Kamis, 03 September 2015

Bab 6 Asas Hk Pidana

BAB VI
ASAS HUKUM PIDANA
6.1  Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
Hukum pidana (the criminal law) lazim disebut hukum kriminil karena mengatur persoalan mengenai tindakan terhadap kejahatan dan hal-hal yang bersangkut paut dengan kejahatan perilaku anggota masyarakat dalam pergaulan hidup.
Ilmu hukum pidana tidak sama dengan ilmu kriminil (kriminologi). Ilmu hukum pidana merupakan ilmu tentang hukum kejahatan, sedangkan kriminologi adalah ilmu tentang kejahatan itu sendiri. Obyek ilmu hukum pidana adalah aturan-aturan hukum yang mengenai kejahatan atau berhubungan dengan tindak pidana, sedangkan obyek kriminologi adakah orang yang melakukan kejahatan. Tujuan yang akan dicapai dalam ilmu hukum pidana adalah agar dapat mengerti dan mempergunakan hukum dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sedangkan tujuan kriminologi adalah agar mengerti sebab-sebab orang berbuat jahat, apakah karena bakat ataukah dorongan dari luar.
6.2  Pembagian Hukum Pidana
Hukum pidana, berdasar istilahnya dapat dibagi dua golongan, yaitu :
  1. hukum pidana obyektif (ius poenale)
  2. hukum pidana subyektif (ius poenendi)
Hukum pidana obyektif adalah semua peraturan yang mengandung larangan dan keharusan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat yang disertai dengan ancaman hukuman.
Hukum pidana obyektif dapat dibagi dua, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.


35
Hukum pidana materiil yaitu peraturan yang mengandung perumusan-perumusan tentang :
-          perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum,
-          siapa yang dapat dihukum,
-          jenis hukuman yang dapat dijatuhkan.
Hukum pidana materiil menentukan perbuatan-perbuatan yang termasuk kejahatan dan pelanggaran, syarat-syarat bilamana seseorang dapat dihukum serta hukuman yang dikenakan. Hukum pidana materiil dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum (sipil) berlaku bagi setiap penduduk, untuk setiap kejahatan dan pelanggaran, sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang berlaku untuk orang atau jenis kejahatan tertentu, misalnya hukum pidana militer khusus berlaku bagi militer, hukum pidana korupsi berlaku khusus bagi kejahatan yang merugikan keuangan negara atau masyarakat, hukum pajak berlaku khusus bagi para wajib pajak. Hukum pidana formil (hukum acara pidana) adalah hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana dalam hukum pidana materiil. Hukum formil bermaksud mempertahankan pelaksanaan atau menegakkan hukum materiil.
            Hukum pidana subyektif merupakan hak negara atau alat perlengkapan negara untuk menjatuhkan hukuman apabila aturan yang sudah ditetapkan dalam  hukum pidana obyektif dilanggar anggota masyarakat. Hukum pidana subyektif dibatasi oleh hukum pidana obyektif. Keberadaannya kemudian, menyusul diberlakukannya hukum obyektif, artinya hukum pidana subyektif baru ada setelah ada peraturan-peraturan yang ditentukan dalam hukum pidana obyektif.
            Secara ringkas, pembagian hukum pidana dapat dilakukan berikut:
  1. Hukum pidana obyektif, yang terdiri dari :
    1. hukum pidana materiil, yang terdiri dari :
a.       hukum pidana umum
b.      hukum pidana khusus
    1. hukum pidana formil (hukum acara pidana)
  1. Hukum pidana subyektif.
6.3  Tujuan Hukum Pidana
Tujuan hukum pada umumnya adalah menjamin agar tercipta keadilan dan kedamaian bagi setiap orang dalam masyarakat. Tujuan hukum pidana adalah melindungi hak dan kepentingan masyarakat serta menjaga kedamaian dan keadilan.sanksi dijatuhkan dengan maksud uantuk mendukung tujuan hukum pidana. Untuk itu setiap penegak hukum harus berpedoman pada undang-undang.
Hukum pidana merupakan aturan pokok untuk melindungi segala hak dan kepentingan anggota masyarakat dan negara. Hukum pidana adalah hukum sanksi, karena sifat hukumnya yang memaksa. Oleh karena itu demi tujuannya hukum pidana tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan/aturan yang terkandung di dalamnya, karena apabila demikian berarti hukum telah melanggar hak asasi manusia, sesuatu yang sejak semula ingin dilindunginya.
Hukuman yang dijatuhkan oleh negara atau aparatnya terhadap pelanggar hukum mengandung tiga alasan, yaitu:
1.      untuk mengajukan serta mendukung tindakan mempertahankan tata tertib;
2.      untuk mencegah terjadinya perbuatan yang bisa menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakadilan;
3.      untuk mengembalikan serta mempertahankan keamanan, ketertiban dan keadilan yang telah diganggu.

6.4  Jenis Hukuman
Hukuman yang dapat dijatuhkan, menuarut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdiri dari :
  1. hukum pokok yang berupa:
a.       pidana mati;
b.      pidana penjara :
i.        pidana penjara seumur hidup;
ii.      pidana penjara selama waktu tertentu, minimal satu tahun, maksimal 20 (dua puluh) tahun;
c.       pidana kurungan, minimal satu hari maksimal satu tahun;
d.      pidana denda;
  1. hukum tambahan yang berupa:
a.       pencabutan hak-hak tertentu;
b.      perampasan barang-barang tertentu;
c.       pengumuman keputusan hakim.
Hukuman bagi pelaku tindak pidana berupa perampasan kemerdekaan harus berdasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku yang dibuat secara demokratis. Sehubungan dengan itu Rousseau menyatakan “kemerdekaan adalah hak setiap manusia sejak dilahirkan. Tiada hukum buatan manusia yang dapat merampas haknya yang didapat dari alam”, sehingga seseorang tidak boleh dirampas atau dikurangi haknya kecuali karena kesengajaan atau kesalahannya sendiri. Sedangkan Anselm von Feuerbach menyatakan (yang kemudian menjadi asas dalam hukum pidana), “nulum delictum, nulla puna, sine praevia lege poenali”, yang artinya tidak ada kejahatan yang dapat dihukum, jika tidak ada undang-undang yang mengatur yang sudah ada/berlaku sebelum kejahatan dilakukan. Tegasnya setiap orang diakui sebagai manusia yang memiliki kemerdekaan diri, tidak boleh dihukum karena melakukan perbuatan, kecuali karena memang sudah ada undang-undang yang melarangnya. D.p.l seseorang hanya dapat dihukum karena suatu kejahatan yang ditentukan dalam undang-undang yang sudah ada lebih dahulu sebelum perbuatan jahat itu dilakukan. Asas ini dikenal sebagai asas legalitas yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang menentukan “tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada lebih dahulu daripada perbuatan itu”
Dari perumusan asas legalitas dalam KUHP tersebut, terkandung tiga prinsip:
        i.      perbuatan tersebut harus dinyatakan sebaga perbuatan delik (pidana) dengan peraturan dalam undang-undang;
      ii.      peraturan/undang-undang tersebut sudah berlaku sebelum perbuatan terjadi/dilakukan. D.p.l., peraturan hukum pidana hanya bisa berlaku pada masa yang akan dating, tidak berlaku surut;
    iii.      dalam menerapkan hukum pidana tidak boleh mempergunakan analogi.
Berdasarkan pokok pikiran tersebut, dapat disimpulkan bahwa:
a.                                                             hukum pidana mencegah penjatuhan hukuman secara sewenang-wenang;
b.      dapat dicapai kepastian hukum;
c.       hukum pidana bersumber pada hukum tertulis yang sengaja dibuat (hukum positif)
6.5  Teori-teori tentang Hukuman
1.      teori absolut/teori kemutlakan/teori pembalasan
Penganut teori ini antara lain Immanuel Kant, Hegel, Herbert, Stahl dan Leo Polak. Menurut teori absolut, anggota masyarakat yang nyata-nyata melakukan pelanggaran hukum wajib diberi pembalasan sesuai dengan kejahatannya atau sanksi pidana yang mengikatnya. Negara lah yang berwenang menjatuhkan sanksi.
Dasar pandangan teori absolut disebut talio atau denda darah, yaitu anggapan bahwa hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa, hutang darah harus dibayar dengan darah. Lambat laun pengenaan sanksi yang kejam dapat dihindari dan diganti dengan sanksi pemidanaan atau pembayaran denda.

2.      teori relatif/teori prevensi/teori tujuan
Penganut teori ini antara lain van Hammel, von List, D.Simon, Anselm von Feuerbacht. Teori relatif mengajarkan bahwa dasar hukuman terletak pada maksud dan tujuan hukuman dijatuhkan, artinya teori relatif mencari manfaat dari hukuman yang dijatuhkan. Teori ini pada dasarnya membenarkan diadakan dan dijatuhkannya sanksi kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum. Sanksi tersebut mempunyai tujuan agar pelaku pelanggaran hukum pada masa yang akan dating tidak mengulangi perbuatannya yang merugikan orang lain.
Teori relatif yang menyandarkan hukuman pada maksud hukuman terpecah menjadi beberapa ajaran, yaitu:
a.       ajaran bahwa tujuan hukuman adalah untuk mencegah kejahatan
terdapat perbedaan faham mengenai maksud/tujuan usaha mencegah kejahatan, yaitu:
1.      faham yang menghendaki supaya pencegahan ditujukan terhadap umum disebut algemene preventief (pencegahan umum)
2.      faham yang menghendaki supaya pencegahan dilakukan terhadap orang yang melakukan sendiri disebut speciale preventief (pencegahan khusus)
b.  ajaran tentang cara untuk mencapai tujuan terjadinya terjadinya kejahatan, yaitu :
1.      mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti yang ditujukan kepada umum algemene preventief (pencegahan umum)
2.      mencegah kejahatan dengan jalan memperbaiki penjahatnya agar tidak mengulangi perbuatannya lagi speciale preventief (pencegahan khusus).
Para ahli banyak mengupayakan cara untuk mencapai tujuan pencegahan kejahatan,  yang kemudian menimbulkan beberapa aliran/faham, yaitu:
a.       aliran yang mencari tujuan hukuman di dalam ancaman hukuman
Tujuan pemberian ancaman hukuman adalah hendak menghindarkan masyarakat dari perbuatan jahat (algemene preventief). Dalam hal ini Anselm von Feuerbacht mempunyai ajaran yang terkenal sebagai psigologische dwang, yaitu bahwa ancaman hukuman yang berat akan menghindarkan seseorang dari perbuatan jahat.
b.      aliran yang mencari tujuan hukuman dalam menjatuhkan hukuman dan pelaksanaan hukuman
Tujuan penjatuhan dan pelaksanaan hukuman dilaksanakan di muka umum bertujuan untuk mencegah orang lain berbuat jahat.
c.       Aliran yang menghendaki bahwa tujuan hukuman adalah untuk membinasakan orang yang melakukan kejahatan dari perrgaulan masyarakat.
Menurut aliran ini cara ini perlu dilaksanakan terhadap penjahat-penjahat tertentu yang melakukan kejahatan berat dan tidak memungkinkan untuk diperbaiki lagi. Cara membinasakan dengan memberi hukuman yang lama/seumur hidup, diasingkan dari masyarakat atau hukuman mati.

Tujuan hukuman menurut aliran baru berdasarkan teori relatif modern adalah untuk memperbaiki ahlak dan perilaku si penjahat, agar menjadi manusia yang baik. Oleh karena itu hukum harus disertai pendidikan yang berupa pembentukan kedisiplinan dan ketrampilan khusus agar bekas warga binaan memperoleh bekal untuk terus hidup dalam masyarakat.
            Penjatuhan sanksi pada hakekatnya bermaksud untuk :
a.      menakut-nakuti
Sanksi diberikan sedemikian rupa sehingga orang menjadi takut atau jera untuk melakukan kejahatan atau pelanggara hukum. Biasanya sanksi yang dijatuhkan berat, kadang berupa penyiksaan.
b.      memperbaiki
Sanksi yang dijatuhkan harus mampu mendidik sehingga pelaku kejahatan tidak mengulangi perbuatannya yang merugikan kepentingan masyarakat dan negara.
c.       melindungi
Sanksi dijatuhkan kepada orang yang melakukan kesalahan, agar masyarakat dan negara tidak dirugikan oleh perbuatan jahat, terlindungi, karena si pelaku untuk sementara atau selamanya diasingkan di tempat tertentu atau tidak lagi ditengah masyarakat.

3.      Teori gabungan
Teori gabungan lahir karena adanya keberatan terhadap kekurangan teori absolut dan relatif. Menurut teori gabungan hukuman setidaknya didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan salah satu unsure tanpa menghilangkan unsure yang lain. Fungsi hukum pidana dan tujuan pidana dalam masyarakat pada akhirnya sama dengan tujuan hukum pada umumnya, yaitu menjaga tata tertib dalam kehidupan berrmasyarakat supaya terwujud keadilan hukum dan kepastian hukum. Tokoh teori gabungan : Binding.


6.6 Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)  berisi hukum pidana yang tertulis dan terkodifikasi. Di samping dalam KUHP, peraturan pidana juga tersebar di luar KUHP, sebab selain badan legislative, para pelaksana peraturan perundangan pun berwenang membuat peraturan pidana, yaitu peraturan yang mengandung ancaman hukuman berupa penderitaan kepada si pelanggar. Contoh, Presiden, Menteri Gubernur, Bupati.
KUHP Indonesia dibuat oleh bangsa Belanda diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Bangsa Belanda menyusun KUHP berdasarkan Code Penal Perancis yang dibuat tahun 1806 dan disahkan 1811. sejak 1 Januari 1918 KUHP tersebut diberlakukan di Hindia Belanda.
Dalam perjalanan waktu, KUHP banyak mengalami perubahan isi dan jiwanya sehingga lebih sesuai dengan jiwa dan keperluan bangsa Indonesia. Pemberlakuan KUHP di Indonesia menghapus dualisme hukum pidana di Indonesia. Sebelum 1918 berlaku dua macam hukum pidana, yaitu hukum pidana untuk golongan bumiputera dan hukum pidana untuk golongan eropa. Perbedaan hukum pidana tersebut adalah terutama pada ancaman hukuman, misalnya:
-          Bagi golongan bumiputera (yang notabene bangsa Indonesia) dapat dihukum dengan kerja paksa yang diberi beban, tidak melakukan pekerjaan umum, sementara bagi orang eropa tidak, hanya berupa hukuman penjara atau kurungan saja;
-          Hukum pidana untuk orang Indonesia disesuaikan dengan keadaan atau kebiasaan orang Indonesia, missal perkawinan lebih dari satu tidak dihukum, pengemisan tidak dihukum.
Setelah KUHP dinyatakan berlaku, maka berlakulah fictie hukum dimana setiap orang dianggap tahu berlakunya hukum pidana, sehingga apabila seseorang melakukan kesalahan tidak boleh membela dirinya dengan alasan tidak tahu bahwa suatu peraturan perundangan telah berlaku.
Undang-undang hukum pidana adalah peraturan hidup (norma) yang ditetapkan oleh instansi kenegaraan yang berwenang memuatnya, norma mana ditambah dengan ancaman hukuman yang merupakan penderitaan (sanksi) terhadap siapa yang melanggarnya. Disebut pula norma plus sanksi. Keistimewaan hukum pidana adalah sanksi yang diadakan untuk melindungi norma dan adanya sifat memaksa dalam pelaksanaannya. Sebagai produk hukum undang-undang hukum pidana hanya dibuat oleh pejabat atau orang yang berwenang, sesuai ketentuan undang-undang dan mulai berlaku sejak diundangkan. Undang-undang pidana tidak berlaku lagi apabila:
a.       waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut lampau;
b.      hal yang diatur telah lewat waktu;
c.       peraturan dicabut secara tegas atau diam-diam;
d.      ada peraturan baru yang isinya bertentangan.

6.7 Kekuasaan Berlakunya Hukum Pidana di Indonesia
1. Bersifat Negatif
      Bahwa berlakunya undang-undang berhubungan dengan waktu. Hal ini berhubungan dengan asas legalitas, artinya undang-undang pidana hanya mengatur perbuatan yang terjadi setelah undang-undang itu lahir dan tidak berlaku surut.
2. Bersifat Positif
      Bahwa berlakunya hukum pidana berhubungan dengan tempat. Hal ini diatur dalam pasal 2 sampai 9 KUHP yang memuat empat asas, yaitu:
a.      asas territorial
      Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh warga negaranya maupun oleh orang asing (pasal 2 dan 3 KUHP). Siapapun yang melakukan kejahatan di wilayah Indonesia termasuk kapal/perahu Indonesia, terhadapnya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia, kecuali apabila pelaku adalah pemegang hak eks-teritorial dan hak immunitet parlementer (pasal 9 KUHP). Pemegang hak eks-teritorial adalah :
a.       Kepala Negara asing dan keluarganya yang berada di wilayah Indonesia;
b.      Duta Besar dan keluarga beserta pegawai kedutaan;
c.       Anak buah kapal perang asing;
d.      Anggota militer asing yangmempunyai izin mengunjungi Indonesia;
e.       Sekretaris Jenderal PBB;
f.       Anggota delegasi negara asing yang sedang dalam perjalanan menuju sidang PBB dan singgah di Indonesia.
Sedangkan pemegang hak imunitet parlementer adalah para anggota parlemen (DPR/DPRD) serta menteri untuk segala yang diungkapkannya, baik lisan maupun tulisan dalam sidang-sidang di dalam gedung parlemen.
b.      asas personal/nasional aktif
      Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negara, dimana pun berada, termasuk yang berada di luar wilayah negara. Berdasar asas ini KUHP berlaku pula bagi warganegara Indonesia yang berada dan melakukan tindak pidana di luar negeri. Apabila warga negara Indonesia di luar negeri melakukan pelanggaran KUHP, maka untuk dapat mengadili yang bersangkutan harus ada penyerahan (ektradisi) dari pemerintah negara dimana warganegara pelanggar hukum tersebut tinggal. Untuk dapat melakukan/meminta ekstradisi antara kedua negara harus ada perjanjian ekstradisi terlebih dahulu yang dijalin melalui hubungan diplomatic.
c.       asas perlindungan/nasional pasif
      Perundang-undangan hukum pidana Indonesia berlaku juga terhadap siapaun di luar negeri yang merugikan/melanggar kepentingan hukum negara Indonesia. (pasal 4, 7, 8 KUHP) Termasuk perbuatan melanggar kepentingan hukum /merugikan negara Indonesia adalah: pemalsuan uang Indonesia, materai, lambang negara, cap negara, surat hutang yang ditanggung pemerintah.
d.      asas universal
      Perundang-undangan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap perbuatan jahat yang bersifat merrugikan keselamatan internasional yang terjadi di darah tak bertuan. Kejahatan tersebut antara lain, pemalsuan mata uang, perompakan.

6.8  Sistematika KUHP
KUHP terdiri dari tiga buku, yaitu : Buku I tentang ajaran umum, Buku II tentang Kejahatan dan Buku III tentang Pelanggaran.
Buku I berisi aturan umum hukum pidana yang merupakan bagian terpenting menurut ilmu hukum pidana karena di dalamnya menentukan prinsip-prinsip berlakunya hukum pidana. Bagian ini terdiri dari sembilan bab yang terurai dalam 103 pasal.
Bab I mengatur tentang batas-batas berlakunya aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut adalah :
a.       aturan pidana berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang terjadi kemudian sesudah ketentuan pidana diberlakukan, tidak berlaku surut (asas legalitas);
b.      aturan pidana Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana di Indonesia(asas territorial)
c.       aturan pidana Indonesia berlaku terhadap setiap orang Indonesia yang melakukan tindak pidana, baik di dalam maupun di luar negeri (asas personal);
d.      aturan pidana Indonesia berlaku terhadap setiap orang asing di luar negeri yang melakukan kejahatan yang merugikan/membahayakan kepentingan/keselamatan negara Indonesia (asas perlindungan);
e.       aturan pidana Indonesia berlaku di wilayah yang tidak bertuan/belum dikuasasi oleh negara tertentu.
Bab II mengatur tentang hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana, yaitu :
1.      hukuman pokok yang berupa:
a. pidana mati;
b. pidana penjara :
- pidana penjara seumur hidup;
- pidana penjara selama waktu tertentu, minimal satu tahun, maksimal 20 (dua puluh) tahun;
c. pidana kurungan, minimal satu hari maksimal satu tahun;
d. pidana denda;
     2. hukum tambahan yang berupa:
  1. pencabutan hak-hak tertentu;
  2. perampasan barang-barang tertentu;
c.       pengumuman keputusan hakim.
Bab III mengatur tentang penghapusan, pengurangan dan penambahan hukuman. Ancaman hukuman terhadap seorang pelaku tindak pidana dapat hapus apabila ternyata orang tersebut:
1.      tidak mampu bertanggung jawab karena cacat jiwanya;
2.      belum berumur 16 tahun;
3.      pengaruh daya paksa, yang berupa:
-          pembelaan terpaksa,
-          ketentuan undang-undang,
-          perintah jabatan.
Ancaman hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana dapat dikurangi sepertiga dari maksimum pidana pokok apabila ternyata ia belum berumur 16 tahun. Ancaman hukuman terhadap pelaku tindak pidana dapat ditambah sepertiga dari maksimum pidana pokok jika :
-          seseorang memanfaatkan jabatannya untuk melakukan tindak pidana;
-          mempergunakan bendera merah putih pada waktu melakukan kejahatan.
Bab IV tentang percobaan menentukan bahwa jika seseorang mencoba melakukan kejahatan ancaman hukuman maksimal lebih ringan dibandingkan apabila kejahatan telah dilakukan. Percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Bab V tentang penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana. Dalam melakukan tindak pidana dikenal adanya orang yang menyuruh melakukan, orang yang ikut serta melakukan, penganjur dan pembantu dalam suatu perbuatan pidana semuanya dapat dijatuhi hukuman.
Bab VI tentang perbarengan (concursus) yang menentukan bahwa dalam satu perbuatan memenuhi dua ketentuan pidana atau lebih. Misalnya, orang yang melakukan pencurian yang disertai penganiayaan atau pembunuhan.
Bab VII tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan. Dalam bab ini ditentukan orang-orang yang bisa mengajukan pengaduan adalah:
1.   korban kejahatan,
2.      orang tua/wali,
3.      pengampu,
4.      suami atau isteri,
5.      keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas,
6.      keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ke tiga.
Pengaduan bisa diajukan dalam tenggang waktu enam bulan sejak mengetahui kejahatan. Apabila yang bersangkutan tinggal di luar negeri tenggang waktunya sembilan bulan. Pengaduan dapat ditarik kembali dalam waktu tiga bulan sejak pengaduan diajukan.
Bab VIII tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana. Kewenangan  menuntut pidana hapus karena:
1.      daluwarsa (tenggang waktu penuntutan habis)
2.      perkara itu telah diadili dan mempunyai kekuatan hukum tetap (ne bis in idem, yang artinya terhadap perkara yang sama dan mempunyai kekuatan hukum tetap tidak boleh diadili dua kali);
3.      pelaku kejahatan meninggal.
Kewajiban menjalankan pidana hapus, karena : daluwarsa dan atau pelaku kejahatan meninggal.
Bab IX berisi tentang arti beberapa istilah yang dipergunakan dalam KUHP;

Buku II KUHP mengatur tentang kejahatan yang meliputi kejahatan terhadap:
a.       Negara, presiden dan penguasa umum;
b.      keselamatan dan nyawa manusia;
c.       ketertiban umum;
d.      harta benda;
e.       kesusilaan.
Kejahatan adalah pelanggaran terhadap undang-undang yang dinilai sebagai perbuatan kejahatan oleh negara. Besar kecilnya kejahatan harus dikenai sanksi yang memadai yang pada umumnya berupa hukuman penjara terhadap si pelaku. Ada dua macam penilaian terhadap kejahatan, yaitu:
1.      perbuatan jahat yang nyata melanggar kaedah hukum yang berasal dari kaedah yang sudah ada atau kaedah hukum yang berkaitan dengan kaedah agama, sopan santun dan susila;
2.      perbuatan jahat terhadap negara atau kepentingan negara, seperti coup d`etat, kejahatan terhadap kepala negara.
Berdasarkan cara penuntutannya, terdapat macam tindak pidana/delik yaitu delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah delik yang penuntutannya baru dapat dilakukan setelah ada pengaduan kepada pihak yang berwajib, sedangkan delik biasa/umum adalah delik baik berdasar laporan atau tidak, tetap dapat dituntut apabila diketahui petugas.
Buku III mengatur tentang pelanggaran, terdiri dari 80 pasal. Bagian ini menentukan tentang pelanggaran terhadap:
1.      ketertiban umum bagi orang atau barang dan keselamatan umum;
2.      ketertiban umum;
3.      penguasa umum;
4.      asal usul perkawinan;
5.      orang yang memerlukan pertolongan;
6.      kesusilaan;
7.      mengenai tanah, tanaman dan pekarangan;
8.      jabatan; dan
9.      pelayaran.
Pelanggaran merupakan perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi berupa denda atau pidana penjara ringan karena ketidaktaatan kepada kepraturan dan aturan administrative pemerintah.
Untuk dapat disebut melakukan kejahatan atau pelanggaran, harus dipenuhi tiga unsure, yaitu:
1.      perbuatannya melanggar atau melawan hukum/undang-undang;
2.      perbuatannya nyata merupakan perbuatan yang salah;

3.      orang/pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar