BAB VI
ASAS HUKUM PIDANA
6.1
Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana adalah hukum yang
mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap
kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu
penderitaan atau siksaan.
Hukum pidana (the criminal law) lazim disebut
hukum kriminil karena mengatur persoalan mengenai tindakan terhadap kejahatan
dan hal-hal yang bersangkut paut dengan kejahatan perilaku anggota masyarakat
dalam pergaulan hidup.
Ilmu hukum pidana tidak sama dengan ilmu kriminil
(kriminologi). Ilmu hukum pidana merupakan ilmu tentang hukum kejahatan,
sedangkan kriminologi adalah ilmu tentang kejahatan itu sendiri. Obyek ilmu
hukum pidana adalah aturan-aturan hukum yang mengenai kejahatan atau berhubungan
dengan tindak pidana, sedangkan obyek kriminologi adakah orang yang melakukan
kejahatan. Tujuan yang akan dicapai dalam ilmu hukum pidana adalah agar dapat
mengerti dan mempergunakan hukum dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
sedangkan tujuan kriminologi adalah agar mengerti sebab-sebab orang berbuat
jahat, apakah karena bakat ataukah dorongan dari luar.
6.2
Pembagian Hukum Pidana
Hukum pidana, berdasar istilahnya
dapat dibagi dua golongan, yaitu :
- hukum pidana obyektif (ius poenale)
- hukum pidana subyektif (ius poenendi)
Hukum pidana obyektif adalah semua peraturan yang
mengandung larangan dan keharusan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota
masyarakat yang disertai dengan ancaman hukuman.
Hukum pidana obyektif dapat dibagi
dua, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
35
Hukum pidana materiil yaitu peraturan yang mengandung
perumusan-perumusan tentang :
-
perbuatan-perbuatan yang dapat
dihukum,
-
siapa yang dapat dihukum,
-
jenis hukuman yang dapat
dijatuhkan.
Hukum pidana materiil menentukan perbuatan-perbuatan yang termasuk
kejahatan dan pelanggaran, syarat-syarat bilamana seseorang dapat dihukum serta
hukuman yang dikenakan. Hukum pidana materiil dapat dibedakan dalam dua jenis,
yaitu hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum (sipil)
berlaku bagi setiap penduduk, untuk setiap kejahatan dan pelanggaran, sedangkan
hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang berlaku untuk orang atau jenis
kejahatan tertentu, misalnya hukum pidana militer khusus berlaku bagi militer,
hukum pidana korupsi berlaku khusus bagi kejahatan yang merugikan keuangan
negara atau masyarakat, hukum pajak berlaku khusus bagi para wajib pajak. Hukum
pidana formil (hukum acara pidana) adalah hukum yang mengatur cara-cara
menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana dalam hukum pidana
materiil. Hukum formil bermaksud mempertahankan pelaksanaan atau menegakkan
hukum materiil.
Hukum pidana
subyektif merupakan hak negara atau alat perlengkapan negara untuk menjatuhkan
hukuman apabila aturan yang sudah ditetapkan dalam hukum pidana obyektif dilanggar anggota
masyarakat. Hukum pidana subyektif dibatasi oleh hukum pidana obyektif.
Keberadaannya kemudian, menyusul diberlakukannya hukum obyektif, artinya hukum
pidana subyektif baru ada setelah ada peraturan-peraturan yang ditentukan dalam
hukum pidana obyektif.
Secara ringkas,
pembagian hukum pidana dapat dilakukan berikut:
- Hukum pidana obyektif, yang terdiri dari :
- hukum pidana materiil, yang terdiri dari :
a.
hukum pidana umum
b.
hukum pidana khusus
- hukum pidana formil (hukum acara pidana)
- Hukum pidana subyektif.
6.3
Tujuan Hukum Pidana
Tujuan hukum pada umumnya adalah
menjamin agar tercipta keadilan dan kedamaian bagi setiap orang dalam
masyarakat. Tujuan hukum pidana adalah melindungi hak dan kepentingan
masyarakat serta menjaga kedamaian dan keadilan.sanksi dijatuhkan dengan maksud
uantuk mendukung tujuan hukum pidana. Untuk itu setiap penegak hukum harus
berpedoman pada undang-undang.
Hukum pidana merupakan aturan pokok
untuk melindungi segala hak dan kepentingan anggota masyarakat dan negara.
Hukum pidana adalah hukum sanksi, karena sifat hukumnya yang memaksa. Oleh
karena itu demi tujuannya hukum pidana tidak boleh dilaksanakan bertentangan
dengan ketentuan/aturan yang terkandung di dalamnya, karena apabila demikian
berarti hukum telah melanggar hak asasi manusia, sesuatu yang sejak semula
ingin dilindunginya.
Hukuman yang dijatuhkan oleh negara
atau aparatnya terhadap pelanggar hukum mengandung tiga alasan, yaitu:
1.
untuk mengajukan serta
mendukung tindakan mempertahankan tata tertib;
2.
untuk mencegah terjadinya
perbuatan yang bisa menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakadilan;
3.
untuk mengembalikan serta
mempertahankan keamanan, ketertiban dan keadilan yang telah diganggu.
6.4
Jenis Hukuman
Hukuman yang dapat dijatuhkan, menuarut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdiri dari :
- hukum pokok yang berupa:
a.
pidana mati;
b.
pidana penjara :
i.
pidana penjara seumur hidup;
ii.
pidana penjara selama waktu
tertentu, minimal satu tahun, maksimal 20 (dua puluh) tahun;
c.
pidana kurungan, minimal satu
hari maksimal satu tahun;
d.
pidana denda;
- hukum tambahan yang berupa:
a.
pencabutan hak-hak tertentu;
b.
perampasan barang-barang
tertentu;
c.
pengumuman keputusan hakim.
Hukuman bagi pelaku tindak pidana berupa perampasan
kemerdekaan harus berdasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku yang
dibuat secara demokratis. Sehubungan dengan itu Rousseau menyatakan
“kemerdekaan adalah hak setiap manusia sejak dilahirkan. Tiada hukum buatan
manusia yang dapat merampas haknya yang didapat dari alam”, sehingga seseorang
tidak boleh dirampas atau dikurangi haknya kecuali karena kesengajaan atau
kesalahannya sendiri. Sedangkan Anselm von Feuerbach menyatakan (yang kemudian
menjadi asas dalam hukum pidana), “nulum delictum, nulla puna, sine praevia
lege poenali”, yang artinya tidak ada kejahatan yang dapat dihukum, jika
tidak ada undang-undang yang mengatur yang sudah ada/berlaku sebelum kejahatan
dilakukan. Tegasnya setiap orang diakui sebagai manusia yang memiliki
kemerdekaan diri, tidak boleh dihukum karena melakukan perbuatan, kecuali
karena memang sudah ada undang-undang yang melarangnya. D.p.l seseorang hanya
dapat dihukum karena suatu kejahatan yang ditentukan dalam undang-undang yang
sudah ada lebih dahulu sebelum perbuatan jahat itu dilakukan. Asas ini dikenal
sebagai asas legalitas yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang
menentukan “tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan atas kekuatan
ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada lebih dahulu daripada perbuatan
itu”
Dari perumusan asas legalitas dalam KUHP tersebut,
terkandung tiga prinsip:
i.
perbuatan tersebut harus
dinyatakan sebaga perbuatan delik (pidana) dengan peraturan dalam
undang-undang;
ii.
peraturan/undang-undang
tersebut sudah berlaku sebelum perbuatan terjadi/dilakukan. D.p.l., peraturan
hukum pidana hanya bisa berlaku pada masa yang akan dating, tidak berlaku
surut;
iii. dalam menerapkan hukum pidana tidak boleh mempergunakan analogi.
Berdasarkan pokok pikiran tersebut, dapat disimpulkan bahwa:
a.
hukum pidana mencegah
penjatuhan hukuman secara sewenang-wenang;
b.
dapat dicapai kepastian hukum;
c.
hukum pidana bersumber pada
hukum tertulis yang sengaja dibuat (hukum positif)
6.5
Teori-teori tentang
Hukuman
1.
teori absolut/teori
kemutlakan/teori pembalasan
Penganut teori ini antara lain
Immanuel Kant, Hegel, Herbert, Stahl dan Leo Polak. Menurut teori absolut,
anggota masyarakat yang nyata-nyata melakukan pelanggaran hukum wajib diberi
pembalasan sesuai dengan kejahatannya atau sanksi pidana yang mengikatnya.
Negara lah yang berwenang menjatuhkan sanksi.
Dasar pandangan teori absolut disebut talio atau
denda darah, yaitu anggapan bahwa hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa,
hutang darah harus dibayar dengan darah. Lambat laun pengenaan sanksi yang
kejam dapat dihindari dan diganti dengan sanksi pemidanaan atau pembayaran
denda.
2.
teori relatif/teori
prevensi/teori tujuan
Penganut teori ini antara lain van Hammel, von List,
D.Simon, Anselm von Feuerbacht. Teori relatif mengajarkan bahwa dasar hukuman
terletak pada maksud dan tujuan hukuman dijatuhkan, artinya teori relatif
mencari manfaat dari hukuman yang dijatuhkan. Teori ini pada dasarnya
membenarkan diadakan dan dijatuhkannya sanksi kepada mereka yang melakukan
pelanggaran hukum. Sanksi tersebut mempunyai tujuan agar pelaku pelanggaran
hukum pada masa yang akan dating tidak mengulangi perbuatannya yang merugikan
orang lain.
Teori relatif yang menyandarkan hukuman pada maksud
hukuman terpecah menjadi beberapa ajaran, yaitu:
a.
ajaran bahwa tujuan hukuman
adalah untuk mencegah kejahatan
terdapat perbedaan faham mengenai maksud/tujuan usaha
mencegah kejahatan, yaitu:
1.
faham yang menghendaki supaya
pencegahan ditujukan terhadap umum disebut algemene preventief
(pencegahan umum)
2.
faham yang menghendaki supaya
pencegahan dilakukan terhadap orang yang melakukan sendiri disebut speciale
preventief (pencegahan khusus)
b.
ajaran tentang cara untuk mencapai tujuan terjadinya terjadinya
kejahatan, yaitu :
1.
mencegah kejahatan dengan jalan
menakut-nakuti yang ditujukan kepada umum algemene preventief
(pencegahan umum)
2.
mencegah kejahatan dengan jalan
memperbaiki penjahatnya agar tidak mengulangi perbuatannya lagi speciale
preventief (pencegahan khusus).
Para ahli banyak mengupayakan cara untuk mencapai tujuan pencegahan
kejahatan, yang kemudian menimbulkan
beberapa aliran/faham, yaitu:
a.
aliran yang mencari tujuan
hukuman di dalam ancaman hukuman
Tujuan pemberian ancaman hukuman adalah hendak
menghindarkan masyarakat dari perbuatan jahat (algemene preventief).
Dalam hal ini Anselm von Feuerbacht mempunyai ajaran yang terkenal sebagai psigologische
dwang, yaitu bahwa ancaman hukuman yang berat akan menghindarkan seseorang
dari perbuatan jahat.
b.
aliran yang mencari tujuan
hukuman dalam menjatuhkan hukuman dan pelaksanaan hukuman
Tujuan penjatuhan dan pelaksanaan hukuman dilaksanakan di muka umum
bertujuan untuk mencegah orang lain berbuat jahat.
c.
Aliran yang menghendaki bahwa
tujuan hukuman adalah untuk membinasakan orang yang melakukan kejahatan dari
perrgaulan masyarakat.
Menurut aliran ini cara ini perlu dilaksanakan terhadap
penjahat-penjahat tertentu yang melakukan kejahatan berat dan tidak
memungkinkan untuk diperbaiki lagi. Cara membinasakan dengan memberi hukuman
yang lama/seumur hidup, diasingkan dari masyarakat atau hukuman mati.
Tujuan hukuman menurut aliran baru berdasarkan teori
relatif modern adalah untuk memperbaiki ahlak dan perilaku si penjahat, agar
menjadi manusia yang baik. Oleh karena itu hukum harus disertai pendidikan yang
berupa pembentukan kedisiplinan dan ketrampilan khusus agar bekas warga binaan
memperoleh bekal untuk terus hidup dalam masyarakat.
Penjatuhan sanksi
pada hakekatnya bermaksud untuk :
a.
menakut-nakuti
Sanksi diberikan sedemikian rupa sehingga orang menjadi takut atau
jera untuk melakukan kejahatan atau pelanggara hukum. Biasanya sanksi yang
dijatuhkan berat, kadang berupa penyiksaan.
b.
memperbaiki
Sanksi yang dijatuhkan harus mampu mendidik sehingga pelaku
kejahatan tidak mengulangi perbuatannya yang merugikan kepentingan masyarakat
dan negara.
c.
melindungi
Sanksi dijatuhkan kepada orang yang melakukan kesalahan, agar
masyarakat dan negara tidak dirugikan oleh perbuatan jahat, terlindungi, karena
si pelaku untuk sementara atau selamanya diasingkan di tempat tertentu atau
tidak lagi ditengah masyarakat.
3.
Teori gabungan
Teori gabungan lahir karena adanya keberatan
terhadap kekurangan teori absolut dan relatif. Menurut teori gabungan hukuman
setidaknya didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban
masyarakat yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan salah satu
unsure tanpa menghilangkan unsure yang lain. Fungsi hukum pidana dan tujuan
pidana dalam masyarakat pada akhirnya sama dengan tujuan hukum pada umumnya,
yaitu menjaga tata tertib dalam kehidupan berrmasyarakat supaya terwujud
keadilan hukum dan kepastian hukum. Tokoh teori gabungan : Binding.
6.6 Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) berisi hukum pidana yang tertulis
dan terkodifikasi. Di samping dalam KUHP, peraturan pidana juga tersebar di
luar KUHP, sebab selain badan legislative, para pelaksana peraturan perundangan
pun berwenang membuat peraturan pidana, yaitu peraturan yang mengandung ancaman
hukuman berupa penderitaan kepada si pelanggar. Contoh, Presiden, Menteri
Gubernur, Bupati.
KUHP Indonesia dibuat oleh bangsa Belanda
diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Bangsa Belanda menyusun
KUHP berdasarkan Code Penal Perancis yang dibuat tahun 1806 dan disahkan 1811.
sejak 1 Januari 1918 KUHP tersebut diberlakukan di Hindia Belanda.
Dalam perjalanan waktu, KUHP banyak
mengalami perubahan isi dan jiwanya sehingga lebih sesuai dengan jiwa dan
keperluan bangsa Indonesia. Pemberlakuan KUHP di Indonesia menghapus dualisme
hukum pidana di Indonesia. Sebelum 1918 berlaku dua macam hukum pidana, yaitu
hukum pidana untuk golongan bumiputera dan hukum pidana untuk golongan eropa.
Perbedaan hukum pidana tersebut adalah terutama pada ancaman hukuman, misalnya:
-
Bagi golongan bumiputera (yang
notabene bangsa Indonesia) dapat dihukum dengan kerja paksa yang diberi beban, tidak
melakukan pekerjaan umum, sementara bagi orang eropa tidak, hanya berupa
hukuman penjara atau kurungan saja;
-
Hukum pidana untuk orang
Indonesia disesuaikan dengan keadaan atau kebiasaan orang Indonesia, missal
perkawinan lebih dari satu tidak dihukum, pengemisan tidak dihukum.
Setelah KUHP dinyatakan berlaku,
maka berlakulah fictie hukum dimana setiap orang dianggap tahu
berlakunya hukum pidana, sehingga apabila seseorang melakukan kesalahan tidak
boleh membela dirinya dengan alasan tidak tahu bahwa suatu peraturan
perundangan telah berlaku.
Undang-undang hukum pidana adalah
peraturan hidup (norma) yang ditetapkan oleh instansi kenegaraan yang berwenang
memuatnya, norma mana ditambah dengan ancaman hukuman yang merupakan
penderitaan (sanksi) terhadap siapa yang melanggarnya. Disebut pula norma plus
sanksi. Keistimewaan hukum pidana adalah sanksi yang diadakan untuk melindungi
norma dan adanya sifat memaksa dalam pelaksanaannya. Sebagai produk hukum
undang-undang hukum pidana hanya dibuat oleh pejabat atau orang yang berwenang,
sesuai ketentuan undang-undang dan mulai berlaku sejak diundangkan.
Undang-undang pidana tidak berlaku lagi apabila:
a.
waktu yang ditentukan dalam
peraturan tersebut lampau;
b.
hal yang diatur telah lewat
waktu;
c.
peraturan dicabut secara tegas
atau diam-diam;
d.
ada peraturan baru yang isinya
bertentangan.
6.7 Kekuasaan
Berlakunya Hukum Pidana di Indonesia
1. Bersifat Negatif
Bahwa
berlakunya undang-undang berhubungan dengan waktu. Hal ini berhubungan dengan
asas legalitas, artinya undang-undang pidana hanya mengatur perbuatan yang
terjadi setelah undang-undang itu lahir dan tidak berlaku surut.
2. Bersifat Positif
Bahwa
berlakunya hukum pidana berhubungan dengan tempat. Hal ini diatur dalam pasal 2
sampai 9 KUHP yang memuat empat asas, yaitu:
a.
asas territorial
Perundang-undangan
hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam
wilayah negara, baik dilakukan oleh warga negaranya maupun oleh orang asing
(pasal 2 dan 3 KUHP). Siapapun yang melakukan kejahatan di wilayah Indonesia
termasuk kapal/perahu Indonesia, terhadapnya dapat dikenakan hukum pidana
Indonesia, kecuali apabila pelaku adalah pemegang hak eks-teritorial dan
hak immunitet parlementer (pasal 9 KUHP). Pemegang hak eks-teritorial
adalah :
a.
Kepala Negara asing dan
keluarganya yang berada di wilayah Indonesia;
b.
Duta Besar dan keluarga beserta
pegawai kedutaan;
c.
Anak buah kapal perang asing;
d.
Anggota militer asing
yangmempunyai izin mengunjungi Indonesia;
e.
Sekretaris Jenderal PBB;
f.
Anggota delegasi negara asing
yang sedang dalam perjalanan menuju sidang PBB dan singgah di Indonesia.
Sedangkan pemegang hak imunitet parlementer adalah para
anggota parlemen (DPR/DPRD) serta menteri untuk segala yang diungkapkannya,
baik lisan maupun tulisan dalam sidang-sidang di dalam gedung parlemen.
b.
asas personal/nasional
aktif
Perundang-undangan
hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga
negara, dimana pun berada, termasuk yang berada di luar wilayah negara.
Berdasar asas ini KUHP berlaku pula bagi warganegara Indonesia yang berada dan
melakukan tindak pidana di luar negeri. Apabila warga negara Indonesia di luar
negeri melakukan pelanggaran KUHP, maka untuk dapat mengadili yang bersangkutan
harus ada penyerahan (ektradisi) dari pemerintah negara dimana warganegara
pelanggar hukum tersebut tinggal. Untuk dapat melakukan/meminta ekstradisi
antara kedua negara harus ada perjanjian ekstradisi terlebih dahulu yang
dijalin melalui hubungan diplomatic.
c.
asas
perlindungan/nasional pasif
Perundang-undangan
hukum pidana Indonesia berlaku juga terhadap siapaun di luar negeri yang
merugikan/melanggar kepentingan hukum negara Indonesia. (pasal 4, 7, 8 KUHP)
Termasuk perbuatan melanggar kepentingan hukum /merugikan negara Indonesia
adalah: pemalsuan uang Indonesia, materai, lambang negara, cap negara, surat
hutang yang ditanggung pemerintah.
d.
asas universal
Perundang-undangan
hukum pidana dapat diberlakukan terhadap perbuatan jahat yang bersifat
merrugikan keselamatan internasional yang terjadi di darah tak bertuan. Kejahatan
tersebut antara lain, pemalsuan mata uang, perompakan.
6.8
Sistematika KUHP
KUHP
terdiri dari tiga buku, yaitu : Buku I tentang ajaran umum, Buku II tentang
Kejahatan dan Buku III tentang Pelanggaran.
Buku I
berisi aturan umum hukum pidana yang merupakan bagian terpenting menurut ilmu
hukum pidana karena di dalamnya menentukan prinsip-prinsip berlakunya hukum
pidana. Bagian ini terdiri dari sembilan bab yang terurai dalam 103 pasal.
Bab I
mengatur tentang batas-batas berlakunya aturan pidana dalam peraturan
perundang-undangan. Ketentuan tersebut adalah :
a.
aturan pidana berlaku terhadap
perbuatan-perbuatan yang terjadi kemudian sesudah ketentuan pidana
diberlakukan, tidak berlaku surut (asas legalitas);
b.
aturan pidana Indonesia berlaku
terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana di Indonesia(asas
territorial)
c.
aturan pidana Indonesia berlaku
terhadap setiap orang Indonesia yang melakukan tindak pidana, baik di dalam
maupun di luar negeri (asas personal);
d.
aturan pidana Indonesia berlaku
terhadap setiap orang asing di luar negeri yang melakukan kejahatan yang
merugikan/membahayakan kepentingan/keselamatan negara Indonesia (asas
perlindungan);
e.
aturan pidana Indonesia berlaku
di wilayah yang tidak bertuan/belum dikuasasi oleh negara tertentu.
Bab II mengatur tentang hukuman
yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana, yaitu :
1.
hukuman pokok yang berupa:
a. pidana mati;
b. pidana penjara :
- pidana penjara seumur hidup;
- pidana penjara selama waktu
tertentu, minimal satu tahun, maksimal 20 (dua puluh) tahun;
c. pidana kurungan, minimal satu
hari maksimal satu tahun;
d. pidana denda;
2. hukum tambahan yang
berupa:
- pencabutan hak-hak tertentu;
- perampasan barang-barang tertentu;
c.
pengumuman keputusan hakim.
Bab III mengatur tentang
penghapusan, pengurangan dan penambahan hukuman. Ancaman hukuman terhadap
seorang pelaku tindak pidana dapat hapus apabila ternyata orang tersebut:
1.
tidak mampu bertanggung jawab
karena cacat jiwanya;
2.
belum berumur 16 tahun;
3.
pengaruh daya paksa, yang
berupa:
-
pembelaan terpaksa,
-
ketentuan undang-undang,
-
perintah jabatan.
Ancaman hukuman yang dijatuhkan
kepada pelaku tindak pidana dapat dikurangi sepertiga dari maksimum pidana
pokok apabila ternyata ia belum berumur 16 tahun. Ancaman hukuman terhadap
pelaku tindak pidana dapat ditambah sepertiga dari maksimum pidana pokok jika :
-
seseorang memanfaatkan
jabatannya untuk melakukan tindak pidana;
-
mempergunakan bendera merah
putih pada waktu melakukan kejahatan.
Bab IV tentang percobaan menentukan
bahwa jika seseorang mencoba melakukan kejahatan ancaman hukuman maksimal lebih
ringan dibandingkan apabila kejahatan telah dilakukan. Percobaan melakukan
pelanggaran tidak dipidana.
Bab V tentang penyertaan dalam
melakukan perbuatan pidana. Dalam melakukan tindak pidana dikenal adanya orang
yang menyuruh melakukan, orang yang ikut serta melakukan, penganjur dan
pembantu dalam suatu perbuatan pidana semuanya dapat dijatuhi hukuman.
Bab VI tentang perbarengan
(concursus) yang menentukan bahwa dalam satu perbuatan memenuhi dua ketentuan pidana
atau lebih. Misalnya, orang yang melakukan pencurian yang disertai penganiayaan
atau pembunuhan.
Bab VII tentang mengajukan dan
menarik kembali pengaduan dalam kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas
pengaduan. Dalam bab ini ditentukan orang-orang yang bisa mengajukan pengaduan
adalah:
1. korban
kejahatan,
2.
orang tua/wali,
3.
pengampu,
4.
suami atau isteri,
5.
keluarga sedarah dalam garis
lurus ke atas,
6.
keluarga sedarah dalam garis
menyimpang sampai derajat ke tiga.
Pengaduan
bisa diajukan dalam tenggang waktu enam bulan sejak mengetahui kejahatan.
Apabila yang bersangkutan tinggal di luar negeri tenggang waktunya sembilan
bulan. Pengaduan dapat ditarik kembali dalam waktu tiga bulan sejak pengaduan
diajukan.
Bab VIII
tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana.
Kewenangan menuntut pidana hapus karena:
1.
daluwarsa (tenggang waktu
penuntutan habis)
2.
perkara itu telah diadili dan
mempunyai kekuatan hukum tetap (ne bis in idem, yang artinya terhadap
perkara yang sama dan mempunyai kekuatan hukum tetap tidak boleh diadili dua
kali);
3.
pelaku kejahatan meninggal.
Kewajiban menjalankan pidana hapus,
karena : daluwarsa dan atau pelaku kejahatan meninggal.
Bab IX berisi tentang arti beberapa
istilah yang dipergunakan dalam KUHP;
Buku II KUHP mengatur tentang
kejahatan yang meliputi kejahatan terhadap:
a.
Negara, presiden dan penguasa
umum;
b.
keselamatan dan nyawa manusia;
c.
ketertiban umum;
d.
harta benda;
e.
kesusilaan.
Kejahatan adalah pelanggaran
terhadap undang-undang yang dinilai sebagai perbuatan kejahatan oleh negara.
Besar kecilnya kejahatan harus dikenai sanksi yang memadai yang pada umumnya
berupa hukuman penjara terhadap si pelaku. Ada dua macam penilaian terhadap
kejahatan, yaitu:
1.
perbuatan jahat yang nyata
melanggar kaedah hukum yang berasal dari kaedah yang sudah ada atau kaedah
hukum yang berkaitan dengan kaedah agama, sopan santun dan susila;
2.
perbuatan jahat terhadap negara
atau kepentingan negara, seperti coup d`etat, kejahatan terhadap kepala negara.
Berdasarkan cara penuntutannya,
terdapat macam tindak pidana/delik yaitu delik aduan dan delik biasa. Delik
aduan adalah delik yang penuntutannya baru dapat dilakukan setelah ada
pengaduan kepada pihak yang berwajib, sedangkan delik biasa/umum adalah delik
baik berdasar laporan atau tidak, tetap dapat dituntut apabila diketahui
petugas.
Buku III mengatur tentang
pelanggaran, terdiri dari 80 pasal. Bagian ini menentukan tentang pelanggaran
terhadap:
1.
ketertiban umum bagi orang atau
barang dan keselamatan umum;
2.
ketertiban umum;
3.
penguasa umum;
4.
asal usul perkawinan;
5.
orang yang memerlukan
pertolongan;
6.
kesusilaan;
7.
mengenai tanah, tanaman dan
pekarangan;
8.
jabatan; dan
9.
pelayaran.
Pelanggaran merupakan perbuatan
yang dapat dijatuhi sanksi berupa denda atau pidana penjara ringan karena
ketidaktaatan kepada kepraturan dan aturan administrative pemerintah.
Untuk dapat disebut melakukan
kejahatan atau pelanggaran, harus dipenuhi tiga unsure, yaitu:
1.
perbuatannya melanggar atau
melawan hukum/undang-undang;
2.
perbuatannya nyata merupakan
perbuatan yang salah;
3.
orang/pelakunya harus dapat
dipertanggungjawabkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar