Kamis, 03 September 2015

Bab 9 PHI Asas Hk Agraria

BAB IX
ASAS HUKUM AGRARIA

9.1  Pengertian
Hukum agraria adalah keseluruhan kaidah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria. Pengertian agraria meliputi bumi, air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan ruang angkasa di atasnya dalam batas-batas yang ditentukan. Ruang lingkup utama kajian hukum agraria adalah penguasaan hak atas tanah oleh inidvidu/badan hukum perdata dan/atau negara.
Di Indonesia, pengaturan bidang agraria (khususnya pertanahan) sebelum tahun 1960 mengalami dualisme yaitu berlakunya dua macam hukum tanah. Hukum tanah yang berlaku pada saat itu adalah kaidah yang bersumber pada Hukum Adat dan BW.
Hukum adat (hukum tanah adat/hukum agraria adat) menimbulkan hak-hak adat yang tunduk pada hukum tanah adat, misalnya tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan. Sedangkan Burgerlijk Wetboek (BW/Kitab Undang-undang Hukum Perdata/KUHPer) merupakan hukum tanah/agraria barat menimbulkan hak atas tanah yang tunduk pada hukum barat/Eropa, seperti tanah eigendom, tanah erfpacht, tanah postal.
Pada tanggal 24 September 1960 disahkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LNRI Tahun 1960 nomor 104) yang kemudian disebut Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA.  Sejak UUPA disahkan dan kemudian berlaku, maka dihapuslah dasar-dasar dan peraturan hukum agraria kolonial dan berakhirnya dualisme hukum tanah dan terselenggara unifikasi hukum tanah di Indonesia yang mendasarkan diri pada hukum adat sebagai hukum asli bangsa Indonesia.

9.2  Pokok-pokok Pikiran UUPA
Secara garis besar, UUPA memuat : tujuan UUPA, tanah negara, hak-hak atas tanah, konversi dan negara sebagai penguasa tanah.

69
9.3  Tujuan UUPA
Tujuan diberlakukannya UUPA adalah :
i.        meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur;
ii.  meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
iii. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat.

9.4  Asas yang dimuat dalam Undang-undang Pokok Agraria
Terdapat delapan asas hukum agraria nasional yang harus menjadi dasar dan menjiwai pelaksanaan hukum agraria nasional, yaitu:
        i.      Asas Kenasionalan (dimuat pada pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3))
      ii.      Asas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai negara. (dimuat pada pasal 2 )
    iii.      Asas mengutamakan kepentingan nasional dan kepentingan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dari pada kepentingan perseorangan atau golongan  (dimuat pada pasal 3)
    iv.      Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi social (dimuat pada pasal 6)
      v.      Asas hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah (pasal 9 jo. Pasal 21)
    vi.      Asas persamaan bagi setiap warga negara Indonesia (pasal 9 jo. pasal 11 jo. pasal 13)
  vii.      Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri dan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan (pasal 10. jo. pasal 7 jo.pasal 17)
viii.      Asas tata guna tanah/penggunaan tanah secara berencana


9.5  Tanah negara
Seluruh tanah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada dasarnya berada di bawah penguasaan negara, baik dikuasai secara langsung maupun tidak langsung. Inilah yang disebut tanah negara. Tanah negara langsung di bawah penguasaan negara apabila belum berada dalam kepemilikan seseorang atau badan hukum tertentu, sedangkan penguasaan negara secara tidak langsung apabila tanah telah menjadi hak milik seseorang atau badan hukum tertentu berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Tanah dikuasai langsung oleh negara, artinya tanah-tanah tersebut belum ada sesuatu hak di atasnya, yang kemudian dikenal dengan sebutan tanah negara bebas atau tanah negara, sedang-kan apabila di atas tanah tersebut sudah ada suatu hak tertentu, misal hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan penguasaan negara bersifat tidak langsung (tanah negara yang tidak langsung dikuasai negara), karena penguasaan secara langsung ada pada orang atau badan hukum. Negara diposisikan sebagai penguasa hak atas tanah, konsekuensinya, apabila negara memerlukan tanah maka negara berhak untuk mengambil kembali tanah-tanah dari penguasaan orang atau badan hukum dengan mencabut hak-hak yang melekat di atasnya dan memberikan ganti rugi kepada pemilik hak menurut ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Berdasarkan hak menguasai atas tanah, negara berwenang untuk:
(a)    mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah, yang berarti bahwa negara berwenang untuk menentukan:
-          siapa yang berhak atas sebidang tanah tertentu, berdasar alas hukum yang sah,
-           penggunaan tanah tersebut, apakah untuk perumahan, pertanian, perkebunan, industri, kawasan wisata, kawasan konservasi, atau penggunaan yang lain,
-          kawasan yang tidak boleh dikelola oleh perorangan/atau badan hukum dalam rangka mejaga ketersediaan tanah,
-          kawasan yang harus tetap dipelihara kelestariannya dalam rangka menjaga kelestarian ekosistem demi keberlangsungan manusia dan mahluk hidup lainnya
(b)   menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam arti negara menentukan hak-hak apa saja yang dapat dimiliki oleh orang/badan hukum atas tanah di Indonesia,
(c)    menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa, dalam arti tindakan apa saja yang dapat dilakukan oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanah-tanah yang berada di dalam pengusaannya, apakah memperjualbelikan, menyewakan, menghibahkan, mewariskan atau tindakan hukum lain yang mungkin dapat dilakukan pemegang hak atas tanah terhadap tanah tersebut.
Penggunaan wewenang tersebut harus tetap dalam kerangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh pendiri negara melalui UUD 1945.

9.6  Undang-undang Pokok Agraria didasarkan atas Hukum Adat
Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum agraria, hukum adat tentang tanah dijadikan dasar pembentukan hukum agraria nasional. Hukum adat menjadi dasar karena hukum adat dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia, sehingga hukum adar tentang tanah mempunyai kedudukan istimewa dalam pembentukan hukum agraria nasional.

9.7  Hak-hak atas tanah
Hak-hak atas tanah memberikan wewenang kepada pemiliknya untuk mempergunakan tanah tersebut sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah. Kebebasan untuk memanfaatkan tanah yang berada di bawah kewenangannya tersebut dibatasi oleh fungsi social tanah. Undang-undang menentukan, bahwa setiap hak atas tanah mempunyai fungsi social. Artinya, meskipun seseorang atau badan hukum merupakan pemilik hak tertentu atas sebidang tanah, ia tidak diperkenankan mempergunakan tanah sekehendak hatinya semata untuk kepentingan pribadi tanpa ada kepentingan tertentu yang berhubungan dengan tanah yang dikuasainya yang mungkin akan menyebabkan gangguan atau kerugian pihak lain.
Berdasarkan UUPA terdapat bermacam hak atas tanah yang dapat diberikan oleh negara berdasarkan hak menguasainya kepada orang atau perkumpulan orang, berupa:
-          hak milik;
-          hak guna usaha;
-          hak guna bangunan;
-          hak pakai;
-          hak sewa;
-          hak membuka hutan;
-          hak memungut hasil hutan.

 

Hak milik atas tanah

Hak turun temurun yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan tetap mengingat fungsi social tanah. Hak ini dapat beralih dan diperalihkan kepada pihak lain. Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Apabila tanah dengan hak milik jatuh ke tangan orang asing, maka orang asing tersebut harus melepaskan tanah tersebut dalam tenggang waktu satu tahun. Apabila tenggang waktu tersebut lewat, dia belum melepaskan haknya maka tanah tersebut menjadi tanah negara. Atas tanah ini negara berwenang untuk menentukan akan diperuntukkan bagi sapa dan untuk apa. Hak milik atas tanah dapat hapus karena:
a)      pencabutan hak,
b)      penyerahan sukarela oleh pemiliknya,
c)      karena ditelantarkan,
d)     karena ketentuan undang-undang


Hak Guna Usaha (HGU):
Yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 35 tahun, dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 25 tahun. HGU dapat dipegang oleh warga negara Indonesia,badan-badan hukun yang didirikan menurut hukum Indionesia dan menurut hukum Indonesia
HGU berakhir karena:
a)      jangka waktu berakhir, dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir,
b)      dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi
c)      dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir,
d)     dicabut untuk kepentingan umum,
e)      ditelantarkan
f)       tanahnya musnah,
g)      kehilangan status kewarganegaraan atau bagi badan hukum kedudukannya berpindah dari wilayah Indonesia

Hak Guna Bangunan (HGB)
HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Jangka waktu ini atas permintaan pemegangnya dapat dimohonkan perpanjangan-nya dengan waktu paling lama 20 tahun. HGB dapat beralih diperalihkan.
HGB dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.  Hapusnya HGB terjadi karena
a)      jangka waktunya berakhir,
b)      dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat yang tidak dipenuhi,
c)      dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir,
d)     dicabut untuk kepentingan umum,
e)      ditelantarkan, tanahnya musnah,
f)       kehilangan kewarganegaraan Indonesia dan bagi badan hukum berpindah kedudukannya dari wilayah Indonesia.

Hak pakai.
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan UUPA. Jangka waktu hak pakai adalah selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Hak pakai dapat diberikan kepada :
a)      WNI,
b)      WNA yang berkedudukan di Indonesia,
c)      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia,
d)     Badan hukum asing, yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Hak pakai yang tanahnya dikuasai langsung oleh negara hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang. Bagi tanah dengan hak milik hak pakai dapat dialihkan jika dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.

 

Hak sewa

Undang-undang Agraria menentukan hak sewa untuk bangunan. Seorang atau badan hukum, mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak mempergu-nakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, denganmembayar kepada kepimliknya sejumlah uang tertentu. Pembayaran uang sewa dapat dilakukan satu kali atau pada tiap waktu tertentu, sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.
Orang atau badan hukum yang dapat menjadi pemegang hak sewa adalah:
  1. WNI;
  2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
  3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
  4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Selain hak-hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas, undang-undang agraria juga menentukan hak membuka tanah dan memungut hasil hutan, hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan, hak guna ruang angkasa, hak-hak atas tanah untuk keperluan suci dan social. Ketentuan mengenai hak-hak tersebut masih sangat umum. Undang-undang agrarian menentukan bahwa ketentuan lebih lenjut mengenai hak-hak tersebut diatur dengan peraturan pemerintah.

9.8 Penguasaan dan penggunaan tanah
Tanah dengan hak-hak atas tanah di atasnya yang sudah dikuasai oleh orang atau badan hukum tertentu, apabila diperlukan oleh negara dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional maka status tanah tersebut harus di kembalikan kepada status tanah negara terlebih dahulu. Hal ini sah saja dilakukan, karena pada dasarnya penggunaan tanah di Indonesia berdasarkan skala prioritas berikut : pertama, untuk kepentingan negara. Prioritas utama penggunaan tanah adalah kepentingan negara yang berupa komunikasi (penggunaan terutama untuk jalan/perhubungan), termasuk terminal, bandara, pelabuhan; pertahanan keamanan dan makam. Apabila ketiga hal tersebut telah terpenuhi, prioritas kedua adalah kepentingan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten, berkait dengan kebutuhan pemerintah untuk pembangunan gedung-gedung pemerintahan, sarana pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lain-lain yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan kepentingan umum. Prioritas ketiga, apabila negara dan pemerintah tidak memerlukan, barulah tanah dapat dimohon oleh rakyat untuk di kuasai dengan hak tertentu berdasarkan UUPA. Apabila negara memang merasa belum/tidak memerlukan, tanah-tanah di bawah penguasaannya (negara) dapat dibagikan kepada rakyatnya. Akan tetapi apabila suatu saat negara/pemerintah membutuhkan, negara berwenang untuk mengambilnya kembali. Upaya yang ditempuh adalah melalui pencabutan hak atas tanah, pembebasan hak atas tanah maupun pelepasan hak.
Pencabutan hak terjadi apabila tanah diperlukan oleh negara untuk kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara. Pencabutan hak atas tanah terjadi karena negara amat membutuhkannya sementara kemampuan negara untuk memberikan kompensasi atau ganti kerugian atas tanah yang hak di atasnya telah berada di tangan rakyat.
Yang dimaksud kepentingan umum apabila menyangkut kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama rakyat, dan kepentingan pembangunan. Bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum, meliputi bidang:
a.       pertahanan,
b.      pekerjaan umum,
c.       perlengkapan umum,
d.      jasa umum,
e.       keagamaan,
f.       ilmu pengetahuan dan seni budaya,
g.      kesehatan,
h.      olah raga,
i.        kesehatan umum terhadap bencana alam,
j.        kesejahteraan social,
k.      makam,
l.        pariwisata dan rekreasi,
m.    usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.
Pencabutan hak atas tanah oleh penguasa menjadi perbuatan yang tidak sah, apabila tidak berdasarkan rencana pembangunan yang telah ditetapkan.
Pencabutan hak atas dapat meliputi pula atas benda yang berada di atasnya. Dengan mengingat fungsi social tanah, maka apabila kepentingan masyarakat lebih menonjol kepentingan perorangan harus mengalah, pemiliknya harus mau dan bersedia menyerahkan tanahnya dengan sikap berpartisipasi kepada ganti rugi kepada yang bersangkutan. Menurut Schenk, ganti rugi sepenuhnya meliputi:
a.       setiap kerugian sebagai akibat langsung dari pencabutan hak harus diganti sepenuhnya,
b.      kerugian disebabkan karena sisa yang tidak dicabut haknya menjadi berkurang nilainya,
c.       kerugian karena tidak dapat mempergunakan benda tersebut atau karena kehilangan penghasilan,
d.      kerugian karena harus mencari tempat usaha lain sebagai penggantian.
Pembebasan hak atas tanah, terjadi dalam hal tanah dengan hak milik atau hak yang lain akan dipergunakan untuk kepentingan tertentu yang dapat dinikmati atau diperlukan oleh masyarakat, dimana berakhirnya hak atas tanah yang telah dikuasai oleh penduduk pemiliknya diupayakan oleh pihak yang berkepentingan dengan pembangunan di atas tanah tersebut. Misalnya, apabila akan dibangun perumahan/hunian di atas tanah-tanah dengan hak milik, hak sewa maupun hak pakai. Pemerintah yang berwenang memberikan ijin untuk pelaksanaan pembangunan hunian di kawasan tersebut, dengan ketentuan setelah ada pembebasan hak atas tanah. Pengembang/orang yang ditunjuk untuk itu kemudian melakukan upaya agar penduduk pemilik hak atas tanah mau menjual hak atas tanahnya. Upaya yang dilakukan oleh pihak yang berkompeten dengan pembangunan di suatu kawasan tertentu agar penduduk menyerahkan hak atas tanahnya untuk kepentingan tersebut dengan sejumlah ganti kerugian inilah yang disebut pembebasan hak atas tanah 
Pelepasan hak atas tanah terjadi apabila pemilik hak atas tanah secara sukarela menyerahkan hak atas tanahnya untuk kepentingan pembangunan tertentu.
Pencabutan hak, Pembebasan hak dan pelepasan hak atas tanah juga harus dihargai dengan pemberian ganti kerugian yang layak kepada para pemilik tanah, sehingga dengan uang tersebut mereka dapat memperoleh tanah pengganti dengan layak, minimal sama dengan yang dicabut, dibebaskan atau dilepaskan, terlebih jika yang dicabut, dibebaskan atau dilepaskan adalah tempat tinggal atau tempat mencari nafkahnya.
Ganti Kerugian harus dilandasi pada pemikiran “Jangan sampai setelah dicabut haknya seseorang menjadi lebih miskin”, oleh karena itu penggantian harus wajar, layak dan menurut cara yang telah diatur peraturan perundangan

9.9 Konversi

Konversi hak atas tanah adalah perubahan hak atas tanah yang lama (sebelum UUPA) menjadi hak-hak atas tanah sesuai dengan ketentuan UUPA. Semua hak atas tanah, baik berdasar hukum adat maupun berdasar hukum barat terkena ketentuan konversi. UUPA tidak menentukan batas akhir pelaksanaan konversi kecuali kepada badan hukum asing atau orang asing yang mempunyai hak eigendom. Badan hukum asing atau orang asing yang mempunyai hak atas tanah eigendom diberi tenggang waktu satu tahun sejak UUPA berlaku untuk melepaskan hak eigendomnya. Apabila tidak dilepaskan dalam jangka waktu satu tahun, maka hak eigendom atas tanah tersebut hapus demi hukum dan tanahmya menjadi tanah negara yang langsung dikuasai negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar