
[10] 0p. cit., 98
[11] Ibid., 106
[12] Ibid., 118
[13] Periksa Ramdlon Naning, Gatra Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1983, h. 1-2.
[14] Soehino, op. cit., h. 146
[15] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982, h. 40-41
[16] Ibid., h. 38
[17] Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, 2001, h. 20-24
[18]Periksa Plato dalam Soehino, op. Cit., h. 17
[19] Periksa Aristoteles dalam Ibid., h.25.
[20] Periksa Epicurus dalam Ibid., h.31
[21] Periksa Zeno dalam Ibid, h.32
[22] Ibid., h.33
[23] Ibid., h.33-37.
[24] Ibid., 38-41
[25]Periksa Seneca dalam Ibid., h. 42-43.
[26] Periksa, Ibid., h.49.
[27] Ibid., h.50.
[28] Ibid., h 52
[29] Ibid. h. 53
[30] Ibid., h. 55
[31] Ibid., h.59
[32] Ibid., h. 64.
[33] Bandingkan : Menurut Agustinus Tuhan merupakan pokok pangkal segala sesuatu, termasuk negara; Thomas Aquinas, masih mengacu kapa kehendak Tuhan, tetapi terdapat juga faktor manusia; menurut Epicurus negara merupakan hasil perbuatan manusia, diciptakan untuk menyelenggarakan kepentingannya.
[34] Ibid., h. 65.
[35] Ibid.
[36] Ibid., 69
[37] Ibid., h.72
[38] Ibid., h. 81.
[39] Periksa, Starke, terj. oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Jilid 1, Edisi ke 10, Sinar Grafika, Jakarta, cet. I, 1992, h.
[40] Periksa, Ramdlon Naning, op.cit. h..38-45


[41] Periksa, Ramdlon Naning, op.cit. h. 40.
[42] Soehino, op.cit., h
[43] Ibid., h.15
[44] Ibid., h.16
[45] Ibid., h.17
[46] Ibid., h.24-25
[47] Ibid., h.27
[48] Ibid., h.29
[49] Ibid., h.30
[50] Ibid., h.31
[51] Ibid.
[52] Ibid.,h. 55.
[53] Ibid., h.58-59
[54] Ibid., h.71-72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar