BAB IX
ASAS HUKUM AGRARIA
9.1
Pengertian
Hukum agraria adalah keseluruhan
kaidah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria.
Pengertian agraria meliputi bumi, air, kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dan ruang angkasa di atasnya dalam batas-batas yang ditentukan. Ruang
lingkup utama kajian hukum agraria adalah penguasaan hak atas tanah oleh
inidvidu/badan hukum perdata dan/atau negara.
Di Indonesia, pengaturan bidang agraria (khususnya
pertanahan) sebelum tahun 1960 mengalami dualisme yaitu berlakunya dua macam
hukum tanah. Hukum tanah yang berlaku pada saat itu adalah kaidah yang
bersumber pada Hukum Adat dan BW.
Hukum adat (hukum tanah adat/hukum agraria adat)
menimbulkan hak-hak adat yang tunduk pada hukum tanah adat, misalnya tanah
ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan. Sedangkan Burgerlijk Wetboek
(BW/Kitab Undang-undang Hukum Perdata/KUHPer) merupakan hukum tanah/agraria
barat menimbulkan hak atas tanah yang tunduk pada hukum barat/Eropa, seperti
tanah eigendom, tanah erfpacht, tanah postal.
Pada tanggal 24 September 1960 disahkan Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LNRI Tahun 1960
nomor 104) yang kemudian disebut Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA. Sejak UUPA disahkan dan kemudian berlaku,
maka dihapuslah dasar-dasar dan peraturan hukum agraria kolonial dan
berakhirnya dualisme hukum tanah dan terselenggara unifikasi hukum tanah di
Indonesia yang mendasarkan diri pada hukum adat sebagai hukum asli bangsa
Indonesia.
9.2
Pokok-pokok Pikiran UUPA
Secara garis besar, UUPA memuat :
tujuan UUPA, tanah negara, hak-hak atas tanah, konversi dan negara sebagai
penguasa tanah.
69
9.3
Tujuan UUPA
Tujuan diberlakukannya UUPA adalah
:
i.
meletakkan dasar-dasar bagi
penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawakan
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat
tani dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur;
ii. meletakkan
dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
iii. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan
kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat.
9.4
Asas yang dimuat dalam
Undang-undang Pokok Agraria
Terdapat delapan asas hukum
agraria nasional yang harus menjadi dasar dan menjiwai pelaksanaan hukum
agraria nasional, yaitu:
i.
Asas Kenasionalan (dimuat pada
pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3))
ii.
Asas bumi, air, ruang angkasa
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai
negara. (dimuat pada pasal 2 )
iii.
Asas mengutamakan kepentingan
nasional dan kepentingan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dari
pada kepentingan perseorangan atau golongan
(dimuat pada pasal 3)
iv.
Asas semua hak atas tanah
mempunyai fungsi social (dimuat pada pasal 6)
v.
Asas hanya warga negara
Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah (pasal 9 jo. Pasal 21)
vi.
Asas persamaan bagi setiap
warga negara Indonesia (pasal 9 jo. pasal 11 jo. pasal 13)
vii.
Asas tanah pertanian harus
dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri dan mencegah
cara-cara yang bersifat pemerasan (pasal 10. jo. pasal 7 jo.pasal 17)
viii.
Asas tata guna tanah/penggunaan
tanah secara berencana
9.5
Tanah negara
Seluruh
tanah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada dasarnya berada di
bawah penguasaan negara, baik dikuasai secara langsung maupun tidak langsung.
Inilah yang disebut tanah negara. Tanah negara langsung di bawah penguasaan
negara apabila belum berada dalam kepemilikan seseorang atau badan hukum tertentu,
sedangkan penguasaan negara secara tidak langsung apabila tanah telah menjadi
hak milik seseorang atau badan hukum tertentu berdasarkan peraturan perundangan
yang berlaku. Tanah dikuasai langsung oleh negara, artinya tanah-tanah tersebut
belum ada sesuatu hak di atasnya, yang kemudian dikenal dengan sebutan tanah
negara bebas atau tanah negara, sedang-kan apabila di atas tanah tersebut sudah
ada suatu hak tertentu, misal hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan
penguasaan negara bersifat tidak langsung (tanah negara yang tidak langsung
dikuasai negara), karena penguasaan secara langsung ada pada orang atau badan
hukum. Negara diposisikan sebagai penguasa hak atas tanah, konsekuensinya,
apabila negara memerlukan tanah maka negara berhak untuk mengambil kembali
tanah-tanah dari penguasaan orang atau badan hukum dengan mencabut hak-hak yang
melekat di atasnya dan memberikan ganti rugi kepada pemilik hak menurut
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Berdasarkan hak menguasai atas tanah, negara berwenang
untuk:
(a)
mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah, yang berarti bahwa
negara berwenang untuk menentukan:
-
siapa yang berhak atas sebidang
tanah tertentu, berdasar alas hukum yang sah,
-
penggunaan tanah tersebut, apakah untuk
perumahan, pertanian, perkebunan, industri, kawasan wisata, kawasan konservasi,
atau penggunaan yang lain,
-
kawasan yang tidak boleh
dikelola oleh perorangan/atau badan hukum dalam rangka mejaga ketersediaan
tanah,
-
kawasan yang harus tetap
dipelihara kelestariannya dalam rangka menjaga kelestarian ekosistem demi
keberlangsungan manusia dan mahluk hidup lainnya
(b)
menentukan dan mengatur
hubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam arti
negara menentukan hak-hak apa saja yang dapat dimiliki oleh orang/badan hukum
atas tanah di Indonesia,
(c)
menentukan dan mengatur
hubungan hukum antara orang dengan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang
angkasa, dalam arti tindakan apa saja yang dapat dilakukan oleh pemegang hak
atas tanah terhadap tanah-tanah yang berada di dalam pengusaannya, apakah
memperjualbelikan, menyewakan, menghibahkan, mewariskan atau tindakan hukum
lain yang mungkin dapat dilakukan pemegang hak atas tanah terhadap tanah tersebut.
Penggunaan
wewenang tersebut harus tetap dalam kerangka mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh pendiri negara melalui UUD 1945.
9.6
Undang-undang Pokok
Agraria didasarkan atas Hukum Adat
Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum agraria, hukum
adat tentang tanah dijadikan dasar pembentukan hukum agraria nasional. Hukum
adat menjadi dasar karena hukum adat dianut oleh sebagian besar rakyat
Indonesia, sehingga hukum adar tentang tanah mempunyai kedudukan istimewa dalam
pembentukan hukum agraria nasional.
9.7
Hak-hak atas tanah
Hak-hak atas tanah memberikan wewenang kepada pemiliknya
untuk mempergunakan tanah tersebut sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah. Kebebasan untuk memanfaatkan
tanah yang berada di bawah kewenangannya tersebut dibatasi oleh fungsi social
tanah. Undang-undang menentukan, bahwa setiap hak atas tanah mempunyai fungsi
social. Artinya, meskipun seseorang atau badan hukum merupakan pemilik hak
tertentu atas sebidang tanah, ia tidak diperkenankan mempergunakan tanah
sekehendak hatinya semata untuk kepentingan pribadi tanpa ada kepentingan
tertentu yang berhubungan dengan tanah yang dikuasainya yang mungkin akan
menyebabkan gangguan atau kerugian pihak lain.
Berdasarkan UUPA terdapat bermacam
hak atas tanah yang dapat diberikan oleh negara berdasarkan hak menguasainya
kepada orang atau perkumpulan orang, berupa:
-
hak milik;
-
hak guna usaha;
-
hak guna bangunan;
-
hak pakai;
-
hak sewa;
-
hak membuka hutan;
-
hak memungut hasil hutan.
Hak milik atas tanah
Hak turun temurun yang terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan tetap mengingat fungsi social tanah. Hak ini
dapat beralih dan diperalihkan kepada pihak lain. Hanya warga negara Indonesia
yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Apabila tanah dengan hak milik jatuh
ke tangan orang asing, maka orang asing tersebut harus melepaskan tanah
tersebut dalam tenggang waktu satu tahun. Apabila tenggang waktu tersebut
lewat, dia belum melepaskan haknya maka tanah tersebut menjadi tanah negara.
Atas tanah ini negara berwenang untuk menentukan akan diperuntukkan bagi sapa
dan untuk apa. Hak milik atas tanah dapat hapus karena:
a)
pencabutan hak,
b)
penyerahan sukarela oleh
pemiliknya,
c)
karena ditelantarkan,
d)
karena ketentuan undang-undang
Hak Guna Usaha (HGU):
Yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 35 tahun, dan dapat
diperpanjang untuk waktu paling lama 25 tahun. HGU dapat dipegang oleh warga
negara Indonesia,badan-badan hukun yang didirikan menurut hukum Indionesia dan
menurut hukum Indonesia
HGU berakhir karena:
a)
jangka waktu berakhir,
dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir,
b)
dihentikan sebelum jangka
waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi
c)
dilepaskan oleh pemegang haknya
sebelum jangka waktu berakhir,
d)
dicabut untuk kepentingan umum,
e)
ditelantarkan
f)
tanahnya musnah,
g)
kehilangan status
kewarganegaraan atau bagi badan hukum kedudukannya berpindah dari wilayah
Indonesia
Hak Guna Bangunan (HGB)
HGB adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun. Jangka waktu ini atas permintaan pemegangnya
dapat dimohonkan perpanjangan-nya dengan waktu paling lama 20 tahun. HGB dapat
beralih diperalihkan.
HGB dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia dan badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia. Hapusnya HGB terjadi karena
a)
jangka waktunya berakhir,
b)
dihentikan sebelum jangka
waktunya berakhir karena sesuatu syarat yang tidak dipenuhi,
c)
dilepaskan oleh pemegang haknya
sebelum jangka waktunya berakhir,
d)
dicabut untuk kepentingan umum,
e)
ditelantarkan, tanahnya musnah,
f)
kehilangan kewarganegaraan
Indonesia dan bagi badan hukum berpindah kedudukannya dari wilayah Indonesia.
Hak pakai.
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut
hasil dari tanah yang langsung dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik
orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian
dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan UUPA. Jangka
waktu hak pakai adalah selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Hak pakai dapat diberikan kepada :
a)
WNI,
b)
WNA yang berkedudukan di
Indonesia,
c)
Badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia,
d)
Badan hukum asing, yang
mempunyai perwakilan di Indonesia.
Hak pakai yang tanahnya dikuasai langsung oleh negara hanya dapat
dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang. Bagi tanah
dengan hak milik hak pakai dapat dialihkan jika dimungkinkan dalam perjanjian
yang bersangkutan.
Hak sewa
Undang-undang Agraria menentukan hak sewa untuk
bangunan. Seorang atau badan hukum, mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia
berhak mempergu-nakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan,
denganmembayar kepada kepimliknya sejumlah uang tertentu. Pembayaran uang sewa
dapat dilakukan satu kali atau pada tiap waktu tertentu, sebelum atau sesudah
tanahnya dipergunakan.
Orang atau badan hukum yang dapat menjadi pemegang hak
sewa adalah:
- WNI;
- Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
- Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
- Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Selain hak-hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas,
undang-undang agraria juga menentukan hak membuka tanah dan memungut hasil
hutan, hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan, hak guna ruang angkasa,
hak-hak atas tanah untuk keperluan suci dan social. Ketentuan mengenai hak-hak
tersebut masih sangat umum. Undang-undang agrarian menentukan bahwa ketentuan
lebih lenjut mengenai hak-hak tersebut diatur dengan peraturan pemerintah.
9.8 Penguasaan dan penggunaan tanah
Tanah dengan hak-hak atas tanah di atasnya yang sudah dikuasai oleh orang
atau badan hukum tertentu, apabila diperlukan oleh negara dalam rangka
pelaksanaan pembangunan nasional maka status tanah tersebut harus di kembalikan
kepada status tanah negara terlebih dahulu. Hal ini sah saja dilakukan, karena
pada dasarnya penggunaan tanah di Indonesia berdasarkan skala prioritas berikut
: pertama, untuk kepentingan negara. Prioritas utama penggunaan tanah adalah kepentingan
negara yang berupa komunikasi (penggunaan terutama untuk
jalan/perhubungan), termasuk terminal, bandara, pelabuhan; pertahanan keamanan
dan makam. Apabila ketiga hal tersebut telah terpenuhi, prioritas kedua
adalah kepentingan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah
propinsi dan pemerintah kabupaten, berkait dengan kebutuhan pemerintah untuk
pembangunan gedung-gedung pemerintahan, sarana pendidikan, kesehatan, ekonomi
dan lain-lain yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan
kepentingan umum. Prioritas ketiga, apabila negara dan pemerintah tidak
memerlukan, barulah tanah dapat dimohon oleh rakyat untuk di kuasai dengan hak
tertentu berdasarkan UUPA. Apabila negara memang merasa belum/tidak memerlukan,
tanah-tanah di bawah penguasaannya (negara) dapat dibagikan kepada rakyatnya.
Akan tetapi apabila suatu saat negara/pemerintah membutuhkan, negara berwenang
untuk mengambilnya kembali. Upaya yang ditempuh adalah melalui pencabutan
hak atas tanah, pembebasan hak atas tanah maupun pelepasan hak.
Pencabutan hak terjadi apabila tanah diperlukan oleh negara untuk kepentingan umum,
kepentingan bangsa dan negara. Pencabutan hak atas tanah terjadi karena negara
amat membutuhkannya sementara kemampuan negara untuk memberikan kompensasi atau
ganti kerugian atas tanah yang hak di atasnya telah berada di tangan rakyat.
Yang dimaksud kepentingan umum
apabila menyangkut kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama rakyat,
dan kepentingan pembangunan. Bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum, meliputi bidang:
a.
pertahanan,
b.
pekerjaan umum,
c.
perlengkapan umum,
d.
jasa umum,
e.
keagamaan,
f.
ilmu pengetahuan dan seni
budaya,
g.
kesehatan,
h.
olah raga,
i.
kesehatan umum terhadap bencana
alam,
j.
kesejahteraan social,
k.
makam,
l.
pariwisata dan rekreasi,
m.
usaha ekonomi yang bermanfaat
bagi kesejahteraan umum.
Pencabutan hak atas tanah oleh
penguasa menjadi perbuatan yang tidak sah, apabila tidak berdasarkan rencana
pembangunan yang telah ditetapkan.
Pencabutan hak atas dapat meliputi
pula atas benda yang berada di atasnya. Dengan mengingat fungsi social tanah,
maka apabila kepentingan masyarakat lebih menonjol kepentingan perorangan harus
mengalah, pemiliknya harus mau dan bersedia menyerahkan tanahnya dengan sikap
berpartisipasi kepada ganti rugi kepada yang bersangkutan. Menurut Schenk,
ganti rugi sepenuhnya meliputi:
a.
setiap kerugian sebagai akibat
langsung dari pencabutan hak harus diganti sepenuhnya,
b.
kerugian disebabkan karena sisa
yang tidak dicabut haknya menjadi berkurang nilainya,
c.
kerugian karena tidak dapat
mempergunakan benda tersebut atau karena kehilangan penghasilan,
d.
kerugian karena harus mencari
tempat usaha lain sebagai penggantian.
Pembebasan hak atas tanah, terjadi dalam hal tanah dengan hak milik atau hak yang lain akan
dipergunakan untuk kepentingan tertentu yang dapat dinikmati atau diperlukan
oleh masyarakat, dimana berakhirnya hak atas tanah yang telah dikuasai oleh
penduduk pemiliknya diupayakan oleh pihak yang berkepentingan dengan
pembangunan di atas tanah tersebut. Misalnya, apabila akan dibangun
perumahan/hunian di atas tanah-tanah dengan hak milik, hak sewa maupun hak
pakai. Pemerintah yang berwenang memberikan ijin untuk pelaksanaan pembangunan
hunian di kawasan tersebut, dengan ketentuan setelah ada pembebasan hak atas tanah.
Pengembang/orang yang ditunjuk untuk itu kemudian melakukan upaya agar penduduk
pemilik hak atas tanah mau menjual hak atas tanahnya. Upaya yang dilakukan oleh
pihak yang berkompeten dengan pembangunan di suatu kawasan tertentu agar
penduduk menyerahkan hak atas tanahnya untuk kepentingan tersebut dengan
sejumlah ganti kerugian inilah yang disebut pembebasan hak atas tanah
Pelepasan hak atas tanah terjadi apabila pemilik hak atas tanah secara sukarela menyerahkan
hak atas tanahnya untuk kepentingan pembangunan tertentu.
Pencabutan hak, Pembebasan hak dan
pelepasan hak atas tanah juga harus dihargai dengan pemberian ganti kerugian
yang layak kepada para pemilik tanah, sehingga dengan uang tersebut mereka
dapat memperoleh tanah pengganti dengan layak, minimal sama dengan yang
dicabut, dibebaskan atau dilepaskan, terlebih jika yang dicabut, dibebaskan
atau dilepaskan adalah tempat tinggal atau tempat mencari nafkahnya.
Ganti Kerugian harus dilandasi pada pemikiran “Jangan sampai setelah
dicabut haknya seseorang menjadi lebih miskin”, oleh karena itu penggantian
harus wajar, layak dan menurut cara yang telah diatur peraturan perundangan
9.9 Konversi
Konversi hak atas tanah adalah
perubahan hak atas tanah yang lama (sebelum UUPA) menjadi hak-hak atas tanah
sesuai dengan ketentuan UUPA. Semua hak atas tanah, baik berdasar hukum adat
maupun berdasar hukum barat terkena ketentuan konversi. UUPA tidak menentukan
batas akhir pelaksanaan konversi kecuali kepada badan hukum asing atau orang
asing yang mempunyai hak eigendom. Badan hukum asing atau orang asing yang
mempunyai hak atas tanah eigendom diberi tenggang waktu satu tahun sejak UUPA
berlaku untuk melepaskan hak eigendomnya. Apabila tidak dilepaskan dalam jangka
waktu satu tahun, maka hak eigendom atas tanah tersebut hapus demi hukum dan
tanahmya menjadi tanah negara yang langsung dikuasai negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar